Senin, 09 November 2015

Salam dari Semacam Kedai Kopi

Sementara saya mengetik tulisan ini, seorang pemuda bertopi dan bercelemek tengah mengangkat nampan-nampan kosong sambil mengepel lantai. Ia terlihat begitu giat bekerja ketika temannya yang juga bertopi dan bercelemek tertidur di salah satu kursi pelanggan. Pencahayaan ruangan yang tadi terasa sangat kuning sekarang makin terihat pudar dibarengi langit yang semakin berubah biru terang. Gelas-gelas kosong dan sisa camilan berantakan diantara komputer-komputer jinjing kami. Iya. Saya tidak sendiri. Di depan saya duduk seorang teman yang sama-sama fokus pada layar masing-masing, mengerjakan hal-hal yang seharusnya dikerjakan sejak berhari-hari yang lalu. Ini adalah pengalaman baru, jujur saja. Bukan berarti saya (dan teman saya ini) selalu tepat waktu dalam mengerjakan tugas, tapi ini adalah kali pertama kami tidak melakukannya di kamar kosan masing-masing, mendekam sendiri, dengan resiko ketiduran. Disini, gerung mobil-mobil besar dan lampu-lampunya tidak akan membiarkan mata kami terkatup, biar hanya 4-5 detik saja.


sementara sosok ber-sweater rajutan di depan saya ini terus dan terus mengetik, konsentrasi saya terbagi antara menulis, membaca, memotret dan mendengar gas-gas motor dua tak yang tidak pernah berhenti berkumandang. Lalu tanpa saya sadari langit sudah berubah warna, 


dan rak-rak kosong sudah terisi lagi dengan donat-donat kecil.


selamat pagi,
dari jari-jari dingin yang dihangatkan radiasi komputer jinjing,
N

Senin, 02 November 2015

Surat Kedua

Selamat malam,

Aku ingin sekali menanyakanmu sesuatu.
Tapi tunggu dulu sebentar, aku masih sibuk menimang-nimang manakah yang lebih mengenaskan jikalau aku dan kamu harus dibandingkan. Kita baik-baik saja sampai jarak menyusup di antara kita berdua, membuat celah kosong yang tanpa sadar kamu isi dengan masa lalu dan obsesi. Kita baik-baik saja. Sampai saat itu.

Aku bukan seorang yang ahli dalam menilai dan memahani. Tuhan tahu bahwa kamu tahu itu. Tahu benar. Tapi yang bisa aku mengerti saat ini, tidak ada satupun dari kita yang baik-baik saja. Kamu kembali pada batang-batang tembakau, sementara aku... kamu tahu. Tempo hari rasanya hatiku hancur benar, menyadari kamu sudah kembali pada bentuk semulamu, seakan aku dan hari-hariku dulu itu tidak ada artinya, secuil pun tidak ada. Aku tahu, yakin, bahwa kamu lebih baik dari itu. Seyakin kamu bahwa aku lebih baik dari ini. Jauh lebih baik dari ini.

Tapi tidak ada gunanya. Tidakkah kamu mengerti? Aku mengerti, Dul. Tidak ada cukup ruang untuk menerima aku yang seperti ini di hati lapangmu itu. Sungguh hatimu sudah lapang, benar, hanya aku saja yang terlalu terburai tak karuan.

Andai aku bisa, lagi, duduk di sampingmu. Saling tukar suara tanpa harus menatap mata. Aku masih belum bisa berbicara dengan sopan, kamu percaya? Nanti, ketika aku sudah bisa dan terbiasa, akan ku kabari kamu. Akan ku buat janji temu, dimana aku bisa berbicara padamu dengan tatap mata yang bertabrakan sempurna. Nanti aku pasti bisa.

Tapi, ngomong-ngomong...
Aku ingin sekali menanyakanmu sesuatu.
Saat ini. Bukan nanti-nanti.
Apa kabar?
Berusaha keras untuk melupakan,
N

Minggu, 01 November 2015

Yang Untukmu Itu

Biar aku tanyakan dulu, Resah
Tentang sebait nama
Yang menggantung-gantung
Di hadapan bola mata
Yang dikatupkan kala petang

Biar aku rasakan dulu, Sayang
Tentang kasih terhadap raga
Yang kadang aku tangkap
Bayangannya cantik mengangkasa
Yang nanti membumi juga

Barubereum, Kaki Gunung Manglayang, 25 Oktober 2015
Biar aku bisikan dulu, Cinta
Padamu sehalus cahaya matahari dan kabut
Yang menyelinap masuk
Diantara daun-daun kecil
Yang akan gugur tertiup angin

Begitu
Seterusnya.


Atas nama aku dan rumput-rumput kering,
N