Senin, 26 Oktober 2015

Soal Bahagia

Saya ingin bicara soal kebahagiaan. Saya tidak tahu harus memulai dari mana, tapi bukankah kebahagian itu terlalu abstrak untuk memiliki awal dan akhir yang jelas? Kebahagiaan tidak bisa dipegang seperti saya menyentuh keyboard komputer jinjing ini, kebahagiaan tidak dapat dilihat, tidak dapat dicium, tidak dapat diukur. Namun justru keabstrakannya itu yang membuat kebahagiaan dicari, dan dipuja. Sampai saat ini saya masih berusaha mencari, entah itu diperjalanan pulang ke kostan, di toko alat tulis langgangan, atau di warung makan Mentari milik bapak-bapak baik hati itu. Saya mencari, siapa tahu saya berbentur dengan kebahagiaan. Sehingga saya tahu pasti, sehingga keabstrakannya segera ditanggalkan.

Saya tidak berhak mengklaim bahwa mereka yang tidur di emperan toko kalah bahagia bahagia dari mereka yang nyenyak di ranjang empuk, setelah meminum beberapa buah pil tidur. Saya tidak berhak mengklaim bahwa mereka yang lahap makan dari tong-tong sampah kalah bahagia dari mereka yang 'jajan' dari piring-piring besar dengan secuil makanan di tengahnya. Saya juga tidak berhak mengklaim bahwa mereka yang mengakhiri nyawa sendiri kalah bahagia dari mereka yang pesakitan dan tinggal menunggu ajal. Bukankah itu menekankan bahwa kebahagiaan adalah satu hal yang tidak pernah disa diukur, atau dibanding-bandingkan?

Saya ingin suatu hari nanti menciptakan alat yang dapat mengukur kebahagiaan. Saya ingin sekali melihat seseorang tepat di mata dan mengucapkan "Kamu bahagia," dan "Kamu tidak." Semua akan lebih sederhana dan semua orang akan berhenti menerka-nerka. Apakah dia sudah cukup bahagia? Apakah selama ini ia pernah bahagia? Mata saya sembab karena terlalu banyak tidur dua hari kebelakang, apakah saya tidur karene lelah mencari kebahagiaan? Saya tidak tahu. Tidak ada yang pernah tahu.

Seorang dosen berkata semua hal ini adalah soal disorientasi masa depan, bahwa mereka yang telah memiliki segalanya pun akan jatuh di lubang terdalam jika menyadari bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah sia-sia, dan tanpa tujuan. Lalu mereka mulai mempertanyakan arti kebahagiaan itu sendiri, pada akhirnya. Mungkin memang seperti itu, mungkin mereka yang tidak bahagia adalah orang-orang yang membutuhkan ketenangan hakiki, atau apalah itu namanya.

Lebih sulit lagi apabila kita mencari kebahagiaan saat kita belum menemukan diri kita sendiri. Saya peringatkan bahwa tulisan ini akan mengerucut jadi curahan hati, kamu masih punya kesempatan untuk berhenti membaca, lalu berpindah laman. Kesalahan terbesar saya adalah mencari apa yang tidak pernah hilang, dan menyimpan apa yang tidak pernah saya temukan. Saya terlalu sibuk mencari, menggarisi titik-titik yang saya percaya akan membentuk sebuah kata bahagia. Sampai-sampai saya lupa bahwa tidak ada gunanya mencari apabila diri saya sendiri pun tidak punya cukup lahan untuk menyimpan hal-hal tadi. Diri saya sudah penuh dengan apa yang saya percayai adalah saya--sekumpulan kata-kata yang bermakna jauh dari positif. Lalu harus bagaimana? Nampaknya tulisan ini sudah bergeser fungsi, seperti yang sudah saya peringatkan tadi.

Pada akhirnya kebahagiaan masih jadi satu hal yang abstrak. Yang tidak sama seperti keyboard komputer jinjing ini. Pada akhirnya saya masihlah saya yang bertanya dan mencari, lalu menyerah lagi.