Ada sebuah pemikiran dimana untuk
mengenali seseorang, kita tidak perlu mengenal seseorang itu secara pribadi,
melainkan cukup dengan karyanya saja. Karena sosok seseorang menjelma seutuhnya
ke dalam karya yang ia ciptakan. Seperti kita yang menilai burung dari merdu
kicauannya, menilai orang dari apa yang ia ucapkan, juga menilai penulis dari
apa yang mereka tuliskan.
Saya mengenal satu sosok pemimpin muda,
meski belum pernah bertatap muka, meski kami hidup di masa yang berbeda hampir
5 dekade lamanya. Saya tahu namanya Soe Hok Gie, saya tahu ia lahir tanggal 17
Desember 1942 dan meninggal ketika berumur 27 tahun kurang sehari, saya tahu ia
adalah mahasiswa UI Fakultas Sastra, dan menjadi sosok yang begitu berpengaruh
pada masanya.
Peranan Soe Hok Gie dalam penegakkan
Orde Baru yang dipimpin Jendral Soeharto memang tidak kecil, sebagai seorang
jurnalis juga aktivis. Ia berharap Orde Baru dapat menegakkan keadilan sosial,
dan ia tidak segan melontarkan kritikan pedas yang mengundang banyak pro dan
kontra di berbagai kalangan. Meskipun itu berarti harus terkucilkan atau bahkan
dilempari surat kaleng berisi ancaman.
Kritik-kritik dan kecaman yang
dilontarkan oleh Soe Hok Gie dilancarkan atas pemikiran yang jujur dan
realistis. Ia memang tidak selalu benar, namun ia selalu jujur. Setiap kritik
dan kecamannya pun tidak pernah dilontarkan tanpa perasaan prihatin. Sayang
sekali sosok pemimpin muda ini juga mati di usia muda. Saya yakin bila nasibnya
sedikit lebih baik, ia akan menjadi tokoh yang lebih besar, lebih berperan, dan
lebih terkenal. Saya yakin akan menemukan namanya di buku-buku pelajaran
sejarah yang saya punya saat ini, jika saja ia hidup lebih lama dan melanjutkan
perjuangannya.
“Kita, generasi muda ditugaskan untuk
memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas
mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, seperti (…). Kitalah yang dijadikan
generasi yang akan memakmurkan Indonesia.” (Catatan
Seorang Demonstran, Soe Hok Gie, Penerbit LP3ES, 1983).
Kutipan di atas adalah salah satu
tulisan Soe Hok Gie pada buku hariannya, yang akhirnya (setelah ia meninggal) diterbitkan
setelah disunting, karena dianggap terlalu beresiko apabila tetap mencantumkan
nama seperti pada buku harian asli miliknya.
Soe Hok Gie adalah salah satu figur
pemimpin muda berkarakter yang sudah sulit ditemukan di masa sekarang. Sedang
waktu yang terus berjalan selalu membawa kita selangkah demi selangkah ke masa
depan. Dan masa depan perlu diisi dengan penerus-penerus baru, pejuang-pejuang
muda yang dapat diandalkan untuk mengurusi kemana bangsa dan negara ini mau
dibawa.
Kaum muda memang identik dengan
perubahan yang dibawanya. Perubahan-perubahan yang diharapkan dapat membawa bangsa ke arah yang lebih baik dari
masa-masa sebelumnya. Pandangan ini muncul karena cita-cita golongan tua yang
berharap bangsanya akan menjadi lebih baik di kemudian hari, dan ambisi
golongan muda untuk memperbaiki kecacatan juga kerusakan-kerusakan yang
ditinggalkan oleh orang-orang sebelumnya.
Sosok seorang Soe Hok Gie sebagai pemuda
pada masanya, sangat jauh berbeda dengan kita. Ia lahir ketika perang tengah
berkecamuk di Pasifik, sedang generasi kita lahir di masa yang tinggal terima
jadi dan tidak perlu tahu apa-apa.
Barangkali
ini adalah salah satu faktor mengapa generasi muda pada jaman itu lebih peka
terhadap keadaan yang tengah terjadi di tengah-tengah mereka. Mereka yang
merasakan pahit akan mati-matian mencari tahu bagaimana rasanya mengecap manis.
Dan mereka yang sudah terbiasa merasakan manis, tidak sudi untuk sekali saja
mengecap pahit.
Lepas dari masalah pahit-manisnya
pengalaman yang dirasa, masa depan bangsa masih menggantung di hadapan kita.
Harus ada penerus, atau Indonesia hanya tinggal nama. Mau tidak mau
pemimpin-pemimpin muda berkarakter harus lahir kembali untuk meneruskan
perjuangan kaum tua, memperbaiki kesalahan-kesalahan, dan membawa Indonesia
pada keadilan sosial yang sesungguhnya, seperti cita-cita Soe Hok Gie pada masa
Orde Baru dulu.
Lalu, bagaimana caranya melahirkan
pemimpin-pemimpin muda dengan semangat juang tinggi seperti dulu lagi?
Kaum muda Indonesia saat ini dapat
dibilang sudah tertidur terlalu lama. Terbuai dengan segala kenyamanan dan
fasilitas yang mereka punya, sehingga semakin merasa bahwa bangsa yang di
tempatinya ini baik-baik saja. Dan tidak memikirkan bahwa bagaimanapun harus
ada penerus yang melanjutkan perjuangan bangsanya.
Tentu bukan kaum muda sembarangan yang dapat
dijadikan calon-calon penerus dan pemimpin bangsa. Calon-calon pemimpin harus
memiliki dasar moral yang kuat. Seperti halnya agama, moral juga menjadi
pondasi setiap pemimpin, juga setiap manusia. Mereka yang memimpin tanpa moral
yang tinggi tidak akan pernah bertahan lama, karena membangun rumah dengan
pondasi yang salah sama saja loncat indah ke dalam jurang.
Mari kita ingat lagi konsep menulis Soe
Hok Gie, ia memang tidak selalu benar karena memang tidak ada manusia sempurna,
namun ia berkata jujur dan apa adanya. Kejujuran adalah salah satu hal
terpenting untuk membentuk jiwa seorang pemimpin. Kekuasaan tanpa kejujuran
hanya akan melahirkan tikus-tikus pemakan uang yang bersembunyi di balik
meja-meja pemerintah. Koruptor-koruptor busuk yang berdansa sementara rakyat
menderita. Dan pejabat-pejabat hina yang berfoya-foya sementara rakyat
meminta-minta.
Kejujuran itu sendiri bukanlah sepaket
karakter yang bisa dengan instan diperoleh dalam jiwa seseorang. Seperti kata
orang, ‘bisa karena biasa’. Kejujuran dan ketidak jujuran berawal dari
kebiasan. Dalam beberapa kasus, kebiasaan ini dimulai dari usia yang sangat
muda dan hal-hal yang dianggap sangat sederhana.
Contohnya, seorang anak yang sejak kecil terbiasa mencontek dalam ulangan, kemungkinan
besar akan berakhir menjadi koruptor ketika sudah dewasa dan menjadi pejabat.
Karena sejak kecil sudah terbiasa menghalalkan segala cara untuk memenuhi apa
yang ingin dicapainya. Mencontek untuk mendapatkan nilai ulangan tinggi tanpa
belajar, lama kelamaan bertransformasi jadi menggelapkan uang untuk mendapatkan
penghasilan besar tanpa susah payah bekerja lebih.
Sedangkan, jika seorang anak terbiasa
bersikap jujur semenjak kecil. Ia akan terbiasa mencapai apa yang ia inginkan
tanpa berbuat curang, atau menyalahi aturan. Sampai dewasa, anak ini akan tetap
berbuat jujur, karena meyakini bahwa apa yang dilakukannya semenjak kecil
adalah benar. Dari anak-anak seperti ini pemimpin-pemimpin muda akan tercipta.
Dengan berkembangnya kemampuan berpikir seiring bertambah usia, ia akan mulai
tersadar kalau kejujuran adalah hal yang sarat ditemukan, dan ingin meluruskan
kembali apapun itu yang sudah menyimpang.
Namun bila bicara kenyataan, memang
generasi muda yang seperti itu sudah sulit ditemukan. Banyak generasi muda yang
memiliki potensi, namun tidak peduli apa yang terjadi di sekitarnya. Generasi
muda jaman ini hampir bisa dibilang kehilangan semangat juang.
Padahal, jika membandingkan masalah perkembangan
IPTEK dan semangat juang pada jaman dulu dengan jaman sekarang. Tentu saja kita
akan temukan kenyataan ‘lucu’ yang kadang memilukan. Kaum muda jaman dulu
memiliki semangat juang tinggi untuk memajukan bangsa, meski perkembangan IPTEK
pada jaman itu tentu saja masih jauh di bawah apa yang sudah kita rasakan saat ini.
Sedangkan pada masa ini, ketika IPTEK tengah pesat berkembang, dan segala
fasilitas sudah dalam genggaman kita, kita malah hampir tidak punya lagi
semangat juangnya. Kita tidur. Hampir seperti mati karena dibuai teknologi.
Bayangkan saja, apa yang bisa terjadi
bila kedua sisi positifnya digabungkan. Semangat juang tinggi yang sudah
difasilitasi segala teknologi. Saya yakin dalam kurun waktu yang singkat,
bangsa Indonesia bisa lebih maju dalam berbagai bidang. Entah itu politik,
perekonomian, atau sosial.
Jadi, bangunlah dulu dari mimpi hidup
bahagia selamanya. Dan mulai melakukan sesuatu yang bisa mewujudkan mimpi itu
serta cita-cita bangsa Indonesia. Sudah tiba saatnya kita generasi muda untuk
bangkit kembali. Dan mewujudkan segala cita-cita pendiri bangsa untuk kemajuan
Indonesia. Meneruskan apapun yang sudah dibangun. Meluruskan apapun yang sudah
menyimpang. Dan memperbaiki apapun yang pernah rusak.
Kita diajarkan untuk mengingat
pemikiran, bukan orang. Karena orang memang tidak abadi dan kapanpun ia bisa
mati. Tapi pemikiran tetap bisa hidup selama ada orang lain yang meyakininya,
selama ada orang lain yang melanjutkan perjuangannya. Dan memang sosok pemimpin
muda bernama Soe Hok Gie sudah lenyap dari muka bumi, namun sekarang, 44 tahun
sejak kematiannya, pemikiran tentang terciptanya keadilan yang sebenarnya di
Indonesia masih ada dan diyakini. Dan itu akan menciptakan Soe Hok Gie-Soe Hok
Gie baru. Melahirkan pemimpin-pemimpin baru.
Samarinda, Februari 2013
5 besar essai terbaik Dies Natalis IBMT Internasional University Surabaya
Tulisan siapa nih?
BalasHapusSaya kak -_- tugas essay pas Sma, dipaksa guru ikut lomba :(
HapusHahaha...Not bad... Kak?
BalasHapusiya not bad, KAK :3
HapusKAK?
BalasHapusKAKmif.
Hapus