“Buku membentuk watak bangsa.” Kata salah satu Bapak Proklamator kita,
Bung Hatta. ”Buku adalah jendela dunia”, begitu pula bunyi kata bijak milik sejuta
umat. Lalu, bisakah anda bayangkan bagaimana hidup kita tanpa buku? Akankah
kita perlahan berubah menjadi individu-individu tanpa identitas yang sepatutnya
dipertahankan? Yang pada akhirnya akan menciptakan fenomena bangsa tidak
berwatak, ideologi yang terhapus, dan sejarah yang terlupakan.
Na’asnya, masalah yang kita hadapi dewasa
ini di Indonesia sudah sangat menjurus ke arah fenomena itu. Berita terakhir
menyatakan bahwa angka minat baca penduduk Indonesia masih sekitar 0.01 persen.
Terlampau jauh bedanya dengan negara-negara Asia lain, seperti Jepang (45
persen) dan Singapura (55 persen). Apakah itu menjelaskan mengapa Jepang dan
Singapura menjadi salah satu negara maju di kawasan Asia? “Buku membentuk watak
bangsa”, seperti kata Bung Hatta.
Bila bicara soal membentuk watak
bangsa, tentu saja yang kita bicarakan adalah soal generasi muda. Karena
generasi muda lah penerus bangsa yang akan menggambil posisi setelah generasi
tua dilengserkan. Generasi muda lah yang seharusnya banyak-banyak membaca, menghidupkan lagi budaya baca yang dulu sempat
kuat dimiliki bangsa Indonesia.
Badan-badan perpustakaan ataupun
Dinas Pekerjaan Umum, telah berupaya meningkatkan angka minat baca tersebut
dengan cara mengangkat duta-duta baca baru setiap tahunnya. Dari kalangan
pelajar dan atau mahasiswa yang dianggap sanggup juga pantas menjalani
tugasnya. Namun kenyataan yang ada, pengangkatan duta-duta tersebut belum
dirasa efektif dan masih jauh dari kata berhasil, bercermin pada persentase
minat baca di Indonesia yang masih saja bertengger di angka 0 koma.
“Buku membentuk watak bangsa”,
berkali-kali saya tekankan pendapat Bapak Proklamator kita ini. Karena tidak
dapat kita pungkiri, kalimat itulah jelmaan paling sempura dari sebuah hubungan
antara manusia, apa yang ia baca, dan bagaimana nasib bangsanya. Buku menjadi
salah satu faktor terkuat yang ikut berperan dalam watak dan kepribadian
bangsa. Lalu, bagaimanakah tentang kualitas isi buku yang menjadi bahan bacaan
generasi muda dewasa ini?
Bila kita menilik sekitar 3-4 dekade kebelakang, kita akan temui
perbedaan drastis yang mencuat dari kualitas bahan bacaan yang beredar di masyarakat.
Mengapa? Meskipun dengan sarana pendidikan yang masih cukup terbatas, generasi
muda jaman itu memiliki semangat yang jauh lebih tinggi dalam bidang bacaan.
Ini tercermin dari jenis buku yang mereka baca pada umumnya. Dibawah Bendera Revolusi, Pasang Naik Kulit Berwarna, dan The Edventure of Idea, adalah beberapa
buku bacaan yang populer diantara pelajar.
Sedang bila kita melihat kabar hari
ini, seakan-akan yang kita temui hanyalah setumpuk novel-novel humor dan cinta ala
penulis-penulis kemarin sore dari jejaring sosial. Salah seorang teman pernah
berkata; “Jaman sekarang, cukup punya followers
banyak di twitter sudah bisa jadi
penulis dan punya buku sendiri.”. Dengan
kalimat itu yang terucap dari mulut orang lain, saya semakin yakin, saya bukan
satu-satunya orang yang beranggapan bahwa penerbit-penerbit buku di Indonesia
telah terlalu jauh keluar dari jalurnya. Dan faktanya lagi, buku-buku itu pun
laku keras di masyarakat khususnya kalangan muda. Lalu bagaimanakah watak yang
akan di bentuk dari buku-buku tersebut? Akhirnya hanya akan tercipta
generasi-generasi “Galau” yang tidak
punya pendirian teguh. Dan selangkah demi selangkah membawa kita pada fenomena
ideologi yang jatuh.
Budaya baca adalah budaya pembentuk
watak bangsa. Dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki angka minat baca yang
sangat rendah, apakah tidak semakin buruk bila penyumbang angka persentase
tersebut didominasi oleh novel-novel roman picisan yang kurang berbobot?
Sebagai calon mahasiswa sastra, tentu saya menganggap hal ini sebagai masalah
yang besar dan harus cepat diatasi. Saya percaya akan kemungkinan bahwa
buku-buku yang populer beredar di masyarakat, khususnya kawula muda, memiliki
pengaruh pada persentase angka minat baca di Indonesia.
Kita perlu konsepsi dewasa ini. Seharusnya,
pihak penerbit melakukan koreksi besar-besaran terhadap kategori-kategori buku
yang diterbitkannya. Memang buku-buku entertainment
juga dibutuhkan, namun tidak berarti hal itu harus menutupi semua jenis buku
yang beredar di pasaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa penerbit buku adalah satu
badan komersil yang berusaha meraup untung semaksimal mungkin. Sehingga
penerbit akan terus mengikuti perkembangan kemauan pasar. Padahal, apabila
penerbit berani sedikit idealis dan tidak sembarangan mengikuti zaman,
kemungkinan konsumenlah yang akan berbalik mengikuti apa yang penerbit sajikan.
Ketika pihak penerbit tidak lagi dapat
diajak kompromi, Sudah saatnya kita, generasi muda, mengubah pola pikir dalam
memilih bahan bacaan. Terlepas dari bacaan wajib yang diharuskan oleh sekolah
dan universitas, kita harus dengan penuh kesadaran memilih buku bacaan yang dapat
‘mendidik’ kita, bukan hanya penghibur semata. Dan saat semua telah kembali
pada jalurnya, angka minat baca di Indonesia akan perlahan meninggi dengan
sendirinya. Belum lagi, persentase itu didominasi oleh buku-buku bacaan yang
berbobot, bukan hanya setumpuk roman picisan belaka.
“Buku membentuk watak bangsa”, Apa yang lebih puitis, selain berbicara
soal nasib bangsa yang kita rela mati untuknya? Kita hidup di masa dimana
‘kata’ lebih kuat dari pada apapun juga, lebih berpengaruh terhadap semua.
Karena itulah, kita, generasi muda, harus mempertahankan watak bangsa kita
lewat kata-kata. Kita harus hidupkan lagi budaya baca, karena apa yang kita
baca, merefleksikan kata apa yang kita cipta. Dan itulah yang akan memakmurkan
Indonesia.
Bandung, Agustus 2013
112 Essai terbaik pra-PKM Universitas Padjadjaran
2 besar Fakultas Ilmu Budaya
PRABU Unpad 2013
PRABU Unpad 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar