Selasa, 15 Oktober 2013

Budaya Pembentuk Watak Bangsa

“Buku membentuk watak bangsa.” Kata salah satu Bapak Proklamator kita, Bung Hatta. ”Buku adalah jendela dunia”, begitu pula bunyi kata bijak milik sejuta umat. Lalu, bisakah anda bayangkan bagaimana hidup kita tanpa buku? Akankah kita perlahan berubah menjadi individu-individu tanpa identitas yang sepatutnya dipertahankan? Yang pada akhirnya akan menciptakan fenomena bangsa tidak berwatak, ideologi yang terhapus, dan sejarah yang terlupakan.
            Na’asnya, masalah yang kita hadapi dewasa ini di Indonesia sudah sangat menjurus ke arah fenomena itu. Berita terakhir menyatakan bahwa angka minat baca penduduk Indonesia masih sekitar 0.01 persen. Terlampau jauh bedanya dengan negara-negara Asia lain, seperti Jepang (45 persen) dan Singapura (55 persen). Apakah itu menjelaskan mengapa Jepang dan Singapura menjadi salah satu negara maju di kawasan Asia? “Buku membentuk watak bangsa”, seperti kata Bung Hatta.
            Bila bicara soal membentuk watak bangsa, tentu saja yang kita bicarakan adalah soal generasi muda. Karena generasi muda lah penerus bangsa yang akan menggambil posisi setelah generasi tua dilengserkan. Generasi muda lah yang seharusnya banyak-banyak membaca,  menghidupkan lagi budaya baca yang dulu sempat kuat dimiliki bangsa Indonesia.
            Badan-badan perpustakaan ataupun Dinas Pekerjaan Umum, telah berupaya meningkatkan angka minat baca tersebut dengan cara mengangkat duta-duta baca baru setiap tahunnya. Dari kalangan pelajar dan atau mahasiswa yang dianggap sanggup juga pantas menjalani tugasnya. Namun kenyataan yang ada, pengangkatan duta-duta tersebut belum dirasa efektif dan masih jauh dari kata berhasil, bercermin pada persentase minat baca di Indonesia yang masih saja bertengger di angka 0 koma.
            “Buku membentuk watak bangsa”, berkali-kali saya tekankan pendapat Bapak Proklamator kita ini. Karena tidak dapat kita pungkiri, kalimat itulah jelmaan paling sempura dari sebuah hubungan antara manusia, apa yang ia baca, dan bagaimana nasib bangsanya. Buku menjadi salah satu faktor terkuat yang ikut berperan dalam watak dan kepribadian bangsa. Lalu, bagaimanakah tentang kualitas isi buku yang menjadi bahan bacaan generasi muda dewasa ini?
               Bila kita menilik sekitar 3-4 dekade kebelakang, kita akan temui perbedaan drastis yang mencuat dari kualitas bahan bacaan yang beredar di masyarakat. Mengapa? Meskipun dengan sarana pendidikan yang masih cukup terbatas, generasi muda jaman itu memiliki semangat yang jauh lebih tinggi dalam bidang bacaan. Ini tercermin dari jenis buku yang mereka baca pada umumnya. Dibawah Bendera Revolusi, Pasang Naik Kulit Berwarna, dan The Edventure of Idea, adalah beberapa buku bacaan yang populer diantara pelajar.
            Sedang bila kita melihat kabar hari ini, seakan-akan yang kita temui hanyalah setumpuk novel-novel humor dan cinta ala penulis-penulis kemarin sore dari jejaring sosial. Salah seorang teman pernah berkata; “Jaman sekarang, cukup punya followers banyak di twitter sudah bisa jadi penulis dan punya buku sendiri.”.  Dengan kalimat itu yang terucap dari mulut orang lain, saya semakin yakin, saya bukan satu-satunya orang yang beranggapan bahwa penerbit-penerbit buku di Indonesia telah terlalu jauh keluar dari jalurnya. Dan faktanya lagi, buku-buku itu pun laku keras di masyarakat khususnya kalangan muda. Lalu bagaimanakah watak yang akan di bentuk dari buku-buku tersebut? Akhirnya hanya akan tercipta generasi-generasi “Galau” yang tidak punya pendirian teguh. Dan selangkah demi selangkah membawa kita pada fenomena ideologi yang jatuh.
            Budaya baca adalah budaya pembentuk watak bangsa. Dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki angka minat baca yang sangat rendah, apakah tidak semakin buruk bila penyumbang angka persentase tersebut didominasi oleh novel-novel roman picisan yang kurang berbobot? Sebagai calon mahasiswa sastra, tentu saya menganggap hal ini sebagai masalah yang besar dan harus cepat diatasi. Saya percaya akan kemungkinan bahwa buku-buku yang populer beredar di masyarakat, khususnya kawula muda, memiliki pengaruh pada persentase angka minat baca di Indonesia.
            Kita perlu konsepsi dewasa ini. Seharusnya, pihak penerbit melakukan koreksi besar-besaran terhadap kategori-kategori buku yang diterbitkannya. Memang buku-buku entertainment juga dibutuhkan, namun tidak berarti hal itu harus menutupi semua jenis buku yang beredar di pasaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa penerbit buku adalah satu badan komersil yang berusaha meraup untung semaksimal mungkin. Sehingga penerbit akan terus mengikuti perkembangan kemauan pasar. Padahal, apabila penerbit berani sedikit idealis dan tidak sembarangan mengikuti zaman, kemungkinan konsumenlah yang akan berbalik mengikuti apa yang penerbit sajikan.  
            Ketika pihak penerbit tidak lagi dapat diajak kompromi, Sudah saatnya kita, generasi muda, mengubah pola pikir dalam memilih bahan bacaan. Terlepas dari bacaan wajib yang diharuskan oleh sekolah dan universitas, kita harus dengan penuh kesadaran memilih buku bacaan yang dapat ‘mendidik’ kita, bukan hanya penghibur semata. Dan saat semua telah kembali pada jalurnya, angka minat baca di Indonesia akan perlahan meninggi dengan sendirinya. Belum lagi, persentase itu didominasi oleh buku-buku bacaan yang berbobot, bukan hanya setumpuk roman picisan belaka.
“Buku membentuk watak bangsa”, Apa yang lebih puitis, selain berbicara soal nasib bangsa yang kita rela mati untuknya? Kita hidup di masa dimana ‘kata’ lebih kuat dari pada apapun juga, lebih berpengaruh terhadap semua. Karena itulah, kita, generasi muda, harus mempertahankan watak bangsa kita lewat kata-kata. Kita harus hidupkan lagi budaya baca, karena apa yang kita baca, merefleksikan kata apa yang kita cipta. Dan itulah yang akan memakmurkan Indonesia.

Bandung, Agustus 2013
112 Essai terbaik pra-PKM Universitas Padjadjaran
2 besar Fakultas Ilmu Budaya
PRABU Unpad 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar