Rabu, 17 Februari 2016

Dongeng tentang Buku, Mimpi dan Waktu

Aku selalu bermimpi untuk jatuh cinta di perpustakaan semenjak umur 12-an. Namun seiring aku dan buku-buku itu bertambah tua, rasanya mimpiku tadi makin tenggelam, dan pada suatu hari yang sudah aku terka, akhirnya ia karam.

Sore tadi aku habiskan hampir satu jam di lorong buku-buku dongeng. Sekedar memilah-milah, inikah atau itukah. Ilustrasi-ilustrasi dan warna-warni sampulnya membuat aku sulit memutuskan buku mana yang harus aku bawa ke meja kasir, yang lalu akan kubungkus dengan kertas kado dan akhirnya kuberikan sebagai hadiah ulang tahun yang ke-20. Malam ini, pukul tujuh lewat tujuh belas, aku 20 tahun pas.

Sementara sore-sore yang lalu seorang teman bertanya, soal niatanku merayakan ulang tahun ke-20 sendirian di perpustakaan, dengan sebuah kado pemberian diri sendiri yang konyolnya adalah buku dongeng untuk anak ingusan. Sementara, menurut dia, aku bisa saja menghabiskan momentum sakral itu bersama teman-teman sebaya dengan hal-hal sesuai umur. Dan aku tahu pasti ketika ia bilang “sesuai umur”, perkataannya merujuk pada aktifitas di bar-bar malam, dengan sedikit minuman, sentuhan, juga goyangan. Aku tersenyum kecil menanggapi pertanyaan temanku itu, kubilang, “Aku tak pernah dibacakan dongeng sewaktu kecil.” Kami tidak pernah bicara lagi.

“Bah, mau berdoa dengan saya?”

Tanyaku mencuat di antara satu buah kue mangkuk berlilin kecil sebatang dan tumpukan buku-buku dengan kertas kekuningan. Jam dinding menunjukan pukul tujuh lewat lima belas. Dan Abah yang sengaja memakai kemeja rapih hari ini, tahu tentang aku yang resmi berkepala dua terhitung mulai dua menit lagi. Ia mundurkan kursinya lalu berdiri, berjalan pelan setengah pincang dan berhenti tepat dihadapanku dan lilin kecil yang menyala itu.

“Kenapa tidak, Yeng?”

Senyum Abah hangat sekali sampai rasanya gerimis yang sedari tadi mengetuk kaca-kaca jendela tetiba berhenti. Kerut yang seakan terpahat permanen di wajah umur 70-annya itu sama sekali tidak mengusikku. Aku selalu menikmati waktuku bertukar cerita dengan Abah. Seorang Rohman Supriyadi, yang hangat kusapa Abah, memang tidak pernah lulus sarjana, tapi karena hampir setengah hidupnya ia habiskan di perpustakaan, ia selalu punya sesuatu untuk dibahas, dan juga untuk ditertawakan.

Mata abah terpejam, khidmat melantun doa dalam hati yang tidak aku tahu apa isinya. Kedua mata itu lalu terbuka, dan

“Giliran Iyeng yang berdoa sendiri, Abah sudah berdoa yang terbaik buat Iyeng. Semoga cepat-cepat pergi dari tempat jelek ini dan mendapat kehidupan yang Iyeng pantas dapatkan, jangan sampai kayak Abah!”

Gelak tawa mengiringi kalimat Abah yang mungkin sudah ia siapkan dari jauh-jauh hari itu. Gigi depannya yang hampir ompong semua membuat aku ikut tertawa kecil penuh suka dan pengertian. Abah adalah pustakawan abadi sekaligus pemilik perpustakaan kecil ini, sehingga mau tidak mau, Abah harus melihat wajahku setiap hari tanpa terkecuali. Senin hingga Jum’at pukul empat sampai lima sore. Sedang Sabtu Minggu pukul lima sore sampai sembilan malam—perpustakaan tutup saat maghrib tiba, namun aku diijinkan untuk tinggal lebih lama. Pernah suatu ketika aku absen seminggu dari perpustakaan karena harus dirawat di rumah sakit, belakangan ini aku baru tahu bahwa ketika itu Abah begitu cemas sampai menelpon pihak asrama tempat aku tinggal berulang kali. Nyatanya, Abah adalah figur Ayah yang tidak pernah aku miliki.

“Bagaimana kabar Ayah kamu, Yeng?”

Pertanyaan itu muncul di pukul tujuh lewat tujuh belas, pas setelah aku meniup lilin tanda setahun lagi waktu hidupku berkurang. Baru saja aku resmi keluar dari usia belasan dan pertanyaan pertama Abah padaku adalah tentang Ayah. Aku ingin sekali menjawab pertanyaan itu semudah Abah menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang arloji dan biskuit mari, tapi sayang definisi kata “ayah” dalam semesta yang aku kenal hanya sekedar donatur penyambung hidup yang hampir tidak pernah aku temui wujud fisiknya.

“Ayah sehat, mungkin. Buktinya Ia belum pulang juga, kan, menulis lagi menulis lagi, katanya untuk majalah ini lah, koran itu lah, tabloid ini lah, buku itu lah. Saya capek perduli, Bah. Selama saya tidak harus menerima telepon duka dari seseorang di luar sana soal Ayah saya”.

“Bapaknya penulis, anak gadisnya kutu buku. Tidak ada yang aneh dari itu, Yeng. Toh semua orang tua punya cara mencintai yang berbeda-beda”.

Aku tidak mengerti kenapa Abah selalu punya hal baik untuk dikatakan di waktu paling buruk sekalipun. Bahkan setelah kalimat itu terucap, bagian kecil dari hatiku menghangat, lalu merindu.

“Hey!”

Dengan sengaja Abah membuyarkan kerinduan yang tadi tengah aku hayati dalam-dalam. Seakan mengerti jika saja kerinduan yang aku pendam itu meluap, hal itu hanya akan menuai rasa sakit tanpa obat bila dibiarkan  berlarut-larut. Dan dengan santainya seperti tanpa beban, Abah membanting setir pembicaraan kami ke arah yang entah mengapa terasa lebih pahit dari rindu itu sendiri.

“Tahu tidak, Yeng? Waktu Abah masih sekolah SD dulu, guru Abah selalu nanya apa cita-cita Abah. Abah tidak bisa jawab. Abah bilang kalo mimpi Abah itu tidak muluk-muluk. Abah tidak mau jadi presiden apalagi astronot, Abah cuma mau membuat anak-anak sekolah nanti bisa baca buku tanpa harus membayar sepeserpun. Karena Abah merasa betul beratnya orang tua Abah membelikan buku untuk Abah sekolah”.

Aku terdiam sejenak, mencerna perkataan Abah yang tidak tahu harus ku maknai seperti apa. Dan sebelum otak ku selesai memproses kalimat-kalimat tadi, refleks lidahku bertanya balik,

“Apa untuk jatuh cinta di perpustakaan itu termasuk muluk-muluk, Bah?”

Tawa Abah lepas saat itu juga. Setelah lebih dari enam tahun memberiku kartu anggota perpustakaan, akhirnya Abah menemukan tujuan egoisku yang kalau dipikir-pikir memang teramat menggelikan.

“Kamu jelas salah tempat kalau ingin nyari jodoh di sini, Yeng. Jaman sekarang ini siapa lagi yang masih datang ke perpustakaan untuk duduk dan baca buku? Paling ya hanya kamu, dan Abah, dan si Fitria anak bungsu Pak Haji Makmur yang rumahnya persis di samping masjid itu”.

“Bukan begitu, Bah…”

“Abah sudah tua… Yeng,” 

Aku bisa dengar suara Abah bergetar, “...cuma kamu orang terdekat yang bisa Abah akui sebagai anak. Malam ini kamu bisa meniup lilin itu sama tak terduganya seperti besok pagi Abah tidak bangun dari tempat tidur.”

Mata Abah berkaca-kaca sembari ia membelai kecil rambut sebahuku. Aku tidak mengerti kenapa Abah mendadak berubah melankolis, sementara di hari-hari normal ia akan menyetel lagu-lagu Titiek Puspa dan ikut berjoged selama tidak ada orang yang kedapatan melihat.

“Abah kok begitu bicaranya? Kalau soal umur, manusia tahu apa, Bah. Nenek 112 tahun di Cina tidak menyangka kalau bakal hidup selama itu, sama seperti adik saya yang tidak menyangka kalau bakal mati 2 jam setelah dilahirkan”.

Garis bibir Abah tertarik sepersekian centi. Biasanya, di saat-saat seperti ini Abah akan melakukan serangan balik berupa lelucon yang hampir selalu menempatkan aku sebagai objek tertawaan. Dan benarlah.

“Maka dari itu, Yeng. Kamu cari pacar cepat-cepat, biar nanti tahun depan wisuda sudah punya gandengan untuk foto! Nanti Abah mau cuci fotonya satu yang besar, Abah pasang di ruang tamu”
Abah tertawa lagi. Lepas. Aku sekadar tersenyum. Kecut.

“Tanggalkan saja itu mimpi kamu buat jatuh cinta di perpustakaan, Yeng… Susah! Mau kamu jadi perawan tua? Ujung-ujung nanti malah menikahi buku-buku bau itu. Amit-amit, Iyeng!”

“Abah…” kali ini Pak Rohman mulai keterlaluan. Aku tidak pernah punya niatan untuk menikahi buku seberapapun aku cinta.  Tapi benar juga apa yang Abah coba sampaikan kepadaku. Tentang waktu.

Waktu membuat sesuatu tiada pada akhirnya. Seperti manusia yang mati, atau kertas yang perlahan sisa debu saking tuanya. Seperti waktu yang sudah mendoktrin semua orang agar menjauh dari lorong-lorong perpustakaan. Seperti waktu, yang aku.

Setelah Abah lelah menghujaniku dengan guyonan-guyonan pedih, ia menarik nafas dalam-dalam. Terlalu dalam sampai awalnya ku kira Abah akan menjungkang dari bangku yang ia duduki. Fokus mata Abah lalu tertuju pada bungkusan kecil di sudut meja yang sedari tadi belum aku sentuh. Sengaja tidak aku sentuh.

“Kenapa itu kado tidak dibuka, Yeng?”

“Ini kado harus Abah yang buka. Setuju?”

Aku tersenyum mantap. Giliran Abah mengerutkan kening.

Tapi tanpa diminta lagi Abah langsung menyambar bungkusan kado itu, membukanya dengan sekali robekan tanpa memikirkan tentang waktu yang aku habiskan untuk membungkusnya sedemikian rupawan.

“Anak Itik yang Buruk Rupa? Hans Christian Andersen? Kamu sehat, Yeng?”

Suara Abah cenderung bingung daripada menahan tawa. Aku tidak masalah dengan itu. Senyumku malah makin mantap, dan dengan suara yang sengaja kubuat terdengar sangat serius, akhirnya aku utarakan agenda terbesar malam istimewa ini pada Abah dan kumis berubannya itu.

“Abah tahu apa mimpi saya selain jatuh cinta di perpustakaan? Saya ingin sekali dibacakan Dongen, Bah. Sekali saja. Hitung-hitung membasuh luka tak pernah dibacakan dongeng oleh orang tua sewaktu kecil.”

Kening Abah perlahan mendatar seraya garis bibirnya terarik lebar.

“Dan saya ingin Abah, orang terdekat yang bisa saya anggap sebagai Ayah, yang membacakan dongeng itu spesial di ulang tahun saya ke dua puluh ini. Malam ini. Sekarang. Mau, kan, Bah?”

Garis bibir Abah yang makin melebar lalu robek dengan gigi ompong yang jelas terlihat meski lampu ruangan tidak terlalu terang.

“Kenapa tidak, Yeng?” Hangat. Seperti biasa.

Abah mulai bacakan kalimat demi kalimat, suara paraunya menghantarkanku pada lautan lepas yang tenang dan menenangkan. Hanya aku dan kemilau permukaan biru. Tak pernah aku merasa sebegitu aman.

Sekedar itu yang kuingat.

Embun pagi dari jendela yang terbuka menyadarkanku akan dua hal; Semalam, aku tak bisa berenang. Semalam, di atas gambar seekor anak itik yang tengah menangis, tangan Abah terhenti,

kaku seperti rak-rak kayu jati.

20/11/15

Kamis, 21 Januari 2016

Day 17

a part of my mental form is staying at some far far away stanger's porch
laying deep in conversations
and silence as transitions

a part of my mental form lives happily ever after
leaving a blank space in the heart of mine
which certainly I shall remember