Selasa, 27 Desember 2011

sebotol anggur putih

kau sendirian disana, diam dengan menu makanan yang sedari tadi kau pegang.
dan aku, yang seharusnya segera menghampirimu dan duduk di depanmu, malah terdiam disini.
bersembunyi sejenak, entah dari dirimu.. atau dari diriku sendiri.

aku tetap sembunyi sementara dalam hatiku aku memohon maaf dan pengertianmu.
karna membuatmu menunggu terlalu lama. karna aku ingin kau mengerti bahwa wajar saja aku seperti ini.
mengingat aku habiskan lebih dari satu jam di kamar mandi, dan hampir 3 jam memilih pakaian apa yg akan ku pakai, untuk acara sederhana ini.
untuk makan malam ini.

tapi aku tak terlalu berharap kau mengerti. karna aku tau persis seperti apa watakmu.
kau tak akan menganggap lazim seseorang yang tiba2 saja bersikap malu-malu dan jaga image pada sahabatnya sendiri yang sudah dikenalnya hampir 3 tahun ini.
tapi ini berbeda. benar-benar berbeda.

mengambil nafas dalam2 tak berguna lagi saat ini. ku rapihkan pakaian ku sejenak lalu beranjak keluar dari persembunyianku. menghampirimu. menuju tempatmu.

"maaf membuatmu menunggu.." aku tersenyum.
"tenang saja, aku baru saja sampai disini" balas mu tersenyum juga.

senyumku tak kunjung hilang karna tau bahwa kau berbohong. karna kau berkata baru saja sampai sedang aku mengamatimu duduk dikursi ini sejak 1 jam yang lalu.

"sepenting ini kah makan malam ini?" sambung mu
"maksudmu?"
"gaun ungu mu itu belum tentu keluar setahun sekali. high heels itu baru saja ku lihat di toko beberapa hari yang lalu. dan model rambutmu, butuh berjam2 untuk mengaturnya, kecuali kau ke salon dan menghabiskan lebih banyak waktu."

tawa ku lepas saat itu juga. seperti biasa, kau selalu bisa membuat suasana sedingin apapun menjadi penuh kehangatan.

"aku hanya ingin tampak berbeda" aku masih tertawa
"sudah lama aku tak melihatmu tertawa selepas itu. seharusnya kau putuskan hubunganmu dengannya sejak dulu"

tawa ku terhenti. lalu semua hening.

"entahlah. jujur saja kau lebih terlihat bahagia setelah resmi berpisah dari dia"

aku tersenyum.

salah seorang pelayan menghampiri meja kami, diatas nampannya berdiri sebotol anggur putih dan 2 buah gelas tinggi.

"anggur putih?" tanyaku heran.
"hal ini butuh perayaan bukan? selamat datang pada hidup barumu yang terbebas dari dia.."

"cheerss..!!!" gelas kita saling berbenturan.

"lalu? setelah kau resmi lepas dari dia.. apa rencanamu?"
"mencari seseorang yang lebih baik.."
"secepat itukah?"
"sebenarnya, aku tak perlu mencari lagi. aku telah temukan orang itu..."

kau terdiam sejenak, mungkin kau tengah memutar pikiran soal kata2ku itu.

"lalu, siapa orang itu?"

suara alunan biola yang ada disudut sana benar2 bisa menenangkan hati seseorang.
dan tata lampu seperti ini membuat ilusi mata tentang manusia bersayap dengan kilauan matahari ditiap pori-porinya.
makan malam ini, bukan makan malam biasa..



"orang itu.. kamu" kembali ku teguk anggur putihku.

Kamis, 22 Desember 2011

berakhir

hampir 15 menit kita disini. berhadapan namun saling bungkam. tak ada suara, bahkan nyaris tak ada gerakan. kita hanya menatap sudut2 ruangan, sudut mana saja yg bisa dilihat agar meminimalisasi kemungkinan terjadinya kontak mata langsung antara kita. terasa begitu sunyi. lalu suara pertamamu terdengar. memecah keheningan yang tengah ku hayati dalam2..
"Jadi?"
"Jadi apa?" jawabku kembali bertanya, masih tetap membuang muka
"Ada yang harus kita bicarakan bukan?"
"Entahlah" jawabku singkat, kini aku berani menatap matanya
"Aku ingin minta maaf sebenarnya.."
"Untuk apa? kau tak salah apa2" aku berusaha mati2an agar nada suaraku terdengar meyakinkan
"Tapi aku merasa bersalah, kau tau, aku tau tentang itu semua..." jawabmu lirih
aku tak mampu membendung air mataku lagi, ingin rasanya aku mengucapkan "Semua apa? tentang dia? tentang pacarmu? atau tentang fans2 mu termasuk aku? atau kau mau bilang kau menyesal karena sudah terlalu banyak memberikan harapan pada ku??!" tapi aku tak mengatakannya. aku sadar itu hanya akan memperburuk keadaan. maka aku memilih diam. diam dan menangis. seperti biasanya, lemah seperti biasanya.
malam itu berakhir seperti dugaanku, tak jauh-jauh dari sesak nafas dan air mata. sangat klasik. sangat gampang ditebak.
kau meninggalkan aku sendirian disana, entah karena memberiku ruang untuk sendiri, atau malah karna kau sudah benar2 lepas tangan atas hal yang kau mulai sendiri, aku tak peduli, yang ku tau aku butuh ruang untuk sendiri, berpikir apa jalan terbaik yang harus ku lalui saat ini.

"Seharusnya kamu berpikir sebelum kamu putuskan untuk mendekati seorang gadis saat kamu sendiri sudah memiliki seorang kekasih. karna pada akhirnya kamu akan buat gadis itu terikat sedang kamu dan gadis itu sendiri tau bahwa tak akan ada hubungan yang bisa dipertahankan, bila memang hubungan itu ada." kata2 itu yang selalu ku jadikan pukulan buat mu, untuk menghakimi mu meskipun kalimat itu tak pernah tersampaikan padamu. aku selalu diam. selalu terima keadaan dan membiarkan semua terjadi begitu saja. aku terlalu sabar...

kau coba menghubungiku malam itu, menelpon berulang kali dan mengirim pesan belasan kali. hanya untuk memastikan aku baik2 saja sepeninggalmu. tapi itu semua tak ku hiraukan, sudah kubilang, aku butuh waktu untuk berfikir.

malam itu ku habiskan untuk mengeluarkan isi kepala dan hati, kucampur aduk dan entah mau ku apakan lagi. aku sudah terlanjur memakai perasaan pada hubungan kita, terlanjur memakai terlalu banyak perasaan yang ternyata tak mengubah apapun juga. kau tetap memilih dia. dia yang pertama mengisi hatimu. dia yang lebih dulu merenggut jiwa mu. bukan aku.

dan akhirnya aku dapatkan jawaban yg kucari, sudah mantap dan tak mau ku ganti lagi. kini hanya tinggal mengumpulkan keberanian untuk mengatakan jawabanku itu. mengumpulkan keberanian untuk sekedar mengangkat telepon dari mu dan mengatakan apa mauku. mengumpulkan keberanian untuk 'bicara' pertama kalinya, setelah sekian lama.

ponsel ku berbunyi lagi, kau masih jadi orang yg berdiri diujung sana yang menunggu kemunculan suaraku. aku tak peduli lagi, aku harus berani. ku ambil ponsel itu dan mengangkatnya, untuk beberapa detik tak ada suara. kau diam, aku juga.
lalu kau lontarkan kalimat pertama dan terakhirmu disana,
hanya ada 2 kalimat dalam percakapan kita.

"keputusanmu?"

"berakhir..."

semua kembali hening. kau diam, aku juga.

hujan dan perasaan

hujan tak selalu membawa duka,
hujan membuatku percaya, tentang arti cinta yang sebenarnya.

"apa kau yakin?" sapa mu seraya mendatangi ku.
"tentang?"
"tentang penjelasan mengapa kau rela berdiri di tengah hujan untuk sekedar menunggunya melihat keluar jendela!"
"kau tak mengerti, aku mencintainya dan satu2nya cara untuk membuktikannya adalah dengan melakukan ini."
"tapi ini bukan sinetron! tak ada acara hujan2an yg bisa membuat org yg kau cinta membalas cinta mu!"

aku terdiam, mataku sayu dan hujan menyembunyikan tangisanku.
menyembunyikan tangisanku dari semua orang, kecuali kamu.

"aku tak bawa tisu untuk hal itu, kalau pun aku bawa, pasti hujan terlebih dulu menghancurkannya..."
aku tetap diam, berdiri membelakangi mu.
"dengar.. aku tau kata2ku tadi melampaui batas. aku hanya tak mau kau korbankan dirimu untuk seseorang yang tak tau diri itu.."
"tapi seseorang yg tak tau diri itu adalah seseorang yang aku cinta!" jawabku sedikit berteriak.

kini kamu yang kehabisan kata, diam, menahan emosi dan berusaha mengurungkan niat untuk mendekap seseorang didepanmu ini.
tak banyak bicara, kau lepaskan jaketmu yang setengah basah itu lalu kau kalungkan di bahuku. "ini akan sedikit menghangatkanmu.."

"lalu, sampai kapan kau akan berdiri disini?"
"sampai ia membuka tirai dan melihat keluar jendela..."
"bagaimana kalau itu tak pernah terjadi?"
"ia mencintaiku, pasti itu terjadi"
"setengah jam sudah kau menunggu, hujan bisa membuatmu mati kedinginan"
"setidaknya itu membuktikan bahwa aku rela mati untuknya..."
"tapi aku tak rela bila kau mati karna dia, kau lebih berharga dari itu"

aku tak bicara, diam menatap jendela kamar yg sedari tadi ku harap akan terbuka.

"apa kau yakin ia masih mencintaimu? maksudku, acara menentang hujan ini harus punya alibi yang kuat.."
aku tetap diam... memutar pikiran.
mulai ketakutan atas pertanyaan mu itu.
"mungkin kau harus berhenti mengharapkannya, dan melihat betapa banyak orang2 yang tulus mencintaimu dan tdk memaksamu untuk hujan2an seperti ini"

kali ini hujan tak sanggup lagi menyembunyikan tangisanku,
semua orang tau, apalagi kamu.

aku mulai berpikir bahwa tirai itu memang tak akan terbuka, sama seperti hatinya yang sudah terkunci rapat untuk seseorang seperti ku.
dan aku sadar cinta seseorang yang rela hujan2an menemani ku ini lebih besar dari semua cinta yang pernah aku berikan untuk orang tak tau diri yang menunggu dibalik tirai jendela itu. aku sadar butuh alibi yang kuat untuk memutuskan akan habiskan waktu menemani seseorang di tengah hujan yang sedang menanti laki-laki lain melihat keluar dari jendela kamar. aku sadar ketulusan hatimu itu diluar batas logika, lebih gila dari pada acara hujan2an yang ku buat tanpa alasan yg jelas ini, lebih gila dari pada keputusanku yang masih akan mengharapkannya sementara aku memiliki mu disetiap hembusan nafasku.



"jaketmu mulai membuat kulit ku beku. aku ingin coklat panas, kau mau?"

Sabtu, 10 Desember 2011

salju di matamu

mataku terpaku pada butiran salju yang tak henti mendera.
dari balik jendela, aku hayati semua.

semua,
termasuk kau dan tatapanmu, kau dan tatapan sedingin salju mu itu.
salju memperkuat kesan dingin dimatamu, kesan kosong dalam tatapanmu.
tatapan yang kau tujukan khusus buatku.

tatapanmu buatku beku dan membatu, terkubur dalam timbunan sajlu bersama kenangan tentang tatapan penuh harapan yang terakhir kali kudapatkan darimu musim lalu.
aku rindu tatapan itu, dan aku benci tatapan sedingin salju mu.

kristal bening mulai jatuh membasahi pipiku, ku hapus dan ku sembunyikan dari mu yang kini telah duduk di hadapanku. aku tersenyum, berusaha mengubur pertanyaan yang semusim ini selalu menghantuiku. "kemana perginya kau yang dulu?"

kau tetap diam membisu di sudut itu, mungkin salju telah membuat lidahmu kelu.
atau,
keberadaanku yang membuatmu membatu seperti itu.

seketika ingatan tentang mu terputar kembali di kepalaku.
seperti menyaksikan sebuah moment masa lalu yang dibintangi oleh kau dan aku.
kristal bening seraya kembali membasahi pipiku, menelan kenyataan tentang apa yang telah berubah antara kau dan aku, menelan kenyataan tentang ketidakjelasan sebab perubahanmu itu.

dan salju masih tetap membekukan lidahmu.

ku palingkan wajahku untuk waktu yang cukup lama, untuk menghayati lalu melepas semua memory masa lalu itu. dan kau tetap diam, membeku bersama tatapan salju mu.

ingin saja aku ucapkan,
ingin saja aku tanyakan,
tentang alasanmu yang mendadak berubah kala musim itu,
karna aku tak suka.
aku rindu tatapan kasih mu yang dulu kau tujukan khusus buat ku.
aku rindu senyum manis mu yang dulu tak henti kau pertahankan kala bersamaku.
aku rindu setiap jengkal perhatian mu yang hanya kau tunjukan pada ku musim lalu.
aku rindu semua canda mu yang selalu ada untuk menghapus sedihku.

aku rindu semua hal itu, semua hal yang telah membuat ku terlalu banyak berharap.
semua hal yang telah membuatku melakukan sebuah penantian.
dan terlalu melibatkan perasaan tanpa berpikir resiko apa yang akan ku dapatkan.

sekarang kau tak lagi ada dihadapanku, kau telah kembali menghilang dibalik hujan salju di luar ruangan itu. datang dan pergi tanpa sedikitpun ucapan yang tertuju khusus buatku.
kau biarkan salju itu benar2 membekukan lidahmu, juga hati mu.

"besok, akan ku akhiri semua.
dan dimataku, kau akan kembali pada sosok awal mu,
sosok seorang teman, yang tak lebih dari sekedar teman.
besok, adalah batas penantian."

musim lalu... kata2 itu mulai terangkai di benak ku,
ketika hati kecilmu berubah menjadi penuh amarah.
ketika kau mulai kehilangan senyuman yang slama ini aku idamkan.
ketika bintang2 dimatamu memudar dan hanya menyisakan hitamnya malam.

dan detik ini, butiran salju itu mulai menyakan kepastian,
tentang kapan aku akan mengakhiri penantian,

namun jawabanku masih sama seperti musim lalu...

besok.
besok, akan ku akhiri semua penantian sia2 ini.