Jumat, 20 Desember 2013

Saya sering melamun belakangan. Entah kenapa, saya juga tidak terlalu mengerti. Kalau orang melamun karena sedang berpikir, saya melamun tanpa pikiran. Kadang ketika saya menatap pada satu titik, tiba-tiba waktu terasa berhenti, pikiran terhapus, dan bahu turun naik menjadi satu-satunya pertanda saya masih hidup. Saya merasa jadi orang paling menyedihkan sedunia. Tiap kali seseorang menyadarkan saya dari lamunan itu dan bertanya kenapa, saya tidak bisa menjawab apa-apa.
Saya bukan orang yang terbiasa dengan keramaian. Selalu pusing bila terlalu banyak orang. Mungkin karena itu juga saya malah sering diam. Seakan tubuh ini ditinggalkan, dan hanya sepertiga jiwa yang tersisa untuk tersenyum dan tertawa kecil pada setiap pembicaraan.
Saya merasa sakit, dan ingin sekali disembuhkan.

Sabtu, 14 Desember 2013

Saya bukan seorang ahli dan saya belum hidup lebih lama dari kamu.
Tapi saya cuma ingin bilang;

Lepaskan.

Menahan diri

Ketika kamu tahu apa itu sakit, kamu bisa belajar menikmati keindahan-keindahan kecil di sekitarmu. Siapa kira plastik hitam yang tertiup angin bisa jadi hal indah tersendiri?
Saya merasa terlahir baru. Seperti Phoenix yang lahir kembali dari abu. Saya bangun pagi ini dan merasa tertanam dalam tubuh yang berbeda. Tertanam tidak terjebak. Karena ketika kamu terhenti pada pilihan melawan atau mati, kamu hanya bisa pasrah dan menikmati. Setiap partikel dalam tubuhmu memberontak, tapi sudut kecil dalam hati mu berkata, "semua akan baik-baik saja."
Saya tidak tahu harus apa, tapi saya tidak juga merasa takut. Takut sepertinya sudah kadaluarsa. Sisa benci menjamur di balik-balik pintu, menunggu pintu ditutup sehingga ia bisa kembali merajai. Saya menahan diri, mengingat kembali keindahan-keindahan kecil tadi. Awan berjalan, plastik tertiup, pasir di lantai. Apapun yang bisa mengganjal pintu itu supaya tetap terbuka. Saya berusaha.
Saya memaknai setiap detiknya. Setiap usaha saya. Kadang topeng tak lagi berguna. Selalu ada mata-mata yang menangkap kehadiran itu di mata saya. Dan tak peduli berapa banyak mata-mata yang mengerti, selalu sulit untuk saya menahan diri.
Tolong ingatkan lagi keindahan-keindahan kecil tadi.
Tolong ingatkan lagi bahwa kamu ada di sini,
bahwa saya tidak sendiri.

Sabtu, 07 Desember 2013

Bicara

Semesta bicara, tanpa bahasa. Tinggal saja kau rasa apa yang seharusnya. Kalau memang begitu mau semesta, saya hanya bisa tersenyum sambil berkata; saya siap mendengar semua, dan kamu juga akan mendengar suatu cerita. Bukannya semua orang punya cerita masing-masing?
Semesta bicara, katanya kita harus bicara.

Jumat, 06 Desember 2013

Wahai mata

"Apa hal yang pertama kamu lihat waktu kamu melihat warna putih?"

Begitu tanya seorang teman, kemarin dulu. Dia bilang, saya hanya harus menuangkan apa yang saya lihat. Saya tahu semua mata itu berbeda. Apa yang saya lihat belum tentu sama di lain mata.

Karena mata adalah bagian paling emosional dari manusia, kata seseorang di masa lalu.

Saya penasaran. Adakah mata lain di luar sana yang sefrekuensi dengan mata saya? Sehingga kami bisa melihat hal-hal yang sama, tanpa perlu bicara panjang lebar sekedar menjelaskan tentang apa yang tertangkap oleh masing-masing mata. Saya mencari mata itu. Saya ingin bertemu, menatap, lalu menyelaminya. Memastikan setiap detail partikelnya, sampai saya temukan secuil mata saya dalam matanya. Lalu mencari tahu hal apa yang membuat mata kami ada di jendela yang sama.

Mungkin saja saya sudah bertemu mata itu, di persimpangan jalan, di trotoar, di kursi taman, di tangga, bahkan di bangku sebelah saya. Mungkin mata itu ada di sekitar saya. Mungkin mata itu tertanam dalam tubuh yang suaranya pernah sampai ke telinga saya. Mungkin mata itu pernah menatap mata saya, namun tak menyadari apa-apa karena tak tahu apa-apa juga saya soal dia.

Saya mencari kamu, wahai mata.
Mata saya ingin sekali bertemu teman yang sebangsa.
Saya ingin sekali bertemu orang yang semata.




Kerapuhan, itu hal yang pertama saya lihat pada warna putih.

Rabu, 04 Desember 2013

Apa kamu pernah merasa? Ketika kamu ingin sekali bicara tapi tak sedikitpun suara yg keluar, padahal kata-kata sudah tergantung di ujung lidah, di belakang gigi, ditutup selapis daging bernama bibir. Kamu cuma bisa diam. Tersenyum sopan atau bahkan membuang muka. Padahal orang itu orang yang kamu suka.
Saya pernah, sangat pernah sampai saya lupa berapa kali tepatnya. Saya tidak bisa bicara pada orang yang membuat saya bangun lebih pagi, berpakaian lebih cepat dan tidak sarapan, sekedar untuk bisa duduk di kelas paling pertama. Supaya saya bisa lihat dia datang, masuk dari pintu dan duduk di kursinya, kursi seberang dan agak kebelakang. Saya hafal benar.
Kira-kira seperti itu cerita saya. Kemarin saya janji akan cerita soal kamu kalau saya sudah tidak sakit jiwa. Saya cerita. Dan sesuai perjanjian, kamu tidak perlu repot-repot baca.
Saya mulai takut salah sangka.

Senin, 02 Desember 2013

Ketika menjadi kuat untuk diri sendiri saja masih keteteran, apa adil jika saya harus menjadi kuat untuk orang lain? Entah.

Minggu, 01 Desember 2013

Rabu, 27 November 2013

hati, organ ekskresi.

lagi, saya menulis karena saking tidak tahu harus bagaimana.
bukan sekali dua kali. saking banyaknya hal yang harus dilakukan, saya malah memilih duduk manis di depan lepi sambil mengetik hal-hal yang tidak perlu sama sekali. saya adalah penulis yang paling egois sedunia, saya cuma mau nulis tanpa repot-repot baca. hina.
dan kamu, kamu yang sedang membaca tulisan ini, kamu tidak perlu repot-repot. saya yakin masih banyak hal yang lebih penting yang harus kamu lakukan. pergi.

seorang teman menginap di kosan malam ini, setelah tadi saya mohon-mohon demi tidak pulang sendirian. tapi tetap saja sepi. dia sibuk dengan tablet saya, dan saya pakai lepi untuk menulis di blog ini. saya mau bilang, saya jatuh cinta. sudah itu saja. karena saya masih belum tahu jelas apa yang sebenarnya saya rasa. mungkin cuma suka-suka biasa, biasa, seperti biasanya. selepas kejadian itu, saya masih ragu apa saya bisa betul-betul nitip hati lagi atau tidak. malah kadang saya heran apa saya masih punya hati. mungkin definisi hati yang saya punya itu sekedar hati organ ekskresi, berhenti sampai di situ. bukan hal-hal lain yang tidak bisa diartikan secara harfiah.

saya tidak mau bicara macam-macam karena tidak mau nanti ketulahan. tapi ya memang seperti itu adanya. sempat saya tergila-gila dengan lagu Dee yang Curhat Buat Sahabat. intinya si perempuan dalam lagu itu akhirnya memilih untuk diam, sekedar menunggu orang biasa yang datang, bukan mengejar apa yang belum tentu bisa ia sentuh meski seujung jarinya saja. saya selalu ingin jadi perempuan itu. yang sadar akan apa yang ia punya, dan bersyukur karenanya. tapi entah setan macam apa yang rajin bertengger di hati ini, di organ ekskresi ini. saya berkata bahwa saya cuma ingin diam dan duduk di tempat saja, menunggu orang lain datang. namun malah tak pernah sekalipun saya biarkan orang lain itu mendatangi saya. selalu ada alasan. selalu ada hal yang membuat saya merasa kami tidak cocok satu sama lain atau hal-hal busuk lainnya.

saya harap kamu tidak mengecap saya orang naif kalo saya bilang saya cuma ingin penjaga. saya tidak mau apa-apa lagi selain itu. setidaknya untuk saat ini. saya bukan peramal yang bisa tau siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama, kamu juga bukan. jadi tidak perlu kamu repot-repot ambil kesimpulan.

dosen pernah bilang, penulis tidak harus mengerti apa isi tulisannya. tugas pembaca untuk memahami isi tulisan. saya tidak perlu tau apa maksud dan tujuan saya menulis ini, itu tugas kamu. tugas pembaca. anggap saja kamu dokter, dan saya pasiennya.

organ ekskresi saya sakit.

Senin, 04 November 2013

Beda Mau, Beda Butuh

Kemarin saya ngobrol dengan Dina, waktu itu hampir tengah malam karena dia kebetulan sedang menginap di kostan. Saya tanya soal mana yang benar dan salah di mata dia sebagai seorang perempuan tentang satu hal. Sebenarnya saya ingin ungkapkan apa yg sebenarnya kami bicarakan, tapi demi hidup-mati beberapa pihak--terutama saya, saya akan rangkum pembicaraan kami itu dengan kalimat yang berbeda.
"Waktu itu kamu sedang tidak enak badan, tapi ingin sekali jalan-jalan. Orang pertama mengantar kamu jalan-jalan seharian tanpa bosan. Orang kedua marah-marah keesokan harinya bertanya kenapa kamu jalan-jalan dan tidak istirahat di rumah saja. Mana yang kamu pilih?"
"Orang pertama"
"Kenapa?"
"Karena dia ada"
Saya cuma mengangguk. Dina cuma menganggap pertanyaan itu angin lewat. Saya tidak mau berdebat. Saya cuma menarik kesimpulan, bahwa kami berdua punya jalan pikiran yang berbeda. Karena jujur, saya memilih orang kedua.
Saya berpikir belakangan, ketika ada orang yang memberi apa yang saya mau, apa dia memberi apa yang saya butuh? Kira-kira seperti itu intinya. Saya mau orang yang seperti itu, yang bukan memberikan apa yang saya mau, melainkan apa yang saya butuh.
Malam itu sebenarnya saya ingin menjawab,
"Orang pertama mungkin cocok dijadikan pacar. Tapi orang kedua cocok dijadikan suami."

Sabtu, 26 Oktober 2013

Rencana akhir tahun

Akhir tahun ini saya, Dina, Sarah, Dila, Vina dan Rizka punya rencana untuk jadi backpacker dadakan ke Jogja. Saya sudah punya list tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Semoga semuanya lancar. Semoga saya dibolehkan.
Amin.

Jumat, 25 Oktober 2013

Hidup ini...

Hidup ini penuh rintangan
Kau bilang
Tak perlu tinggi berangan
Jadi tak perlu jatuh terbuang

Hidup ini penyiksaan
Kau bisikan
Biar tak usah tertekan
Mati kau jadikan pilihan

Hidup ini tak ada
Ku rasa
Hanya ilusi semata
Hingga tak perlu kau bicara

Minggu, 20 Oktober 2013

Saya baru terpikir, semua orang merasakan hal yang sama, dan penulis hanya mereka yang diberi kemampuan lebih untuk mengekspresikan rasa itu dalam kata-kata. Memang seperti itu kira-kira.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Mulai dari malam ini

Kalau saya tetap diam dan menunggu, maka saya hanya lampu kecil warna-warni yang biasa digantung di langit-langit. Hanya penghias, bukan penerang. Dan kalau pun saya mati, tidak akan memengaruhi. Hanya 1 ikan dari seisi lautan. Tidak berarti. Kalau saya tetap seperti ini, saya tidak akan tau apa yang sebenarnya saya mampu. Cuma diam dan menunggu suruhan.

Saya mau angkat bicara mulai dari sekarang. Mulai dari malam ini. Saya ingin berarti. Saya ingin orang-orang menyimak apa yang saya ucapkan. Mendengar apa yang saya serukan. Saya lelah bersikap seperti gadis bodoh yang tidak mengerti apa-apa. Sudah saatnya saya menunjukan siapa saya.

Ya. Siapa saya.
Saya sudah berada di tempat yang seharusnya.

Jumat, 18 Oktober 2013

Cahaya Bulan (Ost. GIE) - Eross ft. Okta

perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
cahaya kota kelam mesra menyambut sang petang
di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih
kenapa matahari terbit menghangatkan bumi 

aku orang malam yg membicarakan terang   
aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh pedang

perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
cahaya nyali besar mencuat runtuhkan bahaya
di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih
kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi  
 
aku orang malam yg membicarakan terang   
aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh pedang

reff:
cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan
yg takkan pernah aku tau dimana jawaban itu
bagai letusan berapi bangunkan dari mimpi
sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati

terangi dengan cinta di gelapku
kuketakutan melumpukanku
kuterangi dengan cinta di sesatku
dimana jawaban itu

Selasa, 15 Oktober 2013

Saya sering dapat inspirasi untuk ide cerpen saat melamun, tapi seketika hilang setelah saya buka tablet untuk mulai menulis.

Ingin jadi pendaki

Kapan-kapan saya ingin naik gunung. Saya tidak tau sejak kapan tepatnya saya mulai tertarik pada hal maskulin satu ini. Mungkin sejak sekolah dasar, mungkin lebih muda lagi. Dulu pernah ayah cerita soal kami liburan di Bromo, saya masih terlalu kecil saat itu, masuk sekolah Tk saja belum. Tidak ada yang saya ingat selain anak tangga yang begitu banyak, itu saja sudah kabur-kabur dari ingatan. Kalau lihat foto-foto yang ada di album, waktu itu saya pakai kaos kuning dan dilapis baju kodok, kupluk rajutan belang-belang, dan bawa boneka kucing kecil yang dinamai Mika. Saya juga naik kuda, tapi saya tidak ingat sama sekali. Ayah bilang dulu saya yang paling semangat naik sampai ke puncak, tentu saya juga tidak ingat soal itu.
Belakangan ayah suka iseng-iseng bercanda, mengajak liburan ke Bromo lagi. Saya merasa diberi harapan kosong (begitu kata anak-anak sekarang). Saya ingin sekali naik gunung. Iri setengah mati ketika teman bercerita kalau ia dan 'sahabat'nya punya rencana untuk naik gunung Semeru. Lalu lebih iri lagi ketika teman di London bercerita soal liburannya, ia dan teman-temannya juga naik gunung di sana. Ia janji mengirimi saya foto-foto. Kapan giliran saya?
Begitu tau ada ukm pendaki di fakultas, saya langsung kegirangan bukan main. Akhirnya saya punya kesempatan untuk naik gunung. Betapa senangnya. Sampai sekarang saya masih menunggu kapan ukm itu membuka recruitment.
Kadang saya berpikir, bisa-bisanya orang seperti saya tertarik dengan hal seperti ini. Mungkin turunan dari ayah, memang ayah lumayan suka hal-hal berbau alam. Namun pernah sekali waktu ayah bilang, "Gunung kalau dilihat dari jauh bagus sekali. Tapi menakutkan ketika didatangi.". Saya cuma tertawa-tawa. Ketika itu kami sedang di pantai, beliau menunjuk ke arah tebing-tebing tinggi yang lebat ditumbuhi pohon.
Di gunung, kita bisa melihat sosok asli diri seseorang. Memang begitu kira-kira. Kalau sudah ada di gunung dengan segala keterbatasan, apa masih sanggup orang-orang memainkan peran? Mereka bakal menampakan sosok aslinya. Percaya atau tidak. Jadi kalau kamu betul-betul ingin kenal seseorang, bawa saja ia ke gunung.
Saya ingin dibawa ke gunung.

Bangkitkan Lagi Semangat Juang Generasi Muda

Ada sebuah pemikiran dimana untuk mengenali seseorang, kita tidak perlu mengenal seseorang itu secara pribadi, melainkan cukup dengan karyanya saja. Karena sosok seseorang menjelma seutuhnya ke dalam karya yang ia ciptakan. Seperti kita yang menilai burung dari merdu kicauannya, menilai orang dari apa yang ia ucapkan, juga menilai penulis dari apa yang mereka tuliskan.
Saya mengenal satu sosok pemimpin muda, meski belum pernah bertatap muka, meski kami hidup di masa yang berbeda hampir 5 dekade lamanya. Saya tahu namanya Soe Hok Gie, saya tahu ia lahir tanggal 17 Desember 1942 dan meninggal ketika berumur 27 tahun kurang sehari, saya tahu ia adalah mahasiswa UI Fakultas Sastra, dan menjadi sosok yang begitu berpengaruh pada masanya.
Peranan Soe Hok Gie dalam penegakkan Orde Baru yang dipimpin Jendral Soeharto memang tidak kecil, sebagai seorang jurnalis juga aktivis. Ia berharap Orde Baru dapat menegakkan keadilan sosial, dan ia tidak segan melontarkan kritikan pedas yang mengundang banyak pro dan kontra di berbagai kalangan. Meskipun itu berarti harus terkucilkan atau bahkan dilempari surat kaleng berisi ancaman.
Kritik-kritik dan kecaman yang dilontarkan oleh Soe Hok Gie dilancarkan atas pemikiran yang jujur dan realistis. Ia memang tidak selalu benar, namun ia selalu jujur. Setiap kritik dan kecamannya pun tidak pernah dilontarkan tanpa perasaan prihatin. Sayang sekali sosok pemimpin muda ini juga mati di usia muda. Saya yakin bila nasibnya sedikit lebih baik, ia akan menjadi tokoh yang lebih besar, lebih berperan, dan lebih terkenal. Saya yakin akan menemukan namanya di buku-buku pelajaran sejarah yang saya punya saat ini, jika saja ia hidup lebih lama dan melanjutkan perjuangannya.
“Kita, generasi muda ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, seperti (…). Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.” (Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie, Penerbit LP3ES, 1983).
Kutipan di atas adalah salah satu tulisan Soe Hok Gie pada buku hariannya, yang akhirnya (setelah ia meninggal) diterbitkan setelah disunting, karena dianggap terlalu beresiko apabila tetap mencantumkan nama seperti pada buku harian asli miliknya.
Soe Hok Gie adalah salah satu figur pemimpin muda berkarakter yang sudah sulit ditemukan di masa sekarang. Sedang waktu yang terus berjalan selalu membawa kita selangkah demi selangkah ke masa depan. Dan masa depan perlu diisi dengan penerus-penerus baru, pejuang-pejuang muda yang dapat diandalkan untuk mengurusi kemana bangsa dan negara ini mau dibawa.
Kaum muda memang identik dengan perubahan yang dibawanya. Perubahan-perubahan yang diharapkan dapat  membawa bangsa ke arah yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Pandangan ini muncul karena cita-cita golongan tua yang berharap bangsanya akan menjadi lebih baik di kemudian hari, dan ambisi golongan muda untuk memperbaiki kecacatan juga kerusakan-kerusakan yang ditinggalkan oleh orang-orang sebelumnya.
Sosok seorang Soe Hok Gie sebagai pemuda pada masanya, sangat jauh berbeda dengan kita. Ia lahir ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik, sedang generasi kita lahir di masa yang tinggal terima jadi dan tidak perlu tahu apa-apa.
 Barangkali ini adalah salah satu faktor mengapa generasi muda pada jaman itu lebih peka terhadap keadaan yang tengah terjadi di tengah-tengah mereka. Mereka yang merasakan pahit akan mati-matian mencari tahu bagaimana rasanya mengecap manis. Dan mereka yang sudah terbiasa merasakan manis, tidak sudi untuk sekali saja mengecap pahit.
Lepas dari masalah pahit-manisnya pengalaman yang dirasa, masa depan bangsa masih menggantung di hadapan kita. Harus ada penerus, atau Indonesia hanya tinggal nama. Mau tidak mau pemimpin-pemimpin muda berkarakter harus lahir kembali untuk meneruskan perjuangan kaum tua, memperbaiki kesalahan-kesalahan, dan membawa Indonesia pada keadilan sosial yang sesungguhnya, seperti cita-cita Soe Hok Gie pada masa Orde Baru dulu.
Lalu, bagaimana caranya melahirkan pemimpin-pemimpin muda dengan semangat juang tinggi seperti dulu lagi?
Kaum muda Indonesia saat ini dapat dibilang sudah tertidur terlalu lama. Terbuai dengan segala kenyamanan dan fasilitas yang mereka punya, sehingga semakin merasa bahwa bangsa yang di tempatinya ini baik-baik saja. Dan tidak memikirkan bahwa bagaimanapun harus ada penerus yang melanjutkan perjuangan bangsanya.
Tentu bukan kaum muda sembarangan yang dapat dijadikan calon-calon penerus dan pemimpin bangsa. Calon-calon pemimpin harus memiliki dasar moral yang kuat. Seperti halnya agama, moral juga menjadi pondasi setiap pemimpin, juga setiap manusia. Mereka yang memimpin tanpa moral yang tinggi tidak akan pernah bertahan lama, karena membangun rumah dengan pondasi yang salah sama saja loncat indah ke dalam jurang.
Mari kita ingat lagi konsep menulis Soe Hok Gie, ia memang tidak selalu benar karena memang tidak ada manusia sempurna, namun ia berkata jujur dan apa adanya. Kejujuran adalah salah satu hal terpenting untuk membentuk jiwa seorang pemimpin. Kekuasaan tanpa kejujuran hanya akan melahirkan tikus-tikus pemakan uang yang bersembunyi di balik meja-meja pemerintah. Koruptor-koruptor busuk yang berdansa sementara rakyat menderita. Dan pejabat-pejabat hina yang berfoya-foya sementara rakyat meminta-minta.
Kejujuran itu sendiri bukanlah sepaket karakter yang bisa dengan instan diperoleh dalam jiwa seseorang. Seperti kata orang, ‘bisa karena biasa’. Kejujuran dan ketidak jujuran berawal dari kebiasan. Dalam beberapa kasus, kebiasaan ini dimulai dari usia yang sangat muda dan hal-hal yang dianggap sangat sederhana.
 Contohnya, seorang anak yang sejak kecil  terbiasa mencontek dalam ulangan, kemungkinan besar akan berakhir menjadi koruptor ketika sudah dewasa dan menjadi pejabat. Karena sejak kecil sudah terbiasa menghalalkan segala cara untuk memenuhi apa yang ingin dicapainya. Mencontek untuk mendapatkan nilai ulangan tinggi tanpa belajar, lama kelamaan bertransformasi jadi menggelapkan uang untuk mendapatkan penghasilan besar tanpa susah payah bekerja lebih.
Sedangkan, jika seorang anak terbiasa bersikap jujur semenjak kecil. Ia akan terbiasa mencapai apa yang ia inginkan tanpa berbuat curang, atau menyalahi aturan. Sampai dewasa, anak ini akan tetap berbuat jujur, karena meyakini bahwa apa yang dilakukannya semenjak kecil adalah benar. Dari anak-anak seperti ini pemimpin-pemimpin muda akan tercipta. Dengan berkembangnya kemampuan berpikir seiring bertambah usia, ia akan mulai tersadar kalau kejujuran adalah hal yang sarat ditemukan, dan ingin meluruskan kembali apapun itu yang sudah menyimpang.
Namun bila bicara kenyataan, memang generasi muda yang seperti itu sudah sulit ditemukan. Banyak generasi muda yang memiliki potensi, namun tidak peduli apa yang terjadi di sekitarnya. Generasi muda jaman ini hampir bisa dibilang kehilangan semangat juang.
Padahal, jika membandingkan masalah perkembangan IPTEK dan semangat juang pada jaman dulu dengan jaman sekarang. Tentu saja kita akan temukan kenyataan ‘lucu’ yang kadang memilukan. Kaum muda jaman dulu memiliki semangat juang tinggi untuk memajukan bangsa, meski perkembangan IPTEK pada jaman itu tentu saja masih jauh di bawah apa yang sudah kita rasakan saat ini. Sedangkan pada masa ini, ketika IPTEK tengah pesat berkembang, dan segala fasilitas sudah dalam genggaman kita, kita malah hampir tidak punya lagi semangat juangnya. Kita tidur. Hampir seperti mati karena dibuai teknologi.
Bayangkan saja, apa yang bisa terjadi bila kedua sisi positifnya digabungkan. Semangat juang tinggi yang sudah difasilitasi segala teknologi. Saya yakin dalam kurun waktu yang singkat, bangsa Indonesia bisa lebih maju dalam berbagai bidang. Entah itu politik, perekonomian, atau sosial.
Jadi, bangunlah dulu dari mimpi hidup bahagia selamanya. Dan mulai melakukan sesuatu yang bisa mewujudkan mimpi itu serta cita-cita bangsa Indonesia. Sudah tiba saatnya kita generasi muda untuk bangkit kembali. Dan mewujudkan segala cita-cita pendiri bangsa untuk kemajuan Indonesia. Meneruskan apapun yang sudah dibangun. Meluruskan apapun yang sudah menyimpang. Dan memperbaiki apapun yang pernah rusak.

Kita diajarkan untuk mengingat pemikiran, bukan orang. Karena orang memang tidak abadi dan kapanpun ia bisa mati. Tapi pemikiran tetap bisa hidup selama ada orang lain yang meyakininya, selama ada orang lain yang melanjutkan perjuangannya. Dan memang sosok pemimpin muda bernama Soe Hok Gie sudah lenyap dari muka bumi, namun sekarang, 44 tahun sejak kematiannya, pemikiran tentang terciptanya keadilan yang sebenarnya di Indonesia masih ada dan diyakini. Dan itu akan menciptakan Soe Hok Gie-Soe Hok Gie baru. Melahirkan pemimpin-pemimpin baru.

Samarinda, Februari 2013
5 besar essai terbaik Dies Natalis IBMT Internasional University Surabaya

Budaya Pembentuk Watak Bangsa

“Buku membentuk watak bangsa.” Kata salah satu Bapak Proklamator kita, Bung Hatta. ”Buku adalah jendela dunia”, begitu pula bunyi kata bijak milik sejuta umat. Lalu, bisakah anda bayangkan bagaimana hidup kita tanpa buku? Akankah kita perlahan berubah menjadi individu-individu tanpa identitas yang sepatutnya dipertahankan? Yang pada akhirnya akan menciptakan fenomena bangsa tidak berwatak, ideologi yang terhapus, dan sejarah yang terlupakan.
            Na’asnya, masalah yang kita hadapi dewasa ini di Indonesia sudah sangat menjurus ke arah fenomena itu. Berita terakhir menyatakan bahwa angka minat baca penduduk Indonesia masih sekitar 0.01 persen. Terlampau jauh bedanya dengan negara-negara Asia lain, seperti Jepang (45 persen) dan Singapura (55 persen). Apakah itu menjelaskan mengapa Jepang dan Singapura menjadi salah satu negara maju di kawasan Asia? “Buku membentuk watak bangsa”, seperti kata Bung Hatta.
            Bila bicara soal membentuk watak bangsa, tentu saja yang kita bicarakan adalah soal generasi muda. Karena generasi muda lah penerus bangsa yang akan menggambil posisi setelah generasi tua dilengserkan. Generasi muda lah yang seharusnya banyak-banyak membaca,  menghidupkan lagi budaya baca yang dulu sempat kuat dimiliki bangsa Indonesia.
            Badan-badan perpustakaan ataupun Dinas Pekerjaan Umum, telah berupaya meningkatkan angka minat baca tersebut dengan cara mengangkat duta-duta baca baru setiap tahunnya. Dari kalangan pelajar dan atau mahasiswa yang dianggap sanggup juga pantas menjalani tugasnya. Namun kenyataan yang ada, pengangkatan duta-duta tersebut belum dirasa efektif dan masih jauh dari kata berhasil, bercermin pada persentase minat baca di Indonesia yang masih saja bertengger di angka 0 koma.
            “Buku membentuk watak bangsa”, berkali-kali saya tekankan pendapat Bapak Proklamator kita ini. Karena tidak dapat kita pungkiri, kalimat itulah jelmaan paling sempura dari sebuah hubungan antara manusia, apa yang ia baca, dan bagaimana nasib bangsanya. Buku menjadi salah satu faktor terkuat yang ikut berperan dalam watak dan kepribadian bangsa. Lalu, bagaimanakah tentang kualitas isi buku yang menjadi bahan bacaan generasi muda dewasa ini?
               Bila kita menilik sekitar 3-4 dekade kebelakang, kita akan temui perbedaan drastis yang mencuat dari kualitas bahan bacaan yang beredar di masyarakat. Mengapa? Meskipun dengan sarana pendidikan yang masih cukup terbatas, generasi muda jaman itu memiliki semangat yang jauh lebih tinggi dalam bidang bacaan. Ini tercermin dari jenis buku yang mereka baca pada umumnya. Dibawah Bendera Revolusi, Pasang Naik Kulit Berwarna, dan The Edventure of Idea, adalah beberapa buku bacaan yang populer diantara pelajar.
            Sedang bila kita melihat kabar hari ini, seakan-akan yang kita temui hanyalah setumpuk novel-novel humor dan cinta ala penulis-penulis kemarin sore dari jejaring sosial. Salah seorang teman pernah berkata; “Jaman sekarang, cukup punya followers banyak di twitter sudah bisa jadi penulis dan punya buku sendiri.”.  Dengan kalimat itu yang terucap dari mulut orang lain, saya semakin yakin, saya bukan satu-satunya orang yang beranggapan bahwa penerbit-penerbit buku di Indonesia telah terlalu jauh keluar dari jalurnya. Dan faktanya lagi, buku-buku itu pun laku keras di masyarakat khususnya kalangan muda. Lalu bagaimanakah watak yang akan di bentuk dari buku-buku tersebut? Akhirnya hanya akan tercipta generasi-generasi “Galau” yang tidak punya pendirian teguh. Dan selangkah demi selangkah membawa kita pada fenomena ideologi yang jatuh.
            Budaya baca adalah budaya pembentuk watak bangsa. Dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki angka minat baca yang sangat rendah, apakah tidak semakin buruk bila penyumbang angka persentase tersebut didominasi oleh novel-novel roman picisan yang kurang berbobot? Sebagai calon mahasiswa sastra, tentu saya menganggap hal ini sebagai masalah yang besar dan harus cepat diatasi. Saya percaya akan kemungkinan bahwa buku-buku yang populer beredar di masyarakat, khususnya kawula muda, memiliki pengaruh pada persentase angka minat baca di Indonesia.
            Kita perlu konsepsi dewasa ini. Seharusnya, pihak penerbit melakukan koreksi besar-besaran terhadap kategori-kategori buku yang diterbitkannya. Memang buku-buku entertainment juga dibutuhkan, namun tidak berarti hal itu harus menutupi semua jenis buku yang beredar di pasaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa penerbit buku adalah satu badan komersil yang berusaha meraup untung semaksimal mungkin. Sehingga penerbit akan terus mengikuti perkembangan kemauan pasar. Padahal, apabila penerbit berani sedikit idealis dan tidak sembarangan mengikuti zaman, kemungkinan konsumenlah yang akan berbalik mengikuti apa yang penerbit sajikan.  
            Ketika pihak penerbit tidak lagi dapat diajak kompromi, Sudah saatnya kita, generasi muda, mengubah pola pikir dalam memilih bahan bacaan. Terlepas dari bacaan wajib yang diharuskan oleh sekolah dan universitas, kita harus dengan penuh kesadaran memilih buku bacaan yang dapat ‘mendidik’ kita, bukan hanya penghibur semata. Dan saat semua telah kembali pada jalurnya, angka minat baca di Indonesia akan perlahan meninggi dengan sendirinya. Belum lagi, persentase itu didominasi oleh buku-buku bacaan yang berbobot, bukan hanya setumpuk roman picisan belaka.
“Buku membentuk watak bangsa”, Apa yang lebih puitis, selain berbicara soal nasib bangsa yang kita rela mati untuknya? Kita hidup di masa dimana ‘kata’ lebih kuat dari pada apapun juga, lebih berpengaruh terhadap semua. Karena itulah, kita, generasi muda, harus mempertahankan watak bangsa kita lewat kata-kata. Kita harus hidupkan lagi budaya baca, karena apa yang kita baca, merefleksikan kata apa yang kita cipta. Dan itulah yang akan memakmurkan Indonesia.

Bandung, Agustus 2013
112 Essai terbaik pra-PKM Universitas Padjadjaran
2 besar Fakultas Ilmu Budaya
PRABU Unpad 2013

Senin, 14 Oktober 2013

Hilang dalam kelam

Rumput liar tinggi menjulang
Kerikil kecil diam-diam menusuk badan
Akulah si orang malang
Yang hanya bisa berangan-angan

Langit malam bahkan enggan
Kerlip bintang disapu kelam
Seakan aku yang hilang
Dan keberadaanku hanyalah mengganggu alam

Lembang, 5 Oktober 2013
PDS Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film UNPAD


puisi dadakan kelas sastra yang entah kenapa bisa menang.

Laut

Air tidak pernah takut
Seberapapun ia jauh dari laut
Terik matahari. Awan. Bebatuan. Juga hujan
Apapun itu selama ada jalan pulang

Lautan pun tak pernah ragu
Ia s'lalu setia dan menunggu
Dimana pun akhirnya itu
Ia percaya bahwa mereka satu

Kamu lah air itu
Dan aku lah lautanmu

Minggu, 13 Oktober 2013

Siapa diri saya

Saya gila menulis hari ini. Mungkin hanya wujud pelarian dari final paper yang seharusnya sudah saya buat draft-nya. Saya tidak punya inspirasi. Seorang Dosen pernah berkata, "Ada 3 alasan orang menulis, pertama, untuk mengungkapkan sesuatu, kedua, untuk mencari tahu sesuatu, dan yang terakhir, karna saking tidak tahu.". Saya pikir saya masuk kategori yang terakhir, sering kali saya menulis karena saking tidak mengerti apa yang harus ditulis. Aneh memang.

Mengenai menulis, saya terpikir soal orang-orang di sekitar saya. Orang-orang terdekat saya. Sulit untuk menyatakan suatu hal dari hati paling dalam, kalau pendengarnya adalah orang-orang yang hidup bersama kita, yang non stop kita lihat wajahnya 7 hari 24 jam. Keluarga. Orang tua. Saudara. Kadang jadi orang terakhir yang tahu siapa diri kita sebenarnya. Apa yang kita mau sesungguhnya. Untuk kasus saya, malah sering kejadian.

Rasanya jauh lebih nyaman bicara pada orang yang baru kita kenal. Tanpa takut dihakimi atas pandangan seseorang terhadap kita. Saya bebas bicara. Saya bisa tunjukan siapa diri saya. Alhasil, tidak ada satupun saudara saya yang tau saya suka menulis. Saya selalu diam-diam saat menulis, pergi ke ruangan lain untuk sekedar membuka laptop dan mengetik. Saya kurang suka menulis tangan. Tulisan saya tak karuan.

Orang tua pun baru sadar saya senang menulis saat saya bilang saya ingin masuk sastra. Ketika beberapa tulisan saya berhasil menjuarai lomba yang tidak bisa dibilang gampangan, ibu saya baru berkata "Berarti kamu punya bakat, kembangankan saja. Beli buku-buku yang bisa menginspirasi kamu.". Saya cuma ingin tertawa. Ketika seorang ibu menjadi salah seorang yang terlambat mengetahui apa minatmu, bukan kah agak ironis.

Memang hidup seperti ini tidak enak.

Catatan Seorang Demonstran, buku idaman.

Saya benar-benar naif hari ini. Dengan setumpuk tugas yang harusnya jadi oleh-oleh hari libur, saya malah berkutat disini dengan alih-alih ingin menghidupkan lagi blog saya yang nampaknya tidak bisa lagi diselamatkan. Padahal saya ragu blog ini masih dihiraukan oleh orang-orang. Ya, memang seperti itu. Saya tidak peduli.

Beberapa hari lalu saya senang tak karuan, buku yang saya cari sejak beberapa tahun silam akhirnya ada di genggaman. Pencarian saya ke semua toko buku besar itu berakhir pada satu toko buku petakan pinggir jalan. Tempat yang biasa jadi tempat mahasiswa beli photo copy-an buku pelajaran itu sekarang benar-benar saya agungkan. Dan demi Tuhan, buku itu bukan hasil photo copy-an. Buku yang pertama kali diterbitkan beberapa puluh tahun lalu itu cetakan asli, bahkan cover-nya pun sama persis. Saya ingat, itu cetakan kedua belas.

Catatan Seorang Demonstran. Iya. Buku itu yang saya maksud. Salah satu bukti nyata keabadian pesona Gie, sekarang ada dalam genggaman saya. Saya merasa terlengkapi. Sempat ada diskusi singkat antara saya, si bapak petugas toko, dan mbak-mbak yang sedang beli puluhan buku photo copy-an untuk kelasnya. Kami bertiga sama-sama tertarik soal Gie, meskipun saya yakin saya yang paling tahu soal Gie di antara kami. Saya betul-betul tidak terima saat si bapak pemilik toko bilang kalau mayat Gie tidak pernah ditemukan, langsung saya tolak argumen itu mentah-mentah. Memang mayat Gie tidak langsung dievakuasi, saya lupa butuh waktu berapa lama tepatnya evakuasi itu, tapi saya tahu akhirnya mayat Gie dievakuasi dan dimakamkan dengan layak.

Rasanya miris sekali bila saya mengingat kisah hidupnya, tapi lebih miris lagi kisah matinya. Saya ingat kata-kata yang ditulis dalam buku itu, tubuh Gie dibawa dengan dibalut plastik dan digantungkan di bambu. Sungguh prihatin keadan Mahameru saat itu. Saya berpikir, dibanding sepi yang ia rasakan di setiap detik hidupnya, pasti jauh lebih sepi terbungkus dalam plastik itu.

Sudah setengah jalan, saya mau cari Orang-orang di persimpangan kiri jalan setelah yang ini selesai.

Rabu, 31 Juli 2013

Hadiah dari Tempat Sampah


Saya takut dia cemburu. Begitu ucapnya dulu.
Hari itu. Hari dimana aku harus berlagak seperti pencuri, mengendap-ngendap, sembunyi-sembunyi, cuma demi memberi hadiah ulang tahun pada sahabatku sendiri. Dia. Yang kepalanya hampir selalu terhantup ketika melewati pintu kostanku.
Hari ini. Aku dapati tubuhnya di meja makan. Bundar, dengan kain taplak abu-abu bermotif kotak. Yang di desain khusus untuk diisi cuma 2 orang. Dengan sebotol minuman yang entah apa, mungkin anggur atau sejenisnya. Ia tuangkan minuman itu ke gelasnya, lanjut mengisi gelasku. Warnanya sedikit kekuningan, cairan yang mengisi kedua gelas tinggi di depan kami. Seketika aku meragu. Bukan karena khawatir minuman itu boleh ku minum atau tidak, melainkan, bukankah itu terlihat terlalu mahal?
“Cuma apple juice, kok.” Ucapnya sebagai antisipasi. Tidak mau aku keburu menimpalinya dengan pertanyaan itu ini.
Aku tersenyum kecut. Malu karena gerak-gerik yang ku sembunyikan akhirnya terbaca juga. Aku benar-benar tidak terbiasa dengan ini. Meskipun merayakan ulangtahun seorang teman sudah menjadi tradisi buatku, tapi aku tidak tau apa-apa soal yang satu ini. Bukan seperti ini tradisi yang biasa aku jalani. Bukan duduk berhadapan di meja makan restoran super mahal.
Pagi buta ponselku berbunyi. Namanya, nama orang yang ada dihadapanku saat ini, muncul disana. Pupil mataku bahkan belum siap menerima cahaya, sedangkan suara yang muncul dari ujung telepon sana sudah meledak-ledak, saking bersemangatnya. Baru-baru ini aku menyadari, sebenarnya ia bermaksud memarahi.
“Sudah lupa, ya, kalo punya sahabat?”
“Sahabat? Apa? Apanya? Ini jam berapa?” jawabku kembali bertanya, setengah melantur karena belum selesai mengumpulkan nyawa.
“Semalaman saya tungguin telepon kamu. Lupa kalau hari ini sahabat ganteng mu ini ulang tahun?”
Baru saat itu aku benar-benar terbangun dari tidur. Baru aku ingat hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-25. Dan semalam sudah kulewatkan moment selamat-ulang-tahun-semoga-panjang-umur di jam 00.00 tepat, yang tidak pernah absen kulakukan selama 3 tahun kebelakang.
“Saya gak mau tau. Nanti jam 8, kamu harus temani saya makan malam. Hitung-hitung pengganti ucapan selamat ulang tahun yang kamu lewatkan semalam.”
“Re, makan malam? Ini tanggal tua, saya belum gajian.”
“Saya yang traktir. Sudahlah, kamu tinggal bawa badan.”
“Re…”
“Apa?”
“Kenapa harus ngasih tau pagi buta begini? Toh baru ntar malam juga acaranya.” Aku menggerutu, tak rela tidurku diganggu.
Ia tidak menjawab.
“Re…”
“Apa??” suaranya kian meninggi.
“Selamat Ulang Tahun.”
            Sempat aku dengar suara tawa yang disembunyikan, sebelum akhirnya nada ‘tut’ panjang menutup pembicaraan.
            Aku tidak tau harus menjawab apa, bila ditanya siapa yang sudah berubah diantara aku dan Re selama hampir setengah tahun terakhir. Kalau kata hati bisa di-rontgen, mungkin akan terlihat sekumpuan kata-kata tidak beraturan yang intinya jelas terbaca. Aku lelah dijadikan tempat sampah.
            Namanya Rendra. Dan untuk beberapa alasan, aku berhenti di 2 huruf depannya saja. Re. Lebih enak di dengar. Lebih gampang ku ucapkan. Dan kalau boleh jujur, saat pertama kali aku berkenalan dengannya sekitar 4 tahun lalu, aku sempat ingin terbahak saking tidak percaya. Ia punya mata segaris dan kulit putih pucat. Badannya hampir bisa dibilang kerempeng dan tingginya hampir 2 meter. Saat itu syal merah marun dililit di lehernya, mungkin karena sedang sakit. Atau malah memang penyakitan.
            Terhitung 2 minggu lamanya aku penasaran bagaimana sosok Rendra, yang rutin 3 kali dalam sepekan diceritakan oleh sahabatku setiap pulang kerja. Sahabatku seorang perempuan mapan yang jarang menaksir orang. Dan sebagai sahabatnya, aku merasa berhak tau siapa laki-laki yang sudah berhasil merebut hatinya kali ini. Setelah 2 minggu menunggu janji temu kami bertiga, aku benar-benar kecewa.
Aku kira Rendra punya perawakan special. Misal, berbadan kekar, berambut tebal, punya kulit gelap eksotis yang menarik perhatian, dan yang paling penting, wujud Rendra di benakku bukan seorang keturunan Dayak-Tionghoa yang punya hobi memakai syal kemana-kemana.
Kami bercengkrama dengan segelas kopi di hadapan masing-masing sore itu. Aku menarik kata-kataku kembali, setelah hampir 2 jam kami bertiga saling bertukar cerita, aku temukan sosok lain dibalik perawakan kurus tinggi Rendra, sosok yang membuat sahabatku jatuh cinta. Dan semoga saja, aku tidak ikutan jatuh cinta juga.
Vega, itu dia. Sahabat yang menemani hidupku 7 tahun kebelakang itu jatuh hati pada Rendra setengah mati. Aku tidak tau mengapa perempuan seperti dia malah memilih tinggal di kost-kostan. Kami sempat menjadi teman sekamar. Belakangan, aku yakin itu memang sudah ditakdirkan. Tuhan mempertemukan ku dengan Rendra lewat sosok bernama Vega.
Vega sadar sejak awal. Bahwa aku dan Rendra punya hal yang lebih besar dari pertemanan. Kami berdua—aku dan Vega—sama-sama menganggap hal itu sebagai persahabatan. Bukan pertemanan, bukan juga percintaan. Setidaknya itulah yang kami berdua harapkan. Rendra tidak cukup berharga untuk dipertaruhkan dengan apa yang kami punya, begitu yang berusaha diyakini aku dan Vega.
 “Gimana? Lebih baik kan dari pada apple juice yang sering kamu beli di swalayan?” tanyanya dengan mata berbinar, menunggu jawaban.
Aku cuma tersenyum hangat, masih tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat ini.
“Untuk apa, Re?” tanyaku menimpalinya.
“Apple juice? Saya kira itu yang terbaik pengganti wine, atau mungkin—“
“Bukan, Re.” aku menyela. Menelan ludah lalu melanjutkan perkataanku. “Bukan cuma apple juice ini, Re. Semuanya. Telepon pagi buta, makan malam, restoran mahal, saya juga yakin itu apple juice bukan apple juice sembarangan.”
Ia cuma melongo, tidak mengerti apa yang baru saja aku katakan. Jangankan dia, aku saja ragu dengan apa yang baru saja keluar dari mulutku.
Aku melanjutkan. “Saya tau ini bukan makan malam biasa. Ada apa, Re?”
Ia diam sejenak, matanya kekiri dan kekanan. Entah mencoba mengingat, atau berusaha mengarang alasan. “Ini kan ulang tahun saya, kamu masih lupa?”
Aku tidak tau harus berkata apa. Aku tau betul apa yang terjadi saat ini. Tapi aku butuh penjelasan logis atas semua. Atas telepon pagi buta, makan malam, restoran mahal dan segalanya. Aku tau, dia tau, aku kecewa atas penjelasan itu.
“Ini kado mu, Re. Sekali lagi, selamat ulang tahun.” Aku tersenyum. Dengan terpaksa.
“Re…” lanjutku memanggil namanya. Masih terganggu oleh pertanyaan itu sedaari tadi.
“Kemana Vega? Saya sudah jarang ketemu dia sejak dia beli rumah di daerah Kemang. Sedang saya masih mendekam di kost-kostan.” Sedikit tawaku tumpah di ujung kalimat. “kalian sudah 3 tahun ya, gak kerasa deh sebegitu lamanya…”
Wajah Rendra lantas berubah. Matanya sempat terpejam dan sepertinya dia baru tersedak ludahnya sendiri.
“Saya putus, Din.”
Ada hening sejenak. Mulutku terbuka sekitar 1 cm lebarnya.
“Oh. Begitu.” Jawabku seadanya. Mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini. Mulai mengerti kenapa harus ada makan malam mewah dengan embel-embel gelas tinggi.
“Malam ini, saya mau rayain hal itu. Saya…” ia berfikir sejak. Mencari kata-kata yang tepat. “tobat.”
Aku terbahak mendengar kalimat itu. Tobat? Aku tidak yakin ia betul-betul mengerti apa arti tobat dalam kamus manusia. Tidak lama ia malah ikut tertawa. Jadilah kami berdua sepasang orang gila yang mengacau makan malam mahal, milik orang-orang normal.
“Hm… jadi siapa calon yang baru?” tanyaku padanya. Langsung menusuk dada.
“Gak ada.” bibirnya tersenyum mantap. Jawaban itu membuatku sedikit bergidik. Membuat rapuh seakan menelanjangi.
“Ohya? Saya males aja kalo harus sembunyi-sembunyi seperti dulu. Apa-apa harus diam-diam. Takut ketahuan. Kayak mau maling, tau gak?” sesaat aku baru sadar apa yang baru ku katakan. Aku meminta maaf dalam hati. Tidak ku sangka ini akan jadi curhat colongan.
“Untuk saat ini, saya mau fokus ke ‘kita’…” ucapnya pelan.
Aku semakin bergidik. Tubuhku serasa kejang seketika. Seperti tersetrum stop kontak listrik, singkat dan memacu jantung jadi lebih cepat. Mengagetkan. Perasaan tidak diundang. Mendengar hubungan cinta kedua sahabatku baru saja berakhir, jujur aku tidak tau harus bersimpati atau bahagia. Aku cuma berharap semoga pencahayaan restoran mahal ini tidak mengecewakan. Semoga saja ekspresi wajahku tersembunyikan.
Tau-tau senyumnya melebar. Menahan gelak tawa yang sudah menunggu di ujung lidah. Di belakang gigi. Ditutupi selapis daging bernama bibir. Aku tau ia cukup beradab untuk kasihan pada orang-orang di sekitar kami. Sudah cukup mereka rugi dengan membayar mahal demi makan malam. Jangan sampai 2 orang gila ini tertawa sesuka hati, dan merusak makan malam mereka yang mungkin amat berarti.
“Sebenernya, saya juga senang kok. Gak perlu sembunyi-sembunyi lagi setiap ngobrol sama kamu. Setiap saya butuh seorang temen, sahabat, kakak perempuan, atau bahkan psikiater. Kamu hadir dalam satu paket lengkap. Siapa lagi yang mau dengarin saya ngoceh kesana kemari kalo bukan kamu?”
Lagi-lagi, aku tidak tau harus bagaimana menanggapi. Aku mencerna kalimat panjang itu sekuat tenaga. Tapi yang kudapat tidak sesuai dengan apa yang ku harap.
“Din… Saya gak tau harus bilangnya bagaimana. Saya bingung. Tapi apa kamu percaya soal belahan jiwa? Saya ngerasa nemuin belahan jiwa saya di diri kamu. Perlu 4 tahun buat nyadarin itu.”
Aku belum menjawabnya sama sekali. Aku belum merasa itu perlu dikonfirmasi. Saat ini, aku sudah tau harus menjawab apa. Jika ditanya tentang siapa yang berubah diantara kami berdua. Aku dan Rendra. Selama sekitar setengah tahun terakhir ini. Aku akan jawab bahwa kami sama-sama sudah berbeda. Aku mencintai sosok Dayak-Tionghoa yang ku kenal pertama kali di coffee shop dekat kantor sekitar 4 tahun lalu. Sosok itu mencintai sahabatku, bukan mengajakku makan malam berdua dan berkata bahwa aku belahan jiwanya.
Sosok itu selalu bercerita tentang semua hal yang ia hadapi. Semua hal tentang pekerjaan sampai merk kaos kaki apa yang harus dibeli. Termasuk segala masalah cintanya dengan Vega. Dan aku dengan senang hati menjadi tempat sampahnya. Menampunya segala sesuatu yang ia tumpahkan tak peduli itu apa. Aku salah. Aku tidak pernah lelah menjadi apa yang ku sebut sebagai tempat sampah. Itu takdirku. Harus seperti itu.
Bukan kah mustahil tempat sampah menerima tampungan tempat sampah juga?  Ketika nanti ia mulai bercerita tentang aku. Pada diriku. 
Rendra masih menunggu jawaban. Dan tanganku malah meraih ponsel dengan spontan. Ku ketik sesuatu disana, lalu ku tekan tombol hijau. Tidak terlalu jelas, karna aku sendiri tidak terlalu mengerti apa yang mau ku sampaikan ini.
“Din…?” Suaranya kembali terdengar. Membuat aku gelagapan.
Aku merasa di sinilah saatnya. Ketika aku harus mulai menanggapi semua pernyataannya sedari tadi. Mengkorfimasi apapun itu yang ia ucapkan sejak awal ditungankannya minuman. Aku yakin harus seperti ini.
“Re… Saya pulang duluan ya. Maaf gak bisa temani kamu sampai selesai”
Ribuan kali kuucap maaf dalam hati. Entah untuk Rendra atau untuk diriku sendiri. Kuangat tubuhku yang berbalut gaun biru. Tersenyum sekali lagi dan mulai mencoba meneruskan kalimat yang belum sempat ku selesaikan. Dan menarik nafas dalam-dalam pun kurasa tak ada gunanya lagi.
“Kamu gak perlu khawatir kesepian. Saya sudah sms Vega untuk datang kesini. Saya bilang kamu mau ngomong sesuatu. Saya yakin kamu perlu itu...”
Kali ini Rendra yang membuka bibirnya selebar 1 cm. Aku bisa melihat kata-kata menggantung di ujung lidahnya. Tapi aku kenal tatapan itu. Tatapan bimbang, tatapan menunggu. Tatapan yang kini ku identifikasikan sebagai tanda rasa setuju.
“Re…” lanjutku lagi. “3 tahun cukup berharga buat di perjuangkan.” Sekali lagi kuucap maaf dalam hati.
Sedikit aku tundukan kepala. Tanda pamit, minta diri, atau apalah itu namanya. Ku intip tubuhnya yang diam dari ekor mata, berharap tubuh itu tetap diam. Sampai perempuan yang ku kirimi pesan akhirnya datang.
Sekali lagi maaf terucap dalam hati. Kali ini aku janji untuk yang terakhir kali. Berharap besok sudah akan aku temui lagi sosok Rendra yang aku cinta. Sosok Rendra yang mencintai Vega.
Cukup seperti itu. Sambil berulang kali ku camkan ini dalam hati; 
Aku bukan cenayang yang bisa melihat masa lalu dan masa depan seseorang. Namun aku cukup bisa melihat apa yang pantas kamu dapatkan. Aku bukan sesuatu yang kamu sebut sebagai belahan jiwa. Aku cuma sekotak kardus basah yang kamu simpan di sudut ruangan, yang bisa mengawasimu kapanpun aku mau, yang dengan setia menjadi tempat sampahmu.
Aku yakin akan tiba suatu waktu. Meski bukan hari ini, besok, ataupun besok lusa. Saat aku lelah dan berhenti mengirimimu hadiah-hadiah. Berhenti jadi tempat sampah yang menampung segala keluh kesah, soal kerja, saudara, orang tua, apalagi cinta.
Tapi sebelum suatu waktu itu tiba. Aku yakin kamu akan kembali melakukannya. Entah hari ini, besok, ataupun besok lusa. Aku yakin itu akan terjadi dalam waktu dekat. Ketika kamu harus menunduk sedikit dan halus berbisik. Memelankan suaramu.
Saya takut dia cemburu. Sama seperti dulu.


tulisan entah kapan, udah lama disimpen di laptop.

             

Selasa, 11 Juni 2013

"Gie itu seperti tentara. Semua orang memuja dia atas jasa dan karya2nya. Namun bila sudah menyangkut meminang anak gadis orang. Tidak akan di beri. Semua orang tua tidak mau anak gadisnya bersama dia. Seperti tentara, terancam mati kapan saja."

Catatan Seorang Demonstran

Rabu, 15 Mei 2013

selamat datang

saya merpati yang berharap keluar dari sangkar.
saya melati yang ingin tumbuh sebesar mawar.
saya adalah saya,
dan pedih yang saya rasa adalah obat termanis yang pernah ada.

kamu adalah cerita, dongeng yang diharap nyata.
kamu adalah arca, ada namun tak bisa berbicara.
kamu adalah saya,
dan kenangan yang kamu punya adalah gula terpahit yang saya rasa.

hidup dalam dongeng yang tak biasa.
mati oleh makhluk yang tak nyata.
selamat datang,
di tempat tanpa "hidup bahagia selamanya".

saya putri yang terperangkap di menara.
kamu pangeran yang mati bahkan sebelum sempat menghirup udara.

kamu adalah saya.
saya adalah kamu.
dan obat termanis adalah kepedihan.
sedang gula terpahit adalah kenangan.

selamat datang,
juga selamat tinggal.


Selasa, 07 Mei 2013

Senin, 06 Mei 2013

siapa peduli ?

bukannya itu ya intinya?
saya bisa jadi kamu. jadi dia. jadi dia yang satunya lagi. siapa saja. tinggal dari mana aja saya bercerita, dari mana sudut pandangnya.
seenggaknya, itu yg saya tangkap.

bukannya memang itu yang semua orang cari?
kesempatan buat gak-jadi-apa-yang-seharusnya-menjadi. kesempatan buat mengekspresikan apapun yang ada di pikiran tanpa peduli apa kata orang. apa tanggapannya. kesempatan buat mengekspresikan apapun yang gak bisa kita ekspresikan di dunia nyata.
seenggaknya, itu yang saya cari.

bukannya itu lah sisi spesialnya?
bukan berarti gak jadi diri sendiri. tapi mengungkapkan diri yang sebenernya. yang belum terlihat. yang gak pernah disangka ada dalem tubuh yang biasa kita liat di kaca sehari-hari.
seenggaknya, itu yang saya percaya.

dan kalo ditanya, siapa saya?
siapa peduli.

hehe.

Sabtu, 20 April 2013

Last Flowers - Radiohead


Appliances have gone berserk
I can not keep up
Treading on people’s toes
Snot-nosed little punk


And I can’t face the evening straight
You can offer me escape
Houses move and houses speak
If you take me there you’ll get relief
Relief, relief, relief


And if I’m going to talk
I just want to talk
Please don’t interrupt
Just sit back and listen


Because I can’t face the evening straight
You can offer me escape
Houses move and houses speak
If you take me then you’ll get relief
Relief, relief, relief, relief, relief


It’s too much
Too bright
Too powerful



ini soundtracknya Confessions yang saya omongin kemarin-kemarin. bagus banget lagunya. baru-baru ini saya tau, lagu ini sebenernya menceritakan orang-orang sekarat yang gak kuat lagi nahan penderitaannya, sehingga milih minum pil buat mati. 

"You can offer me escape."

"If you take me then you'll get relief."

kasian.


Oh ya, kalo mau tau lagunya, bisa streaming disini: http://videokeman.com/radiohead/last-flowers-to-the-hospital-radiohead/#ixzz2Qtv0E03l

Selasa, 05 Maret 2013

Sebuah Tanya

Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa,
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku.

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu?
Ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat.

Apakah kau masih akan berkata, "ku dengar derap jantungmu"?
Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta.

Manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenagan,
dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru.


Soe Hok Gie
Selasa, 1 April 1969

this part...

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku

Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu, sayangku

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya,
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu

Mari sini, sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit atau awan mendung

Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa


Soe Hok Gie
Selasa, 11 November 1969

Senin, 18 Februari 2013

sweet-risky-things

saya ingat waktu kamu bicara soal resiko. rasanya janggal, bagaimana kamu membungkus makna yang satu itu dengan kalimat 'resiko', sementara kebanyakan orang malah menyebutnya sebagai anugrah. tapi belakangan saya mulai mengerti jalan pikiran kamu, 'resiko'? apapun yang tidak kita inginkan untuk terjadi tapi berkemungkinan terjadi bisa didefinisikan sebagai resiko. ya mungkin. kira-kira seperti itu.

mungkin saya sudah terbiasa makan pahit, sampe-sampe disuguhin yang manis malah nolak. kurang biasa. merasa agak-kurang-pantes. sadar diri aja mungkin ya. kurang ngerti juga sebenernya. saya cuma kurang percaya kalo orang macem saya bisa bikin something yang seperti itu. keterlaluan rasanya. 

bisa diumpamakan, resiko dapat mobil dari undian supermarket. 'resiko'. resiko... begoknya agak berlebihan memang. tapi saya memang merasa terancam. bisa diumpakan lagi, mobil itu tidak dijamin bukan salah satu decepticon yang bisa kapan aja berubah jadi mesin pembunuh. ya mungkin. kira-kira seperti itu.

intinya, ya saya memang tidak biasa mengambil resiko. semanis apapun itu resikonya.

Kalau kita memang 2 tetes air, maka aku sudah terserap menuju inti bumi, sedang kamu sudah menguap karena terik matahari.

komitmen?

akhir-akhir ini saya berpikir soal apa itu komitmen. entah bisa disebut apa, tapi hal itu terasa agak-agak menakutkan. komitmen itu mengikat, tidak bebas, dapat disalahkan, dan hal-hal sejenis yang menggerahkan leher. rasa-rasanya memang bahagia orang-orang yang hidup normal, yang menjalani apapun itu yang biasa dijalani, yang biasa dilakukan orang-orang pada umumnya. tapi saya malah ragu bisa hidup dalam keteraturan, dalam rutinitas seperti minum obat pagi dan malam. mengucapkan selamat malam dan mendapat ucapan selamat pagi. terdengar sedikit naif memang kalo saya pengen hidup bebas. bebas memang kadang identik dengan konotasi negatif. tapi saya rasa ini yang paling berlogika untuk dilakukan dimasa-masa seperti ini. demi Tuhan, saya butuh inspirasi.

Sabtu, 05 Januari 2013

surat cinta, sepertinya.

saya gak tau harus mulai dari mana. mungkin saya memang gila. anomali. sinting. atau apalah itu namanya. tapi saya gak bisa berhenti berpikir soal kamu. soal cerita kamu. soal tulisan-tulisan kamu. semua soal kamu terlebih belakangan ini. mungkin memang apresiasi saya terlalu berlebihan terhadap kamu. toh, kamu bukan siapa-siapa saya. mukzizat pun sepertinya gak bisa mengenalkan saya pada kamu. hukum alam. sudah peraturan. saya masih belum mengerti apa yang sebenarnya saya tulis. tapi saya yakin kamu gak akan keberatan soal ini. toh, kamu tidak akan baca. sudah 3 hari terakhir saya hampir gak tidur malam. saya dedikasikan waktu istirahat saya buat mengenal kamu lebih dalam. dan sialnya, saya makin jatuh cinta. tapi ya biar saja. toh, kamu tidak terganggu. saya tau ini agak ringkuh untuk disebut surat cinta. tapi mau dinamakan apa lagi? toh, saya memang jatuh cinta.

saya yakin yang saya rasa ini gak seharusnya. sinting. gila. saya gak akan bisa tersenyum lebar sambil bilang kalo saya sudah jatuh cinta, sama orang yang sudah gak ada. yang bahkan belum sempat saya temui. seseorang yang bahkan lebih dulu dilahirkan ketimbang ayah dan ibu saya. seseorang yang sudah mati. seorang aktivis mahasiswa yang entah kenapa harus mati muda. yang entah kenapa harus diambil nyawanya tepat sehari sebelum merayakan ulang tahun yang ke 27. yang entah kenapa harus menghirup asap beracun mahameru. yang entah kenapa harus mati disana. entah entah dan entah. saya gak tau lagi harus ngomong apa.

seandainya masih ada sosok seperti kamu hidup di jaman ini. sosok nyata yang bisa saya sentuh dengan tangan. bukan cuma bayang-bayang.


manusia memang pasti mati. tapi pesonanya bisa abadi.


seperti yang kamu tulis,
berbahagialah mereka yang mati muda. 
berbahagialah dalam ketiadaanmu.

Gie,