Kamis, 16 Juli 2015

Obrolan tentang Takjil dan Pulang

Aku melihatmu di persimpangan jalan pagi tadi, di dekat pos polisi. Cantik, seperti biasa. Sempat-sempatnya kamu membantu seorang nenek tua menyebrang jalan. Memang jalanan lumayan ramai, mudik lebaran. Hatiku sepi sekali, aku tak punya rumah untuk pulang.

Tanpa maksud mendeklarasikan diri sebagai penguntit, kadang aku mengikuti langkahmu sampai ke depang gang, saking aku tak tahu harus melangkah kemana lagi. Seluruh sudut kota sudah ku jajahi. Dari awal setahuku semua gang disebut “Mawar”—seperti nama samaran korban pelecehan seksual—sampai sekarang aku hafal mati ada berapa gang tikus di sini dan kemana saja mereka bercabang. Aku tidak akan tersesat lagi. Nafasku sudah bersatu dengan nafas kota. Bersatu dengan asap knalpot bis Damri tua.

Karena itu kah aku memilih untuk tetap tinggal?

Jarum jam sudah hampir menampar angka lima. Hanya tinggal tiga-empat pedangan yang masih mengadu nasib di sepanjang jalan depan gerbang lusuh ini. Mereka bergantung pada orang-orang semacam aku. Orang-orang yang hilang. Orang-orang yang bertahan tanpa alasan. Aku sudah menghabiskan hampir setengah jam untuk duduk di bangku panjang ini, sambil fokus berpikir; es pisang hijau, bubur sumsum, kolak, es buah, ataukah sekedar es teh melati dari kios kopi rasa-rasa milik mas-mas seram bertindik itu?

Es pisang hijau sudah jadi takjil abadiku semenjak dua minggu yang lalu, kalau sampai hari ini aku memilihnya lagi, lidahku pasti sudah bosan sebosan si Bapak penjualnya melihat wajahku setiap sore. Tapi aku sedang tidak ingin bubur sumsum atau kolak. Aku benci es buah dan aku malas melihat wajah penuh tindik yang menyebalkan itu.

Mungkin aku harus menunggu setengah jam lagi duduk di sini, di bangku panjang ini. Barangkali tiba-tiba kamu muncul dari balik gerbang-gerbang itu, sama-sama bingung memilih manis macam mana yang mau kamu nikmati maghrib ini. Atau barangkali akan ada seorang dermawan yang tiba-tiba datang membagikan kotak bukaan, sehingga aku tidak perlu memilih lagi. Aku benci sekali pilihan.

Kaki ku pegal terlalu lama diam. Aku bangkit dan mulai berjalan meski kantor pusat di atas sana belum memutuskan ingin membeli apa. Diam. Mengamati sekitar. Sepi sekali sudah. Aku ingat betul awal-awal bulan ini dimulai; tempat ini seperti pasar siluman. Pasar yang tiba-tiba sesak dalam hitungan detik, membuat orang sulit bergerak, sulit bernapas. Sekarang hanya tinggal napas berat para penjual melihat dagangannya belum juga laku meski hari semakin gelap.

Ibu-ibu bercelemek tiba-tiba duduk di sampingku. Sambil sibuk mengelap tangannya yang penuh minyak gorengan dengan serbet robek-robek seperti milikku di kostan. Nadanya hangat sekali bertanya.

Naha teu acan mudik, sep?”
“Enggak, Bu. Kayaknya saya di sini aja lebarannya. Ibu mudik?”
“Ibu mah asli sini, makanya sampe sekarang masih jualan juga. Yang lain mah udah pada balik, udah pada mudik. Mahasiswa juga udah pada mudik, sepi kieu. Gorengan Ibu belum habis-habis ini teh. Karunya si ade teu acan dipangmeulikeun acuk anyar keur solat Ied

Aku terdiam sejenak. Ibu-ibu pedagang yang bahkan belum pernah kubeli gorengannya ini tiba-tiba mencurahkan keresahannya akan baju lebaran anak, sedang aku bahkan tidak bisa menyebutkan satu dua kata perihal keresahanku akan rumah pada sahabat yang kukenal sejak masa rambutku botak sampai sekarang gondrong sebahu. Mungkin memang seperti itu, lebih sederhana hidup sebagai Ibu-ibu penjual gorengan ketimbang jadi sosok seperti aku.

“Gorengannya satunya berapa, Bu?”

Ku akhiri pembicaraan itu dengan mengeluarkan uang lima ribu dari dompet. Hitung-hitung untuk bantu dana baju lebaran anak. Tempe goreng dan tahu isi? Aku alergi kedelai.

Aku kembali duduk di bangku panjang tadi, masih berpikir andai saja bisa bertukar tempat dengan si  Ibu penjual gorengan. Aku rela setiap hari berhadapan dengan katel besar penuh minyak panas, menggoreng tempe dan tahu, pisang dan sukun juga kalau perlu. Sekali dua kali terciprat minyak, toh nantinya juga akan kebal, akan terbiasa. Seperti aku terbiasa dengan kota ini. Dengan panas, terik, asap, dan sepi. Aku terbiasa akan sepi.

Sudah hampir setengah enam. Aku cuma punya dua tempe goreng dan tiga tahu isi di genggaman; yang aku beli tanpa pilihan. Teknisnya aku belum memilih apa-apa. Kantor di atas sana masih sibuk menentukan. Aku coba buka kresek hitam gorengan itu, aku lihat lagi bentuk-bentuknya, aku hayati remah-remah tepungnya.

Setelah aku lempar lagi pandangan ke arah depan, sudut mataku menagkap bentuk baru—yang bukan tempe goreng dan tahu isi. Kamu. Bahu kita terpaut tepat lima jengkal.

Tahukah kamu bahwa ini adalah jarak terdekat kita? Lima jengkal. Tidak lebih. Aku bisa saja rebah ke arahmu dan tidur dipangkuan itu kalau saja aku mau. Tapi entah, mungkin lebih baik aku tanyakan dulu siapa namamu. Tapi entah juga, mungkin lebih baik langsung aku curahkan saja segala yang ada di pikiranku sekarang. Tentang gorengan. Tentang es pisang hijau. Tentang teh melati. Dan tentang pulang ke rumah.

“Saya sering sekali melihat kamu di sekitar sini. Kenapa belum mudik?”

Kamu tidak merespon. Matamu tetap mengamati benda-benda bergerak di hadapan. Maka aku gerakan juga tanganku supaya kamu sadar, setengah melambai. Kamu menoleh, akhirnya. Tersenyum kecil. Manis. Manis sekali. Lalu membuang muka. Seperti itu. Senyummu tinggal kenangan.

Aku bertekad untuk tetap melanjutkan apapun itu yang ingin aku ceritakan padamu. Tidak peduli bagaimana kamu merespon. Diam kah. Tertawa kah. Menangis kah. Atau pergi menjauh sekalipun. Tidak bisa kubendung lagi. Aku harus mencurahkan resah ini pada satu manusia. Kamu.

“Saya tidak mudik lebaran kali ini. Bapak menyuruh pulang. Ibu juga. Tapi dua-duanya minta saya untuk pulang ke rumah yang berbeda. Sementara saya sendiri merasa tidak punya rumah. Saya harus apa?”

Aku menelan ludah.

“Kamu pasti orang sini ya? Tidak mudik. Kadang saya iri dengan pribumi, saya perantau bisa apa. Hanya menumpang. Kalo hari besar seperti ini, yang menumpang biasanya diharapkan untuk balik ke asalnya masing-masing. Kalau saya tidak mau, bagaimana? Lagi pula saya ingin tahu bagaimana rasanya lebaran di sini. Saya penasaran mesjid dan lapangan mana saja yang akan dipakai untuk solat Ied nanti. Kamu tahu? Tidak ya? Hehe. Memangnya apa juga esensi dari mudik itu sendiri? Supaya bisa berkumpul dengan sanak saudara? Itu saja? Toh bisa juga bertemu di luar euphoria lebaran. Saya belum mengerti sampai sekarang.”

Kamu masih diam. Kakimu menggantung dan kamu ayun-ayunkan. Tampak sedang menunggu sesuatu.

“Saya sudah biasa seperti ini. Dari dulu, ditemani sepi. Sudah bersahabat dekat bahkan semenjak saya, Bapak, Ibu dan Adik masih satu atap. Sekarang saya lebih suka di sini. Sudah nyaman. Sudah kenal dengan kuncen-kuncen tiap sudutnya. Kadang juga saya tidur siang di rumput arboretum, kalau sedang suntuk-suntuknya masalah kuliah. Dari pada tidur di kamar kostan, kalau saya tiba-tiba mati, kasian tetangga nanti kebauan.”

Kamu tiba-tiba mendongak sedikit, lalu melambai. Seseorang dari seberang jalan berlari menghampirimu. Ia memelukmu. Erat. Erat sekali. Lima jengkal dari tubuhku. Kalian terlihat seperti teman lama yang akhirnya bertemu kembali. Aku memang tidak yakin seberapa lama, tapi aku cukup yakin bahwa ia jauh lebih mengenalmu, ketika ia mulai menggerakaan tangannya begini begitu.

Kamu tuna rungu.

Enam jengkal. Tujuh jengkal. Delapan jengkal. Sembilan jengkal. Sampai kalian menghilang di balik gerbang. Lalu tinggal aku sendiri.  Seperti biasa. Sepi.

 “Sebenarnya, saya ingin sekali pulang” cuma angin yang mendengar.

Adzan akhirnya berkumandang. Para penjual takjil sudah dorong gerobak, pulang. Mungkin bersiap untuk takbiran.

Stok CTM-ku sudah habis di kostan.


Perantau kecil yang tidak tahu harus pulang kemana,
N


Wonosobo, 16/7/15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar