Minggu, 23 Agustus 2015

Surat Pertama

Aku menemuimu lagi kemarin malam.

Lucu karena di antara semua jarak dan waktu yang sengaja aku ciptakan, kamu tetap menemukan jalan pintasmu sendiri. Menyusup diam-diam, dari balik selimut tebal dan bantal empuk. Menyebrang dari pulau orang-orang terjaga, lalu bermalam mendirikan tenda di ranah abstrak bawah sadar seseorang.

Ranah abstrakku berupa kapal pesiar tadi malam. Aku sendiri belum pernah memijak kaki ke sana. Semua terasa baru dan asing, cuma kamu yang hadir dalam balutan rasa familiar. Aneh, karena beberapa waktu ke belakang, di tanah orang-orang terjaga, kamu sudah bermetamorfosa menjadi sosok yang tidak bisa lagi aku terjemahkan bahasanya.

Kamu hadir untuk pertama kalinya tadi malam. Jarak terdekat kulit kita bahkan belum pernah berhasil membawa mu meninggalkan pulau itu, pulau orang-orang terjaga. Tapi sekarang, tadi malam, kamu berhasil menampakkan raga.

Orang bilang, kerinduan bisa menciptakan fenomema tersebut. Meski entah kerinduan pihak pertama ataupun pihak kedua. Tapi bukankah sama saja? Rindu buatku bukanlah hal yang kompleks. Rindu ya rindu. Tinggal dinikmati. Hal tersulit yang harus dihadapi adalah bagaimana merelakan rindu itu sendiri. Rindu bukan hal yang dengan mudah hilang seiring kalender berganti tanggal. Kamu mengerti, kan?

Atas nama jarak dan waktu yang sengaja aku cipta,
Aku merindukanmu.

Entah kenapa.

Rabu, 19 Agustus 2015

Puisi Yang Katanya Soal Asa

Beberapa waktu lalu, Unit Kegiatan Mahasiswa yang sudah lumayan lama saya tinggal berulang tahun. Dibuatlah semacam parade tahunan. Penuh pementasan. Sebagai permintaan maaf karena sudah tidak pernah lagi menyetor muka, saya bersedia menulis puisi yang akan dipentaskan dalam bentuk musikalisasi. Mengusung tema "Asa", cuma ini yang terlintas di benak saya:

Sedang Aku

Ada gemilang bintang yang malah redup ketika petang
Ada jiwa-jiwa malang yang hilang ketika baru dilahirkan
Sedang aku hanya ingin duduk diam bersamamu dan sesendok madu
Meratap manis untuk mereka yang telah jatuh, bahkan sebelum mulai menetes peluh

Ada kado-kado natal yang tak sekalipun terjamah
Ada sekam yang ditinggal tanpa terpisah dari gabah
Sedang aku hanya ingin memelukmu dan bersandar di bahu
Sejenak merenung untuk semua kesempatan yang tersesat di jalan, dan tak pernah sampai tujuan

Satu waktu boleh lagi kita bertemu, bercakap mesra soal cerita-cerita masa lalu
Tertawa lugu dengan sorot mata memburu
Seperti ketika harap masih kerap menggebu

15/4/15

Melihat Secercah

Kala lesung sekelebat hadir di langit mendung
Tetes air lalu jatuh menembus garis senyuman rikuh
Tak bawa ia payung, tak juga ia berlindung

Kala terik terlampau jauh mencabik-cabik
Tetes air lalu jatuh sebagi deras kucuran peluh
Tak sampai ia bergidik, tak sedikitpun ia terusik

Kalau bisa aku menangis darah, maka terjadilah
Biar disimpan sendiri segala keluh kesah
Agar tak rusak ia yang terus menengadah

Tak lelah,
Meski hanya melihat secercah

20/4/15

Terlepas dari susunan kata yang lebih mirip hasil karya poetweet.com ini, pementasannya sangat luar biasa. Baru kali itu saya ingin menangis mendengar apa yang pas-pasan saya tulis bisa dinyanyikan dengan nuansa seindah-indahnya. 

Saya memeluk erat salah seorang tim paduan suara selepas parade rampung.
Berterima kasih.
Lalu tetap tidak menyetor muka sampai sekarang.