Senin, 13 Februari 2017

Pangeran dari Cordonia

Namanya Leo, 
seperti keripik kentang.

Matanya biru langit dan 
senyumnya bak matahari 
jam delapan 
pagi.

---

Belakangan saya mengunduh sebuah permainan visual novel di ponsel. Rasanya ingin sekali meludahi diri sendiri, sebab saya mendapati diri saya terhibur dengan drama fiksional sementara apa yang jelas-jelas di depan mata sering kali saya hindari. Menulis ini pun adalah bentuk penyangkalan atas apa yang seharusnya saya lakukan; perkuliahan dimulai hanya dalam hitungan jari sebelah tangan, saya harus lulus dalam hitungan bulan, dan bagian terburuknya, saya menulis tentang seorang pangeran fiksional dari suatu tempat yang juga fiksional jam dua pagi di kamar seorang teman berbekal internet menumpang. Ah. Lagipula, berbulan-bulan lalu sudah saya putuskan untuk menulis hanya untuk diri saya sendiri, pada buku kecil tanpa garis yang kerap saya isi dengan pikiran-pikiran lewat tengah malam. Tulisan-tulisan tak berarah, nirfaedah.

Namanya Leo, seperti keripik kentang. 
Saya bertemu sosoknya pertama kali di antara puing-puing Athena, dan sedemikian manis kata yang ia ucapkan, saya lalu jatuh cinta. Mudah sekali rasanya jatuh untuk pria yang semacam itu; yang tidak nyata. Dengan kondisi saya yang harus menikah di akhir musim panas demi sebuah harta warisan dari nenek yang diam-diam adalah seorang milyuner. Begitu kira-kira jalan ceritanya. Saya terjebak dalam perjalanan kapal pesiar sepanjang musim, berlayar dari tempat ke tempat, dengan mantan tunangan yang belakangan saya ketahui telah berselingkuh, sehingga menyisakan saya kursi pelaminan kosong yang harus terisi tepat setelah pesiar selesai. Sungguh drama yang memuakkan, bukan? Tapi saya benar mencintai pria rambut pirang itu. Bukan karena harta warisan ataupun dia seorang pangeran. 

Saya telak jatuh ketika ia mulai bicara tentang waktu yang kita habiskan sepanjang hidup. Awalnya saya utarakan keresahan saya akan hubungan yang saya pikir terlalu cepat. Dan malah Ia bilang, nyatanya kita lebih banyak menghabiskan detik-detik yang kita anggap berharga untuk menyikat gigi, untuk mengantre di kasir swalayan, atau untuk terjebak macet di jalanan. Justru hal-hal yang benar berharga lah yang terjadi dalam hitungan detik dan kedipan mata. Hal-hal yang mengubah titik hidup, hal-hal yang membentuk diri saya sekarang, hal-hal yang tidak pernah lepas dari ingatan. Semua itu terjadi begitu cepatnya. Secepat ini, secepat saya melihat mata seseorang dan yakin bahwa mata itulah yang ingin saya lihat pertama kali setiap bangun pagi, sampai nanti saya tak bangun lagi. 

Bukankah waktu tidak pernah benar jadi sebuah ukuran? 

Musim panas belum selesai. Kapalnya masih terus berlayar dari satu dermaga ke dermaga lainnya. Saya masih berusaha meyakinkan semesta kalau benar Leo yang nantinya akan saya nikahi. Tentu banyak sekali aral melintang. Pada akhirnya, ini tentu masih sebuah permainan. 

Bab baru datang setiap minggu. Dan di sela-sela penantian saya itu, sosok Leo lebur ke dalam suara kipas angin dan sebuah dream catcher yang tergantung dan bergoyang. Saya berusaha mencari pembenaran atas keterikatan yang saya rasakan. Mungkin memang seperti itu. Kita, manusia, selalu begitu tertarik pada apapun yang tidak bisa kita miliki. Mengendalikan hal yang di luar dari diri kita sendiri. Sesuatu. Seseorang. Sebuah kehidupan lain: kemungkinan menikahi seorang bangsawan. Memang nyatanya hidup adalah soal kemungkinan. Kecil ataukah besar, semua tak lain adalah kemungkinan yang--mungkin--hanya Tuhan dan segelintir orang pintar yang mengerti duduk perkaranya. 

Saya bukan Tuhan. Saya bukan orang pintar. Saya tidak tahu siapa orang yang nantinya akan saya nikahi. Saya tidak tahu mata siapa yang nantinya saya tatap pertama kali setiap bangun pagi. Dalam permainan, saya selalu bisa mengulang sebuah bab tiap kali bab itu berakhir tidak seperti yang saya inginkan. Saya selalu bisa mencoba pilihan-pilihan lain, yang bisa menghantarkan saya pada ujung cerita yang berbeda. Sehingga selalu ada kesempatan untuk berakhir memandangi mata seseorang yang benar-benar saya inginkan, yang benar-benar saya cintai sepenuh hati tanpa terkecuali.

Saya. Terlepas dari semua embel-embel drama antara seorang perempuan biasa dengan seorang bangsawan. Cerita saya juga tengah berjalan melewati bab-babnya sendiri. Pada waktunya, saya akan lulus dari institusi ini. Saya akan mendapat pekerjaan yang saya idamkan. Menikahi seseorang, menatap belek matanya setiap pagi dan membangunkannya dengan ciuman ringan. 

Tapi saya tidak pernah tau,
Di sisi dunia yang lain, mungkin saja.
Seseorang tetiba mengumpat. Menyesali pilihan-pilihan yang ia buat sehingga menempatkan saya di posisi yang demikian. Karena satu dua alasan, ia pun merasakan juga keterikatan. Matanya kosong menatap saya meneguk kopi entah gelas keberapa setiap malam, menyelesaikan pekerjaan yang tidak pernah saya inginkan. Hatinya retak mendapati saya bangun setiap pagi di samping sebuah pertanyaan yang selamanya tertulis di dahi seseorang: apakah saya benar mencintai pria yang saya nikahi?

Ia lalu menekan tombol ulang, 
dan seketika hidup saya terulang 
dari awal.

---

Memang saya tidak pernah tau.
Di sisi dunia yang lain, Cordonia, mungkin saja.
Bukankah hidup tak lain adalah sebuah permainan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar