Aku
melihatmu di persimpangan jalan pagi tadi, di dekat pos polisi. Cantik, seperti
biasa. Sempat-sempatnya kamu membantu seorang nenek tua menyebrang jalan.
Memang jalanan lumayan ramai, mudik lebaran. Hatiku sepi sekali, aku tak punya
rumah untuk pulang.
Tanpa maksud
mendeklarasikan diri sebagai penguntit, kadang aku mengikuti langkahmu sampai
ke depang gang, saking aku tak tahu harus melangkah kemana lagi. Seluruh sudut
kota sudah ku jajahi. Dari awal setahuku semua gang disebut “Mawar”—seperti
nama samaran korban pelecehan seksual—sampai sekarang aku hafal mati ada berapa
gang tikus di sini dan kemana saja mereka bercabang. Aku tidak akan tersesat
lagi. Nafasku sudah bersatu dengan nafas kota. Bersatu dengan asap knalpot bis
Damri tua.
Karena itu
kah aku memilih untuk tetap tinggal?
Jarum jam
sudah hampir menampar angka lima. Hanya tinggal tiga-empat pedangan yang masih
mengadu nasib di sepanjang jalan depan gerbang lusuh ini. Mereka bergantung
pada orang-orang semacam aku. Orang-orang yang hilang. Orang-orang yang
bertahan tanpa alasan. Aku sudah menghabiskan hampir setengah jam untuk duduk
di bangku panjang ini, sambil fokus berpikir; es pisang hijau, bubur sumsum,
kolak, es buah, ataukah sekedar es teh melati dari kios kopi rasa-rasa milik
mas-mas seram bertindik itu?
Es pisang
hijau sudah jadi takjil abadiku semenjak dua minggu yang lalu, kalau sampai
hari ini aku memilihnya lagi, lidahku pasti sudah bosan sebosan si Bapak
penjualnya melihat wajahku setiap sore. Tapi aku sedang tidak ingin bubur
sumsum atau kolak. Aku benci es buah dan aku malas melihat wajah penuh tindik
yang menyebalkan itu.
Mungkin aku
harus menunggu setengah jam lagi duduk di sini, di bangku panjang ini.
Barangkali tiba-tiba kamu muncul dari balik gerbang-gerbang itu, sama-sama
bingung memilih manis macam mana yang mau kamu nikmati maghrib ini. Atau
barangkali akan ada seorang dermawan yang tiba-tiba datang membagikan kotak
bukaan, sehingga aku tidak perlu memilih lagi. Aku benci sekali pilihan.
Kaki ku
pegal terlalu lama diam. Aku bangkit dan mulai berjalan meski kantor pusat di
atas sana belum memutuskan ingin membeli apa. Diam. Mengamati sekitar. Sepi
sekali sudah. Aku ingat betul awal-awal bulan ini dimulai; tempat ini seperti
pasar siluman. Pasar yang tiba-tiba sesak dalam hitungan detik, membuat orang
sulit bergerak, sulit bernapas. Sekarang hanya tinggal napas berat para penjual
melihat dagangannya belum juga laku meski hari semakin gelap.
Ibu-ibu
bercelemek tiba-tiba duduk di sampingku. Sambil sibuk mengelap tangannya yang
penuh minyak gorengan dengan serbet robek-robek seperti milikku di kostan. Nadanya
hangat sekali bertanya.
“Naha teu acan mudik, sep?”
“Enggak, Bu.
Kayaknya saya di sini aja lebarannya. Ibu mudik?”
“Ibu mah asli sini, makanya sampe sekarang
masih jualan juga. Yang lain mah udah
pada balik, udah pada mudik. Mahasiswa juga udah pada mudik, sepi kieu. Gorengan Ibu belum habis-habis ini
teh. Karunya si ade teu acan dipangmeulikeun acuk anyar keur solat Ied ”
Aku terdiam
sejenak. Ibu-ibu pedagang yang bahkan belum pernah kubeli gorengannya ini
tiba-tiba mencurahkan keresahannya akan baju lebaran anak, sedang aku bahkan
tidak bisa menyebutkan satu dua kata perihal keresahanku akan rumah pada
sahabat yang kukenal sejak masa rambutku botak sampai sekarang gondrong sebahu.
Mungkin memang seperti itu, lebih sederhana hidup sebagai Ibu-ibu penjual
gorengan ketimbang jadi sosok seperti aku.
“Gorengannya
satunya berapa, Bu?”
Ku akhiri
pembicaraan itu dengan mengeluarkan uang lima ribu dari dompet. Hitung-hitung
untuk bantu dana baju lebaran anak. Tempe goreng dan tahu isi? Aku alergi
kedelai.
Aku kembali
duduk di bangku panjang tadi, masih berpikir andai saja bisa bertukar tempat
dengan si Ibu penjual gorengan. Aku rela
setiap hari berhadapan dengan katel besar penuh minyak panas, menggoreng tempe
dan tahu, pisang dan sukun juga kalau perlu. Sekali dua kali terciprat minyak,
toh nantinya juga akan kebal, akan terbiasa. Seperti aku terbiasa dengan kota
ini. Dengan panas, terik, asap, dan sepi. Aku terbiasa akan sepi.
Sudah hampir
setengah enam. Aku cuma punya dua tempe goreng dan tiga tahu isi di genggaman;
yang aku beli tanpa pilihan. Teknisnya aku belum memilih apa-apa. Kantor di
atas sana masih sibuk menentukan. Aku coba buka kresek hitam gorengan itu, aku
lihat lagi bentuk-bentuknya, aku hayati remah-remah tepungnya.
Setelah aku lempar
lagi pandangan ke arah depan, sudut mataku menagkap bentuk baru—yang bukan
tempe goreng dan tahu isi. Kamu. Bahu kita terpaut tepat lima jengkal.
Tahukah kamu
bahwa ini adalah jarak terdekat kita? Lima jengkal. Tidak lebih. Aku bisa saja
rebah ke arahmu dan tidur dipangkuan itu kalau saja aku mau. Tapi entah,
mungkin lebih baik aku tanyakan dulu siapa namamu. Tapi entah juga, mungkin
lebih baik langsung aku curahkan saja segala yang ada di pikiranku sekarang.
Tentang gorengan. Tentang es pisang hijau. Tentang teh melati. Dan tentang
pulang ke rumah.
“Saya sering
sekali melihat kamu di sekitar sini. Kenapa belum mudik?”
Kamu tidak
merespon. Matamu tetap mengamati benda-benda bergerak di hadapan. Maka aku
gerakan juga tanganku supaya kamu sadar, setengah melambai. Kamu menoleh,
akhirnya. Tersenyum kecil. Manis. Manis sekali. Lalu membuang muka. Seperti
itu. Senyummu tinggal kenangan.
Aku bertekad
untuk tetap melanjutkan apapun itu yang ingin aku ceritakan padamu. Tidak peduli
bagaimana kamu merespon. Diam kah. Tertawa kah. Menangis kah. Atau pergi
menjauh sekalipun. Tidak bisa kubendung lagi. Aku harus mencurahkan resah ini
pada satu manusia. Kamu.
“Saya tidak
mudik lebaran kali ini. Bapak menyuruh pulang. Ibu juga. Tapi dua-duanya minta
saya untuk pulang ke rumah yang berbeda. Sementara saya sendiri merasa tidak
punya rumah. Saya harus apa?”
Aku menelan
ludah.
“Kamu pasti
orang sini ya? Tidak mudik. Kadang saya iri dengan pribumi, saya perantau bisa
apa. Hanya menumpang. Kalo hari besar seperti ini, yang menumpang biasanya
diharapkan untuk balik ke asalnya masing-masing. Kalau saya tidak mau,
bagaimana? Lagi pula saya ingin tahu bagaimana rasanya lebaran di sini. Saya
penasaran mesjid dan lapangan mana saja yang akan dipakai untuk solat Ied
nanti. Kamu tahu? Tidak ya? Hehe. Memangnya apa juga esensi dari mudik itu
sendiri? Supaya bisa berkumpul dengan sanak saudara? Itu saja? Toh bisa juga
bertemu di luar euphoria lebaran.
Saya belum mengerti sampai sekarang.”
Kamu masih
diam. Kakimu menggantung dan kamu ayun-ayunkan. Tampak sedang menunggu sesuatu.
“Saya sudah
biasa seperti ini. Dari dulu, ditemani sepi. Sudah bersahabat dekat bahkan
semenjak saya, Bapak, Ibu dan Adik masih satu atap. Sekarang saya lebih suka di
sini. Sudah nyaman. Sudah kenal dengan kuncen-kuncen tiap sudutnya. Kadang juga
saya tidur siang di rumput arboretum, kalau sedang suntuk-suntuknya masalah
kuliah. Dari pada tidur di kamar kostan, kalau saya tiba-tiba mati, kasian
tetangga nanti kebauan.”
Kamu
tiba-tiba mendongak sedikit, lalu melambai. Seseorang dari seberang jalan
berlari menghampirimu. Ia memelukmu. Erat. Erat sekali. Lima jengkal dari
tubuhku. Kalian terlihat seperti teman lama yang akhirnya bertemu kembali. Aku memang
tidak yakin seberapa lama, tapi aku cukup yakin bahwa ia jauh lebih mengenalmu,
ketika ia mulai menggerakaan tangannya begini begitu.
Kamu tuna
rungu.
Enam
jengkal. Tujuh jengkal. Delapan jengkal. Sembilan jengkal. Sampai kalian menghilang
di balik gerbang. Lalu tinggal aku sendiri.
Seperti biasa. Sepi.
“Sebenarnya, saya ingin sekali pulang” cuma
angin yang mendengar.
Adzan
akhirnya berkumandang. Para penjual takjil sudah dorong gerobak, pulang.
Mungkin bersiap untuk takbiran.
Stok CTM-ku
sudah habis di kostan.
Perantau kecil yang tidak tahu harus pulang kemana,
N
Wonosobo, 16/7/15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar