Sabtu, 26 Oktober 2013

Rencana akhir tahun

Akhir tahun ini saya, Dina, Sarah, Dila, Vina dan Rizka punya rencana untuk jadi backpacker dadakan ke Jogja. Saya sudah punya list tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Semoga semuanya lancar. Semoga saya dibolehkan.
Amin.

Jumat, 25 Oktober 2013

Hidup ini...

Hidup ini penuh rintangan
Kau bilang
Tak perlu tinggi berangan
Jadi tak perlu jatuh terbuang

Hidup ini penyiksaan
Kau bisikan
Biar tak usah tertekan
Mati kau jadikan pilihan

Hidup ini tak ada
Ku rasa
Hanya ilusi semata
Hingga tak perlu kau bicara

Minggu, 20 Oktober 2013

Saya baru terpikir, semua orang merasakan hal yang sama, dan penulis hanya mereka yang diberi kemampuan lebih untuk mengekspresikan rasa itu dalam kata-kata. Memang seperti itu kira-kira.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Mulai dari malam ini

Kalau saya tetap diam dan menunggu, maka saya hanya lampu kecil warna-warni yang biasa digantung di langit-langit. Hanya penghias, bukan penerang. Dan kalau pun saya mati, tidak akan memengaruhi. Hanya 1 ikan dari seisi lautan. Tidak berarti. Kalau saya tetap seperti ini, saya tidak akan tau apa yang sebenarnya saya mampu. Cuma diam dan menunggu suruhan.

Saya mau angkat bicara mulai dari sekarang. Mulai dari malam ini. Saya ingin berarti. Saya ingin orang-orang menyimak apa yang saya ucapkan. Mendengar apa yang saya serukan. Saya lelah bersikap seperti gadis bodoh yang tidak mengerti apa-apa. Sudah saatnya saya menunjukan siapa saya.

Ya. Siapa saya.
Saya sudah berada di tempat yang seharusnya.

Jumat, 18 Oktober 2013

Cahaya Bulan (Ost. GIE) - Eross ft. Okta

perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
cahaya kota kelam mesra menyambut sang petang
di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih
kenapa matahari terbit menghangatkan bumi 

aku orang malam yg membicarakan terang   
aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh pedang

perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
cahaya nyali besar mencuat runtuhkan bahaya
di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih
kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi  
 
aku orang malam yg membicarakan terang   
aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh pedang

reff:
cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan
yg takkan pernah aku tau dimana jawaban itu
bagai letusan berapi bangunkan dari mimpi
sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati

terangi dengan cinta di gelapku
kuketakutan melumpukanku
kuterangi dengan cinta di sesatku
dimana jawaban itu

Selasa, 15 Oktober 2013

Saya sering dapat inspirasi untuk ide cerpen saat melamun, tapi seketika hilang setelah saya buka tablet untuk mulai menulis.

Ingin jadi pendaki

Kapan-kapan saya ingin naik gunung. Saya tidak tau sejak kapan tepatnya saya mulai tertarik pada hal maskulin satu ini. Mungkin sejak sekolah dasar, mungkin lebih muda lagi. Dulu pernah ayah cerita soal kami liburan di Bromo, saya masih terlalu kecil saat itu, masuk sekolah Tk saja belum. Tidak ada yang saya ingat selain anak tangga yang begitu banyak, itu saja sudah kabur-kabur dari ingatan. Kalau lihat foto-foto yang ada di album, waktu itu saya pakai kaos kuning dan dilapis baju kodok, kupluk rajutan belang-belang, dan bawa boneka kucing kecil yang dinamai Mika. Saya juga naik kuda, tapi saya tidak ingat sama sekali. Ayah bilang dulu saya yang paling semangat naik sampai ke puncak, tentu saya juga tidak ingat soal itu.
Belakangan ayah suka iseng-iseng bercanda, mengajak liburan ke Bromo lagi. Saya merasa diberi harapan kosong (begitu kata anak-anak sekarang). Saya ingin sekali naik gunung. Iri setengah mati ketika teman bercerita kalau ia dan 'sahabat'nya punya rencana untuk naik gunung Semeru. Lalu lebih iri lagi ketika teman di London bercerita soal liburannya, ia dan teman-temannya juga naik gunung di sana. Ia janji mengirimi saya foto-foto. Kapan giliran saya?
Begitu tau ada ukm pendaki di fakultas, saya langsung kegirangan bukan main. Akhirnya saya punya kesempatan untuk naik gunung. Betapa senangnya. Sampai sekarang saya masih menunggu kapan ukm itu membuka recruitment.
Kadang saya berpikir, bisa-bisanya orang seperti saya tertarik dengan hal seperti ini. Mungkin turunan dari ayah, memang ayah lumayan suka hal-hal berbau alam. Namun pernah sekali waktu ayah bilang, "Gunung kalau dilihat dari jauh bagus sekali. Tapi menakutkan ketika didatangi.". Saya cuma tertawa-tawa. Ketika itu kami sedang di pantai, beliau menunjuk ke arah tebing-tebing tinggi yang lebat ditumbuhi pohon.
Di gunung, kita bisa melihat sosok asli diri seseorang. Memang begitu kira-kira. Kalau sudah ada di gunung dengan segala keterbatasan, apa masih sanggup orang-orang memainkan peran? Mereka bakal menampakan sosok aslinya. Percaya atau tidak. Jadi kalau kamu betul-betul ingin kenal seseorang, bawa saja ia ke gunung.
Saya ingin dibawa ke gunung.

Bangkitkan Lagi Semangat Juang Generasi Muda

Ada sebuah pemikiran dimana untuk mengenali seseorang, kita tidak perlu mengenal seseorang itu secara pribadi, melainkan cukup dengan karyanya saja. Karena sosok seseorang menjelma seutuhnya ke dalam karya yang ia ciptakan. Seperti kita yang menilai burung dari merdu kicauannya, menilai orang dari apa yang ia ucapkan, juga menilai penulis dari apa yang mereka tuliskan.
Saya mengenal satu sosok pemimpin muda, meski belum pernah bertatap muka, meski kami hidup di masa yang berbeda hampir 5 dekade lamanya. Saya tahu namanya Soe Hok Gie, saya tahu ia lahir tanggal 17 Desember 1942 dan meninggal ketika berumur 27 tahun kurang sehari, saya tahu ia adalah mahasiswa UI Fakultas Sastra, dan menjadi sosok yang begitu berpengaruh pada masanya.
Peranan Soe Hok Gie dalam penegakkan Orde Baru yang dipimpin Jendral Soeharto memang tidak kecil, sebagai seorang jurnalis juga aktivis. Ia berharap Orde Baru dapat menegakkan keadilan sosial, dan ia tidak segan melontarkan kritikan pedas yang mengundang banyak pro dan kontra di berbagai kalangan. Meskipun itu berarti harus terkucilkan atau bahkan dilempari surat kaleng berisi ancaman.
Kritik-kritik dan kecaman yang dilontarkan oleh Soe Hok Gie dilancarkan atas pemikiran yang jujur dan realistis. Ia memang tidak selalu benar, namun ia selalu jujur. Setiap kritik dan kecamannya pun tidak pernah dilontarkan tanpa perasaan prihatin. Sayang sekali sosok pemimpin muda ini juga mati di usia muda. Saya yakin bila nasibnya sedikit lebih baik, ia akan menjadi tokoh yang lebih besar, lebih berperan, dan lebih terkenal. Saya yakin akan menemukan namanya di buku-buku pelajaran sejarah yang saya punya saat ini, jika saja ia hidup lebih lama dan melanjutkan perjuangannya.
“Kita, generasi muda ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, seperti (…). Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.” (Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie, Penerbit LP3ES, 1983).
Kutipan di atas adalah salah satu tulisan Soe Hok Gie pada buku hariannya, yang akhirnya (setelah ia meninggal) diterbitkan setelah disunting, karena dianggap terlalu beresiko apabila tetap mencantumkan nama seperti pada buku harian asli miliknya.
Soe Hok Gie adalah salah satu figur pemimpin muda berkarakter yang sudah sulit ditemukan di masa sekarang. Sedang waktu yang terus berjalan selalu membawa kita selangkah demi selangkah ke masa depan. Dan masa depan perlu diisi dengan penerus-penerus baru, pejuang-pejuang muda yang dapat diandalkan untuk mengurusi kemana bangsa dan negara ini mau dibawa.
Kaum muda memang identik dengan perubahan yang dibawanya. Perubahan-perubahan yang diharapkan dapat  membawa bangsa ke arah yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Pandangan ini muncul karena cita-cita golongan tua yang berharap bangsanya akan menjadi lebih baik di kemudian hari, dan ambisi golongan muda untuk memperbaiki kecacatan juga kerusakan-kerusakan yang ditinggalkan oleh orang-orang sebelumnya.
Sosok seorang Soe Hok Gie sebagai pemuda pada masanya, sangat jauh berbeda dengan kita. Ia lahir ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik, sedang generasi kita lahir di masa yang tinggal terima jadi dan tidak perlu tahu apa-apa.
 Barangkali ini adalah salah satu faktor mengapa generasi muda pada jaman itu lebih peka terhadap keadaan yang tengah terjadi di tengah-tengah mereka. Mereka yang merasakan pahit akan mati-matian mencari tahu bagaimana rasanya mengecap manis. Dan mereka yang sudah terbiasa merasakan manis, tidak sudi untuk sekali saja mengecap pahit.
Lepas dari masalah pahit-manisnya pengalaman yang dirasa, masa depan bangsa masih menggantung di hadapan kita. Harus ada penerus, atau Indonesia hanya tinggal nama. Mau tidak mau pemimpin-pemimpin muda berkarakter harus lahir kembali untuk meneruskan perjuangan kaum tua, memperbaiki kesalahan-kesalahan, dan membawa Indonesia pada keadilan sosial yang sesungguhnya, seperti cita-cita Soe Hok Gie pada masa Orde Baru dulu.
Lalu, bagaimana caranya melahirkan pemimpin-pemimpin muda dengan semangat juang tinggi seperti dulu lagi?
Kaum muda Indonesia saat ini dapat dibilang sudah tertidur terlalu lama. Terbuai dengan segala kenyamanan dan fasilitas yang mereka punya, sehingga semakin merasa bahwa bangsa yang di tempatinya ini baik-baik saja. Dan tidak memikirkan bahwa bagaimanapun harus ada penerus yang melanjutkan perjuangan bangsanya.
Tentu bukan kaum muda sembarangan yang dapat dijadikan calon-calon penerus dan pemimpin bangsa. Calon-calon pemimpin harus memiliki dasar moral yang kuat. Seperti halnya agama, moral juga menjadi pondasi setiap pemimpin, juga setiap manusia. Mereka yang memimpin tanpa moral yang tinggi tidak akan pernah bertahan lama, karena membangun rumah dengan pondasi yang salah sama saja loncat indah ke dalam jurang.
Mari kita ingat lagi konsep menulis Soe Hok Gie, ia memang tidak selalu benar karena memang tidak ada manusia sempurna, namun ia berkata jujur dan apa adanya. Kejujuran adalah salah satu hal terpenting untuk membentuk jiwa seorang pemimpin. Kekuasaan tanpa kejujuran hanya akan melahirkan tikus-tikus pemakan uang yang bersembunyi di balik meja-meja pemerintah. Koruptor-koruptor busuk yang berdansa sementara rakyat menderita. Dan pejabat-pejabat hina yang berfoya-foya sementara rakyat meminta-minta.
Kejujuran itu sendiri bukanlah sepaket karakter yang bisa dengan instan diperoleh dalam jiwa seseorang. Seperti kata orang, ‘bisa karena biasa’. Kejujuran dan ketidak jujuran berawal dari kebiasan. Dalam beberapa kasus, kebiasaan ini dimulai dari usia yang sangat muda dan hal-hal yang dianggap sangat sederhana.
 Contohnya, seorang anak yang sejak kecil  terbiasa mencontek dalam ulangan, kemungkinan besar akan berakhir menjadi koruptor ketika sudah dewasa dan menjadi pejabat. Karena sejak kecil sudah terbiasa menghalalkan segala cara untuk memenuhi apa yang ingin dicapainya. Mencontek untuk mendapatkan nilai ulangan tinggi tanpa belajar, lama kelamaan bertransformasi jadi menggelapkan uang untuk mendapatkan penghasilan besar tanpa susah payah bekerja lebih.
Sedangkan, jika seorang anak terbiasa bersikap jujur semenjak kecil. Ia akan terbiasa mencapai apa yang ia inginkan tanpa berbuat curang, atau menyalahi aturan. Sampai dewasa, anak ini akan tetap berbuat jujur, karena meyakini bahwa apa yang dilakukannya semenjak kecil adalah benar. Dari anak-anak seperti ini pemimpin-pemimpin muda akan tercipta. Dengan berkembangnya kemampuan berpikir seiring bertambah usia, ia akan mulai tersadar kalau kejujuran adalah hal yang sarat ditemukan, dan ingin meluruskan kembali apapun itu yang sudah menyimpang.
Namun bila bicara kenyataan, memang generasi muda yang seperti itu sudah sulit ditemukan. Banyak generasi muda yang memiliki potensi, namun tidak peduli apa yang terjadi di sekitarnya. Generasi muda jaman ini hampir bisa dibilang kehilangan semangat juang.
Padahal, jika membandingkan masalah perkembangan IPTEK dan semangat juang pada jaman dulu dengan jaman sekarang. Tentu saja kita akan temukan kenyataan ‘lucu’ yang kadang memilukan. Kaum muda jaman dulu memiliki semangat juang tinggi untuk memajukan bangsa, meski perkembangan IPTEK pada jaman itu tentu saja masih jauh di bawah apa yang sudah kita rasakan saat ini. Sedangkan pada masa ini, ketika IPTEK tengah pesat berkembang, dan segala fasilitas sudah dalam genggaman kita, kita malah hampir tidak punya lagi semangat juangnya. Kita tidur. Hampir seperti mati karena dibuai teknologi.
Bayangkan saja, apa yang bisa terjadi bila kedua sisi positifnya digabungkan. Semangat juang tinggi yang sudah difasilitasi segala teknologi. Saya yakin dalam kurun waktu yang singkat, bangsa Indonesia bisa lebih maju dalam berbagai bidang. Entah itu politik, perekonomian, atau sosial.
Jadi, bangunlah dulu dari mimpi hidup bahagia selamanya. Dan mulai melakukan sesuatu yang bisa mewujudkan mimpi itu serta cita-cita bangsa Indonesia. Sudah tiba saatnya kita generasi muda untuk bangkit kembali. Dan mewujudkan segala cita-cita pendiri bangsa untuk kemajuan Indonesia. Meneruskan apapun yang sudah dibangun. Meluruskan apapun yang sudah menyimpang. Dan memperbaiki apapun yang pernah rusak.

Kita diajarkan untuk mengingat pemikiran, bukan orang. Karena orang memang tidak abadi dan kapanpun ia bisa mati. Tapi pemikiran tetap bisa hidup selama ada orang lain yang meyakininya, selama ada orang lain yang melanjutkan perjuangannya. Dan memang sosok pemimpin muda bernama Soe Hok Gie sudah lenyap dari muka bumi, namun sekarang, 44 tahun sejak kematiannya, pemikiran tentang terciptanya keadilan yang sebenarnya di Indonesia masih ada dan diyakini. Dan itu akan menciptakan Soe Hok Gie-Soe Hok Gie baru. Melahirkan pemimpin-pemimpin baru.

Samarinda, Februari 2013
5 besar essai terbaik Dies Natalis IBMT Internasional University Surabaya

Budaya Pembentuk Watak Bangsa

“Buku membentuk watak bangsa.” Kata salah satu Bapak Proklamator kita, Bung Hatta. ”Buku adalah jendela dunia”, begitu pula bunyi kata bijak milik sejuta umat. Lalu, bisakah anda bayangkan bagaimana hidup kita tanpa buku? Akankah kita perlahan berubah menjadi individu-individu tanpa identitas yang sepatutnya dipertahankan? Yang pada akhirnya akan menciptakan fenomena bangsa tidak berwatak, ideologi yang terhapus, dan sejarah yang terlupakan.
            Na’asnya, masalah yang kita hadapi dewasa ini di Indonesia sudah sangat menjurus ke arah fenomena itu. Berita terakhir menyatakan bahwa angka minat baca penduduk Indonesia masih sekitar 0.01 persen. Terlampau jauh bedanya dengan negara-negara Asia lain, seperti Jepang (45 persen) dan Singapura (55 persen). Apakah itu menjelaskan mengapa Jepang dan Singapura menjadi salah satu negara maju di kawasan Asia? “Buku membentuk watak bangsa”, seperti kata Bung Hatta.
            Bila bicara soal membentuk watak bangsa, tentu saja yang kita bicarakan adalah soal generasi muda. Karena generasi muda lah penerus bangsa yang akan menggambil posisi setelah generasi tua dilengserkan. Generasi muda lah yang seharusnya banyak-banyak membaca,  menghidupkan lagi budaya baca yang dulu sempat kuat dimiliki bangsa Indonesia.
            Badan-badan perpustakaan ataupun Dinas Pekerjaan Umum, telah berupaya meningkatkan angka minat baca tersebut dengan cara mengangkat duta-duta baca baru setiap tahunnya. Dari kalangan pelajar dan atau mahasiswa yang dianggap sanggup juga pantas menjalani tugasnya. Namun kenyataan yang ada, pengangkatan duta-duta tersebut belum dirasa efektif dan masih jauh dari kata berhasil, bercermin pada persentase minat baca di Indonesia yang masih saja bertengger di angka 0 koma.
            “Buku membentuk watak bangsa”, berkali-kali saya tekankan pendapat Bapak Proklamator kita ini. Karena tidak dapat kita pungkiri, kalimat itulah jelmaan paling sempura dari sebuah hubungan antara manusia, apa yang ia baca, dan bagaimana nasib bangsanya. Buku menjadi salah satu faktor terkuat yang ikut berperan dalam watak dan kepribadian bangsa. Lalu, bagaimanakah tentang kualitas isi buku yang menjadi bahan bacaan generasi muda dewasa ini?
               Bila kita menilik sekitar 3-4 dekade kebelakang, kita akan temui perbedaan drastis yang mencuat dari kualitas bahan bacaan yang beredar di masyarakat. Mengapa? Meskipun dengan sarana pendidikan yang masih cukup terbatas, generasi muda jaman itu memiliki semangat yang jauh lebih tinggi dalam bidang bacaan. Ini tercermin dari jenis buku yang mereka baca pada umumnya. Dibawah Bendera Revolusi, Pasang Naik Kulit Berwarna, dan The Edventure of Idea, adalah beberapa buku bacaan yang populer diantara pelajar.
            Sedang bila kita melihat kabar hari ini, seakan-akan yang kita temui hanyalah setumpuk novel-novel humor dan cinta ala penulis-penulis kemarin sore dari jejaring sosial. Salah seorang teman pernah berkata; “Jaman sekarang, cukup punya followers banyak di twitter sudah bisa jadi penulis dan punya buku sendiri.”.  Dengan kalimat itu yang terucap dari mulut orang lain, saya semakin yakin, saya bukan satu-satunya orang yang beranggapan bahwa penerbit-penerbit buku di Indonesia telah terlalu jauh keluar dari jalurnya. Dan faktanya lagi, buku-buku itu pun laku keras di masyarakat khususnya kalangan muda. Lalu bagaimanakah watak yang akan di bentuk dari buku-buku tersebut? Akhirnya hanya akan tercipta generasi-generasi “Galau” yang tidak punya pendirian teguh. Dan selangkah demi selangkah membawa kita pada fenomena ideologi yang jatuh.
            Budaya baca adalah budaya pembentuk watak bangsa. Dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki angka minat baca yang sangat rendah, apakah tidak semakin buruk bila penyumbang angka persentase tersebut didominasi oleh novel-novel roman picisan yang kurang berbobot? Sebagai calon mahasiswa sastra, tentu saya menganggap hal ini sebagai masalah yang besar dan harus cepat diatasi. Saya percaya akan kemungkinan bahwa buku-buku yang populer beredar di masyarakat, khususnya kawula muda, memiliki pengaruh pada persentase angka minat baca di Indonesia.
            Kita perlu konsepsi dewasa ini. Seharusnya, pihak penerbit melakukan koreksi besar-besaran terhadap kategori-kategori buku yang diterbitkannya. Memang buku-buku entertainment juga dibutuhkan, namun tidak berarti hal itu harus menutupi semua jenis buku yang beredar di pasaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa penerbit buku adalah satu badan komersil yang berusaha meraup untung semaksimal mungkin. Sehingga penerbit akan terus mengikuti perkembangan kemauan pasar. Padahal, apabila penerbit berani sedikit idealis dan tidak sembarangan mengikuti zaman, kemungkinan konsumenlah yang akan berbalik mengikuti apa yang penerbit sajikan.  
            Ketika pihak penerbit tidak lagi dapat diajak kompromi, Sudah saatnya kita, generasi muda, mengubah pola pikir dalam memilih bahan bacaan. Terlepas dari bacaan wajib yang diharuskan oleh sekolah dan universitas, kita harus dengan penuh kesadaran memilih buku bacaan yang dapat ‘mendidik’ kita, bukan hanya penghibur semata. Dan saat semua telah kembali pada jalurnya, angka minat baca di Indonesia akan perlahan meninggi dengan sendirinya. Belum lagi, persentase itu didominasi oleh buku-buku bacaan yang berbobot, bukan hanya setumpuk roman picisan belaka.
“Buku membentuk watak bangsa”, Apa yang lebih puitis, selain berbicara soal nasib bangsa yang kita rela mati untuknya? Kita hidup di masa dimana ‘kata’ lebih kuat dari pada apapun juga, lebih berpengaruh terhadap semua. Karena itulah, kita, generasi muda, harus mempertahankan watak bangsa kita lewat kata-kata. Kita harus hidupkan lagi budaya baca, karena apa yang kita baca, merefleksikan kata apa yang kita cipta. Dan itulah yang akan memakmurkan Indonesia.

Bandung, Agustus 2013
112 Essai terbaik pra-PKM Universitas Padjadjaran
2 besar Fakultas Ilmu Budaya
PRABU Unpad 2013

Senin, 14 Oktober 2013

Hilang dalam kelam

Rumput liar tinggi menjulang
Kerikil kecil diam-diam menusuk badan
Akulah si orang malang
Yang hanya bisa berangan-angan

Langit malam bahkan enggan
Kerlip bintang disapu kelam
Seakan aku yang hilang
Dan keberadaanku hanyalah mengganggu alam

Lembang, 5 Oktober 2013
PDS Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film UNPAD


puisi dadakan kelas sastra yang entah kenapa bisa menang.

Laut

Air tidak pernah takut
Seberapapun ia jauh dari laut
Terik matahari. Awan. Bebatuan. Juga hujan
Apapun itu selama ada jalan pulang

Lautan pun tak pernah ragu
Ia s'lalu setia dan menunggu
Dimana pun akhirnya itu
Ia percaya bahwa mereka satu

Kamu lah air itu
Dan aku lah lautanmu

Minggu, 13 Oktober 2013

Siapa diri saya

Saya gila menulis hari ini. Mungkin hanya wujud pelarian dari final paper yang seharusnya sudah saya buat draft-nya. Saya tidak punya inspirasi. Seorang Dosen pernah berkata, "Ada 3 alasan orang menulis, pertama, untuk mengungkapkan sesuatu, kedua, untuk mencari tahu sesuatu, dan yang terakhir, karna saking tidak tahu.". Saya pikir saya masuk kategori yang terakhir, sering kali saya menulis karena saking tidak mengerti apa yang harus ditulis. Aneh memang.

Mengenai menulis, saya terpikir soal orang-orang di sekitar saya. Orang-orang terdekat saya. Sulit untuk menyatakan suatu hal dari hati paling dalam, kalau pendengarnya adalah orang-orang yang hidup bersama kita, yang non stop kita lihat wajahnya 7 hari 24 jam. Keluarga. Orang tua. Saudara. Kadang jadi orang terakhir yang tahu siapa diri kita sebenarnya. Apa yang kita mau sesungguhnya. Untuk kasus saya, malah sering kejadian.

Rasanya jauh lebih nyaman bicara pada orang yang baru kita kenal. Tanpa takut dihakimi atas pandangan seseorang terhadap kita. Saya bebas bicara. Saya bisa tunjukan siapa diri saya. Alhasil, tidak ada satupun saudara saya yang tau saya suka menulis. Saya selalu diam-diam saat menulis, pergi ke ruangan lain untuk sekedar membuka laptop dan mengetik. Saya kurang suka menulis tangan. Tulisan saya tak karuan.

Orang tua pun baru sadar saya senang menulis saat saya bilang saya ingin masuk sastra. Ketika beberapa tulisan saya berhasil menjuarai lomba yang tidak bisa dibilang gampangan, ibu saya baru berkata "Berarti kamu punya bakat, kembangankan saja. Beli buku-buku yang bisa menginspirasi kamu.". Saya cuma ingin tertawa. Ketika seorang ibu menjadi salah seorang yang terlambat mengetahui apa minatmu, bukan kah agak ironis.

Memang hidup seperti ini tidak enak.

Catatan Seorang Demonstran, buku idaman.

Saya benar-benar naif hari ini. Dengan setumpuk tugas yang harusnya jadi oleh-oleh hari libur, saya malah berkutat disini dengan alih-alih ingin menghidupkan lagi blog saya yang nampaknya tidak bisa lagi diselamatkan. Padahal saya ragu blog ini masih dihiraukan oleh orang-orang. Ya, memang seperti itu. Saya tidak peduli.

Beberapa hari lalu saya senang tak karuan, buku yang saya cari sejak beberapa tahun silam akhirnya ada di genggaman. Pencarian saya ke semua toko buku besar itu berakhir pada satu toko buku petakan pinggir jalan. Tempat yang biasa jadi tempat mahasiswa beli photo copy-an buku pelajaran itu sekarang benar-benar saya agungkan. Dan demi Tuhan, buku itu bukan hasil photo copy-an. Buku yang pertama kali diterbitkan beberapa puluh tahun lalu itu cetakan asli, bahkan cover-nya pun sama persis. Saya ingat, itu cetakan kedua belas.

Catatan Seorang Demonstran. Iya. Buku itu yang saya maksud. Salah satu bukti nyata keabadian pesona Gie, sekarang ada dalam genggaman saya. Saya merasa terlengkapi. Sempat ada diskusi singkat antara saya, si bapak petugas toko, dan mbak-mbak yang sedang beli puluhan buku photo copy-an untuk kelasnya. Kami bertiga sama-sama tertarik soal Gie, meskipun saya yakin saya yang paling tahu soal Gie di antara kami. Saya betul-betul tidak terima saat si bapak pemilik toko bilang kalau mayat Gie tidak pernah ditemukan, langsung saya tolak argumen itu mentah-mentah. Memang mayat Gie tidak langsung dievakuasi, saya lupa butuh waktu berapa lama tepatnya evakuasi itu, tapi saya tahu akhirnya mayat Gie dievakuasi dan dimakamkan dengan layak.

Rasanya miris sekali bila saya mengingat kisah hidupnya, tapi lebih miris lagi kisah matinya. Saya ingat kata-kata yang ditulis dalam buku itu, tubuh Gie dibawa dengan dibalut plastik dan digantungkan di bambu. Sungguh prihatin keadan Mahameru saat itu. Saya berpikir, dibanding sepi yang ia rasakan di setiap detik hidupnya, pasti jauh lebih sepi terbungkus dalam plastik itu.

Sudah setengah jalan, saya mau cari Orang-orang di persimpangan kiri jalan setelah yang ini selesai.