Minggu, 28 Desember 2014

"Feel nothing", katanya.

Baru-baru saya sadar ini adalah malam minggu terakhir di tahun 2014. Dan saya habiskan malam minggu terakhir ini di kamar kosan, dengan bantal, pempek kapal selam pinggir jalan, sebotol teh gelas, dan laptop kesayangan. Saya memutar film 500 Days of Summer yang baru saya dapat beberapa hari  lalu. Ceritanya lumayan klise, saya dengar beberapa orang memuja film tersebut, saya kurang mengerti kenapa. Terlepas dari jalan ceritanya yang klise, saya suka bagaimana si narrator hadir, terutama di awal cerita. Saya suka kalimat pertama yang ia gunakan untuk memperkenalkan si tokoh perempuan;

"Since the disintegration of her parents marriage, she'd only loved two things. The first was her long dark hair, the second was how easily she could cut it off and feel nothing." 

Entah kenapa rasanya saya langsung terhubung dengan karakter si perempuan. Seakan saya rela berdiri membelanya tidak peduli seberapa besar kesalahan yang ia buat, tidak peduli seberapa menyakitkan ia untuk si karakter laki-laki, seandainya saja saya hidup dalam dunianya. Saya merasa si karakter perempuan, yang bahkan saya tidak bisa ingat namanya, mencari sesuatu yang hilang, yang saya juga tidak tahu apa. Tapi saya pikir hal itu bisa jadi sebuah rumah, bukan rumah harfiah dengan pagar dan pondasi, tapi sesuatu yang lebih abstrak mungkin sehalus udara atau senyuman. Dan bicara soal rumah, lusa saya pulang.

Saya mulai berpikir apa yang sudah hilang dari saya, tidak ada satupun klu tentang itu. Saat ini saya juga tidak tau pasti definisi rumah menurut saya sendiri, tapi yang saya tau pasti, saya rindu es teh tarik kedai Sabindo yang hampir tiap malam saya cicipi bersama papa, saya rindu kursi ruang keluarga yang mulai menipis sampai rangka kayunya agak terasa, saya rindu bagaimana sesekali saya menyiram tanaman yang jelas-jelas sudah mati di halaman, saya rindu ketika minggu pagi kadang saya dan papa membeli kue sus di satu rumah yang ternyata milik guru agama SMA saya, saya rindu ketika biasanya kami akan mampir membeli kebab Turki sekedar untuk camilan malam, saya rindu tekanan air shower kamar mandi yang paling pas di jam 7 pagi, atau jam 9 malam, saya rindu lantai keramiknya yang pecah dan sesekali membuat saya tersandung, saya rindu melihat boneka-boneka tua saya di bupet kaca hitam, saya rindu menekan tombol-tombol ajaib di mesin cuci, saya rindu keluar untuk membuka atau menutup katub tandon, saya rindu tidur santai di kasur angin depan televisi, saya rindu ditinggal sendiri di rumah dan berpikir sudah jadi apakah saya beberapa waktu terakhir, dan bahkan, saya rindu bau menyengat sampah yang turun saat malam dari bukit sebelah.   

Saya merasa agak beruntung karena setidaknya saya masih bisa merasakan hal-hal tadi, saya kira saya sudah mati seperti Summer, saya baru ingat namanya yang bahkan digunakan di judul film. Tapi bagaimanapun, saya mengerti rasanya seperti apa, saya merasakan banyak hal yang orang lain tidak. Saya tau ini terdengar teramat sangat cengeng, tapi yasudahlah. Mungkin saya juga sudah lelah berpura-pura kuat. 

Ini sudah hari minggu rupanya. Hari minggu terakhir di tahun 2014.
Besok saya pulang.

Jumat, 26 Desember 2014

Nahkoda, Jangkar dan Dermaga

             Pernah aku membaca kisah tentang kutukan Narcissus yang mati akibat jatuh cinta pada diri sendiri, dulu sekali. Menemukan refleksi diri pada permukaan kolam, berusaha menggapai apa yang dicinta namun berakhir tenggelam. Genangan kopi dalam cangkirmu mengingatkanku akan kisah itu, dan menghabiskan waktu pagi bersamamu disini membuat aku berpikir ulang; Narcissus mungkin saja memang salah karena jatuh cinta pada sosok yang tidak lain adalah dirinya sendiri, namun andai kata ada seseorang yang jatuh cinta, bukan pada dirinya sendiri tapi bukan juga pada orang lain yang pantasnya ia cintai.
Apakah seseorang itu patut disalahkan atas jatuh cinta ke orang yang salah?
Aku memutar otak untuk sekedar mencari tahu apa sajakah jawaban-jawaban yang mungkin masuk di akal, dan jujur saja rasanya begitu tidak menyenangkan. Aku lebih memilih bernasib sial seperti Narcissus ketimbang membakar pikiran dengan pertanyaan tadi, aku akan lebih memilih tenggelam dalam kopimu yang menggenang sampai mati.
Kamu bertanggung jawab atas penderitaan kecilku ini. Atas mengapa kamu mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh sepeninggal laki-laki yang kamu temui pagi ini, laki-laki yang dengan segala kemisteriusannya menyapamu dari kejauhan, mendatangimu sampai ke meja dan berbicara denganmu hampir setengah jam lamanya.
Diantara potongan-potongan pai kecil kesukaanku dan secangkir kopi hangat favoritmu, pertanyaan-pertanyaan itu mulai menguak ke permukaan. Dimana kata-kata nahkoda, jangkar dan dermaga terdengar berulang-ulang, sampai kuping ini bosan rasanya mendengar. Pertanyaan-pertanyaan mu sungguh menyita perhatian, aku bisa saja berkhayal bahwa tempat ini adalah dermaga yang penuh dengan kapal-kapal, sehingga pertanyaan-pertanyaanmu terdengar sedikit lebih masuk akal. Tapi tidak, aku tidak bisa. Dermaga tidak punya meja cantik seperti ini. Dermaga tidak punya ornament dinding yang penuh ukiran-ukiran kecil. Dermaga tidak punya lampu hias, tidak punya gelas-gelas, dan pastinya tidak menyajikan menu sarapan pas. Ini adalah sebuah kedai pai kecil, yang letaknya hampir di tengah kota dan termakan gedung-gedung pencakar langit kokoh dengan segala kemoderenannya, jauh dari besi-besi karatan tempat kapal biasa bersandar. Tempat dimana pertanyaan-pertanyaanmu itu jelas mengusik perhatian.
Kamu tahu apa yang dilakukan kapal saat berlabuh di dermaga?
Itu pertanyaan pertamamu. Seandainya saja kamu sadar betapa konyolnya pertanyaan itu terdengar. Selain karena kalimat itu tidak wajar ditanyakan di tengah-tengah sarapan, siapa yang peduli dengan kapal yang berlabuh? Kecuali mereka orang-orang yang punya kepentingan dengan berlabuhnya kapal. Tapi aku bukan seorang turis penumpang, aku bukan seorang kuli angkat barang, dan pastinya aku bukan anak buah kapal. Aku tidak punya sedikitpun alasan untuk menerima pertanyaan konyolmu itu. Namun dengan segala hormat yang tersisa, aku memutuskan untuk menjawabmu. “Menurunkan jangkar”. Jawaban yang sangat singkat apabila dibandingkan dengan untaian kata yang berputar di kepalaku. Untaian kata yang lebih mirip roll film super panjang yang terus berputar, membosankan sekaligus memancing penasaran.
Lucu bagaimana rasa penasaranku mulai bertanya-tanya siapakah laki-laki yang berbicara padamu tadi. Karena intuisi yang aku punya mulai berkata bahwa dia lah seseorang yang patut aku salahkan atas penderitaan kecilku ini. Mungkin terlalu berlebihan bila kukatakan kamu tidak lagi ada disini. Bahwa laki-laki tadi sudah pergi membawa tiga per empat dirimu dan hanya menyisakan satu per empat untuk duduk disini bersamaku, meminum secangkir kopi sambil bertanya tentang hal-hal yang nampaknya tidak butuh jawaban sama sekali.
Pikiran tentang siapa laki-laki itu terus mengganggu pikiranku. Terbayang lagi badan tingginya, kemeja birunya, aroma musk semerbaknya, dan tangannya yang mendarat di bahu kursimu. Aku sadar aku merasa bersyukur karena meja ini memang didesain khusus untuk dua orang. Sehingga memaksa ia tetap berdiri disana selama ia berbicara denganmu. Tidak ikut duduk disini bersamamu, ikut duduk di sini bersamaku.
Rasanya percuma aku ingat-ingat lagi detail pembicaraan kalian, tidak ada satupun yang aku mengerti karena nampaknya itu hanya membicarakan tentang hal terjadi jauh di masa lalu, sedang aku baru mengenalmu tidak lebih dari 4 tahun kebelakang. Satu-satunya yang bisa aku tangkap dari setengah jam pembicaraan kalian hanyalah bau kecanggungan, semerbak memenuhi ruangan seperti membuka rice cooker berisi nasi basi tiga hari. Kecanggungan yang terlalu kental membuat aku percaya, mungkin saja ia seseorang yang dulu pernah membawakanmu bunga, membelikanmu cincin, atau mengundangmu makan malam bersama ayah-bundanya.
Kamu tahu apa guna jangkar itu?
Lanjutan tanyamu. Yang membuat aku yakin kamu tidak puas atas jawaban terakhirku meski kamu tersenyum manis untuk itu. Kamu tidak akan mengerti perasaanku hari ini, Tuhan punya rencana yang terlalu aneh karena membuat aksiku menelponmu pagi buta mengajak sarapan bersama berujung dengan kelas khursus dasar perkapalan yang malah sedikit berbau filosofis di setiap katanya. Jelas kubilang filosofis, karena dari caramu berkata aku tidak yakin maksudmu sama.
Aku sengaja membuat jeda dalam pembicaraan ini. Melirik kanan-kiri mencari keberadaan pelayan kedai lalu memanggilnya untuk sebuah pesanan ekstra. Secangkir kopi hangat, persis seperti apa yang tengah kamu nikmati saat ini. Nafasku mendadak berat, berharap kamu tangkap pesan yang sangat ingin aku sampaikan; kopi membantuku lepas dari ketegangan.   
Suaramu mulai terdengar lagi setelah pelayan kedai pergi, tidak terkesan kesal meski aku baru saja mengabaikan pertanyaan konyolmu tentang jangkar tadi. Bukankah semua orang harusnya tahu jangkar berfungsi sebagai pemberat? Supaya kapal tetap diam pada tempatnya. Aku mulai berpikir bahwa kamu tengah mempermainkanku, menganggapku tidak cukup berpengetahuan untuk mengerti akan hal semacam itu. Dan akhirnya, aku yang tetap diam penuh kesengajaan membuatmu berusaha menjawab pertanyaanmu sendiri—yang membuatmu terlihat bahkan lebih konyol lagi.
 Ketika sebuah kapal memutuskan untuk berlabuh. Ia akan menjatuhkan jangkar. Jangkar membuat kapal tetap berada di tempatnya. Bisa dibilang, jangkar adalah penahan dan pengikat. Aku pikir seorang nahkoda tidak akan sembarangan menjatuhkan jangkar. Ia tahu betul kenapa dan kapan jangkar itu harus diturunkan.
Begitu kira-kira jelasmu, aku tidak hafal betul tiap katanya karena kalimatmu yang patah-patah. Meskipun kamu dengan mantap mengatakannya, aku cukup bisa melihat apa yang ada di balik itu semua; gadis gagap yang tengah berusaha mendeskripsikan fakta bahwa alien itu nyata. Begitu kira-kira.
Aku memutuskan untuk mengikuti permainan kecilmu, karena aku tahu tidak ikut andil di dalamnya hanya akan memperburuk keadaan. Aku bertanya bagaimana jadinya bila kapal harus pergi. Tidak peduli betapa bodohnya pertanyaan itu terdengar, kamu malah tersenyum dan mulai menjawabnya dengan penuh antusias.
Jangkar akan ditarik kembali. Tapi jangkar itu bukan benda yang terbuat dari gabus kardus teve, dan tidak bisa ditarik secepat kamu membalikan telapak tangan apalagi mengedipkan mata. Butuh waktu.
Suaramu jelas terdengar lebih yakin kali ini. Berbeda dengan sebelumnya yang terdengar begitu tidak benar dan mencurigakan. Jadi kuputuskan untuk lanjut bertanya, pertanyaan yang tak kalah bodohnya; bila kapalnya tidak punya cukup waktu, bagaimana?
Aku sedikit terkejut dengan tanggapanmu atas pertanyaan itu. Bukan masalah apa yang kamu ucapkan, melainkan bagaimana caramu mengucapkannya. Emosi dalam penyampaianmu, benar-benar di angka nol. Nol berarti tanpa emosi, dan tanpa emosi membuatmu terdengar seperti orang yang tidak mau hidup tapi tidak bisa mati. Begitu menyeramkan sekaligus menggiurkan di waktu yang sama. Seandainya aku bisa merekam momen itu, dimana kamu berkata dengan penuh kekosongan rasa;
Nahkoda akan melepas jangkarnya. Begitu saja. Ditinggalkan.
Aku terdiam beberapa saat. Sementara kamu meneguk lagi kopimu yang sudah tidak terlalu hangat. Bagaimana kamu mendadak berubah dingin, seperti es krim dalam kulkas di sudut ruangan, yang sudah membeku entah untuk waktu berapa lama. Kopi hangat tidak bisa mencairkanmu, sama halnya seperti aku yang juga terpaku di sini, tidak bisa berkata apalagi berbuat sesuatu, untuk menghangatkan beku-mu.
Sementara kamu menyeruput lagi cangkir kopimu, aku mengutuk siapapun itu laki-laki yang sudah membawa tiga per empat jiwamu pergi, dan membuat satu per empat sisanya beku seperti es batu disini. Melihatmu yang sudah mirip manusia purba dalam bongkahan es, bawah sadarku terpacu untuk meraih jemarimu di sudut lain meja. Secepat itu pula kamu tiba-tiba tersedak parah dan menarik tanganmu untuk segera ditempatkan tepat membekap mulut. Jelas kedinginan akut.
Siapapun laki-laki itu, tidak diragukan lagi, ia bertanggung jawab atas semua ini. Atas menculik tiga per empat jiwamu ketika aku butuh sepenuhnya untuk merayakan sebuah hari bahagia.
Selamat Ulang Tahun, Meira.
Tidakkah kamu ingat itu? Bukankah aku sudah menandai kalendermu? Bagaimana bisa kamu tidak ingat tentang hari ini, hari dimana tepat 24 tahun lalu kamu mulai bernafas dari hidungmu sendiri, dimana kamu menangis untuk yang pertama kali, dan dimana kamu juga melupakan semua hal yang sudah pernah kamu tanda tangani.
Ya, aku pernah membaca sebuah buku dulu sekali, jauh sebelum aku membaca tentang Narcissus kita yang patut dikasihani. Buku itu membuat  aku percaya bahwa sebelum roh dihembuskan ke sebuah janin di perut seorang ibu, roh itu sudah menandatangani sebuah kontrak hidup. Dimana semua sudah tertulis dan tidak bisa diganggu-gugat lagi. Namun ketika bayi yang sudah di-roh-i itu terlahir ke dunia, ia lupa. Ia lupa tentang semua poin kontrak yang sudah ia baca dan ia tanda tangani itu. Sehingga ketika ia tumbuh dan beranjak dewasa, ia akan sering mengartikan suatu hal sebagai sebuah kebetulan. Padahal kebetulan yang ia maksud sudah pernah ia baca dan setujui sebelumnya, lama sebelum ia mengenal a b c d itu apa. Tapi tentu saja, ia lupa.
Kamu lupa hari ini, Meira. Tapi aku yakin kamu tidak melupakan laki-laki tadi. Kamu tidak melupakan hari dimana mungkin saja ia membawakanmu bunga, membelikanmu cincin, atau mengundangmu makan malam bersama ayah-bundanya. Tidak seperti aku yang lupa, bahwa dulu aku sudah menandatangani kontrak dimana aku harus bertanya-tanya, siapakah laki-laki itu dan mengapa bisa ia merenggut kamu yang aku tahu.
Aku tahu benar kamu memang masih disini, masih berusaha menghabiskan secangkir kopi yang pasti mulai terasa pahit berlebihan dan tidak karuan, sepahit pembicaraan kita pagi ini, sepahit bola mata yang lebih sering kamu pejamkan sejak bertemu laki-laki tadi. Tapi aku juga tahu bahwa tiga per empat jiwa mu itu masih mengambang tinggi, dan jelas bukan di langit-langit kedai ini. Meski aku bisa melihatmu tepat di hadapanku, meski kenyataannya tubuh kita hanya berjarak hitungan jengkal. Entah kenapa rasanya sulit sekali kamu untuk ditemui.
Seakan aku berada di kejauhan, mengamatimu dari ketinggian mercusuar. Kamu nampak dibalut gaun selutut, berdiri di tepi dermaga dengan topi yang berusaha kamu jaga dari hembusan angin laut. Menunggu, ataukah mengantar sesuatu, aku tidak tahu. Kamu hanya berdiri diam disana. Tanpa tas atau barang bawaan, sehingga aku tahu pergi bukanlah niatanmu. Mungkin kamu menunggu seseorang kembali pulang, menunggu berlabuhnya kapal.
Sementara kamu berdiri diam disana, aku berpikir tidakkah lucu bagaimana aku bisa duduk disini, bersamamu, dengan lutut kita yang nyaris bersentuhan, mendengarkan pertanyaan dan jawaban tentang nahkoda, jangkar juga dermaga. Aku tidak akan menutup mata dan berkata bahwa kejadian hari ini adalah sebuah kebetulan. Aku hanya lupa, Meira. Aku lupa pernah menandatangani ini semua. Untuk duduk disini bersamamu, menghabiskan sepotong pai dan secangkir kopi, mendapatimu hadir tanpa jiwa yang lengkap karena seorang laki-laki telah merenggutnya pergi.
Tidak ada yang namanya ‘kebetulan’, Meira. Kita hanya lupa. Semua terjadi dengan tujuan. Semua. Entah itu mengapa nyamuk diciptakan, ataupun mengapa aku bisa duduk di sini bersamamu menghabiskan sepotong pai dan secangkir kopi, mengapa kamu bisa bertemu seorang laki-laki yang seharusnya sudah jadi fosil dalam ruang terkunci sudut hati, mengapa ia bisa muncul lagi di hadapanmu pagi ini. Kamu yang tengah duduk di hadapanku, di sini, bersamaku. Bukankah itu lucu?
Aku mengerti, bahwa kamu tidak akan mengerti letak kelucuannya. Karena bahkan kamu tidak ada disini. tiga per empat jiwamu itu masih berdiri di sana, di tepi dermaga dengan gaun biru muda dan topi yang masih berusaha kamu jaga. Apa yang kamu lakukan disana? Siapakah yang kamu tunggu, Meira?
Lalu aku putuskan untuk memecah keheningan sejak suara terakhirmu, yang tidak berperasaan itu. Aku bertanya tentang kemungkinan kecil yang terdengar sedikit tidak mungkin. Tentang kesalahan yang bisa saja dilakukan seorang nahkoda biarpun sangat kecil kemungkinannya. Bukankah nahkoda juga manusia, Meira? Bagaimana kalau ia keliru? Bagaimana kalau ia berlabuh di dermaga yang salah?
Lagi, aku terpana. Bukan masalah apa yang kamu ucapkan, bukan juga bagaimana caramu mengucapkannya. Kamu bahkan tidak—belum—berkata apa-apa. Kamu hanya diam, dengan sorot mata yang penuh akan rasa. Berbanding terbalik dengan jawaban terakhirmu sebelumnya. Sarat akan rasa membuatmu jauh lebih menyeramkan ketimbang tanpa rasa sama sekali, ternyata. Bagaimana tidak? Sorot mata itu jelas merefleksikan amarah hendak membunuh orang, kasih sayang tulus serta kepolosan, dan seorang gadis kecil yang meringkuk menangis ketakutan. Sekaligus, dalam satu waktu yang bersamaan.
Apa kamu bisa menyalahkan diri mu atas jatuh cinta ke orang yang salah?
Itu bahkan bukan sebuah jawaban, Meira. Itu pertanyaan. Dan itulah pertanyaan yang membuat aku merasa lebih baik bertukar nasib dengan Narcissus saja. Mengapa kamu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan seperti itu? Bukankah kita tengah bicara tentang nahkoda, jangkar dan dermaga?
Kenapa matamu mulai berair, Meira? Aku yakin kamu tidak sedang kelilipan, dan cukup yakin tidak ada yang sedang memotong bawang. Kamu menangis, Meira. Kristal bening berjatuhan dari kelopak matamu. Kenapa? Kenapa aku hanya diam, Meira? Aku tidak tahu harus berbuat apa. Kamu menangis, Meira. Jangan buat aku menangis juga.
Aku benci bagaimana rasa panik membuatku lari kesana kemari dalam pikiran. Sementara di kehidupan nyata aku hanya duduk diam tanpa tahu harus berbuat apa. Aku merasa seperti pengecut, Meira. Aku tidak berani menenangkanmu yang makin mengisak di tengah-tengah kedai pai yang ramai.
Tapi tangisanmu membuat aku mengerti, Meira. Butiran kristal bening itu membuatku akhirnya mengerti. Bukankah itu hebat? Aku menemukan benang yang menghubungkan ini semua; nahkoda, jangkar, dermaga, dan orang misterius yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Meskipun setiap partikel dalam tubuhku menolak untuk percaya, tapi aku tahu.
Kamu sudah jatuh cinta, Meira. Kamu masih jatuh cinta.
Aku benci mendapati kenyataan bahwa sesorang yang mungkin saja pernah membawakanmu bunga, membelikanmu cincin, atau mengundangmu makan malam bersama ayah-bundanya itu sudah membujukmu untuk menjatuhkan hati, menjatuhkan diri ke kolam dalam dimana kamu kamu tahu kamu tidak bisa berenang. Bukankah kamu bisa mati tenggelam, Meira? Tapi tidak apa, aku yakin kamu sudah menyetujui itu semua. Kamu sudah menandatangani semua poin kontrak hidupmu. Termasuk untuk jatuh cinta, sepaket dengan segala sakit hatinya.
Aku tidak lagi bertanya-tanya siapakah dia. Tangisanmu menjelaskan itu semua. Dia pastilah seseorang yang hebat hingga bisa membuat kamu yang kuat menjadi terisak kehabisan nafas, aku percaya dia juga yang mengenalkanmu pada semua omong kosong ini, tentang nahkoda, jangkar, dan dermaga. Persis seperti apa yang baru saja kamu lakukan padaku pagi ini. Apakah itu kebetulan, Meira? Aku tidak tahu, tapi bila memang itu sebuah kebetulan, maka itu adalah kebetulan yang manis sekali.
Memang seperti itu cinta, Meira. Manis. Dan pastinya kamu tahu manis berlebihan akan membunuhmu perlahan-lahan. Apakah sekarang kamu juga berpikir lebih baik terkutuk layaknya Narcissus?
Echo, tahukah kamu tentang gadis itu? Mungkin ia adalah kamu, mungkin ia juga rasakan apa yang kini kamu rasa. Ia adalah gadis yang malang karena jatuh cinta pada Narcissus, Meira. Ia biarkan dirinya terperangkap dalam rasa yang ia ciptakan sendiri, begitu lama hingga yang tersisa dari dirinya hanyalah bisikan-bisikan yang kadang terdengar orang. Dewi Nemesis menghukum Narcissus atas hal itu, atas mengabaikan cinta Echo yang tulus sekian lamanya.
Aku rasa memang seperti itulah cinta, Meira. Penuh pengabaian dan karma. Tapi tetap saja, sekarang aku percaya, Echo tidak bisa disalahkan atas jatuh cinta pada Narcissus, Narcissus tidak dapat disalahkan atas jatuh cinta pada dirinya sendiri. Kamu, Meira, tidak bisa menyalahkan dirimu sendiri atas jatuh cinta pada laki-laki itu. Bukankah nahkoda tidak pernah keliru? Bukankah nahkoda tidak akan sembarangan menjatuhkan jangkar? Ia tahu betul kenapa dan kapan jangkar itu harus diturunkan.
“Selamat Ulang Tahun, Meira.” Kali ini kuucapkan bukan hanya dalam hati saja. Aku tidak khawatir lagi akan tiga per empat jiwamu yang pergi; aku akan menjemputnya sendiri.
Percayakah kamu? Aku akan mendatangimu kesana, Meira, menemanimu yang tengah sendiri memegangi topi di sisi dermaga. Aku akan turun dari mercusuar tempatku mengamatimu, tempatku menunggu kamu menarik balik jangkar yang telah kamu jatuhkan entah untuk waktu berapa lama itu.
Aku akan mendatangimu, Meira, dengan kotak kecil berpita biru yang kusembunyikan di balik saku jas-ku. Tepat setelah kamu lupa semua tentang nahkoda, jangkar dan dermaga. Aku akan berdiri di belakangmu, mengeluarkan kotak berpita biruku sambil meminta kamu sejenak pejamkan mata. Aku akan berbisik pelan dari belakang helai rambutmu, membawakanmu kabar bahwa kapalnya sudah bersandar, sambil mengalungkanmu sebuah liontin jangkar.
Aku adalah nahkoda, Meira. Nahkoda tidak pernah salah.
Kapalku berlabuh sudah.


Untuk semua dermaga,
 yang masih menunggu kapalnya


2/08/14

Minggu, 21 Desember 2014

Kamu; seperti itu.

Pilihan musikmu membuat saya tergiur untuk mengenal genre apapun itu yang kamu dengarkan. Diam-diam sepulang pertemuan kita, saya mendownload beberapa. Tersenyum kecil tiap kali saya tiba-tiba terbayang, di suatu waktu, yang saya tidak tahu akan atau bahkan pernah kejadian, alunan musik dengan suara vokal yang sama mengalir masuk ke telinga kita. Bukankah itu cukup romantis untuk dua orang yang hanya sekedar tukar-menukar nama?

Mungkin untuk kamu, saya cuma satu nama, yang banyak kamu temui di mana-mana. Mungkin di bangku sebelahmu, di persimpangan dekat kamu tinggal, atau malah sekedar di film yang kamu tonton beberapa hari silam. Tapi agaknya saya tahu satu-dua hal tentang kamu, dan saya rasa nama sudah di luar hitungan. Jangan salahkan saya! Saya tidak meminta kelebihan khusus untuk membaca lebih dalam setiap kata-kata yang keluar dari mulutmu itu. Entah harus saya sebut apa, kelebihan, atau kutukankah.

Singkatnya, saya dikutuk untuk mengerti kamu melebihi porsi yang seharusnya. Dan saya pikir tidak ada satupun orang yang menyukai kutukan mereka, kecuali saya. Saya menikmati kutukan itu sebanyak saya menikmati susu hangat sebelum tidur, atau kopi pahit sebangun pagi. Saya menikmati beban itu sebanyak lusinan loyang brownies lezat yang disimpan di lemari pendingin selama dua hari, sebanyak sepasang sepatu baru dengan pita yang lucu, juga sebanyak saya menikmati bersantai seharian menonton film seri langganan.

Saya akan berdiri dan mengangkat tangan tinggi-tinggi, jika saja seseorang bertanya adakah orang yang berdamai dengan kutukan yang disandangnya. Saya sudah berdamai dengan kutukan itu sejak berhari-hari yang lalu. berbulan-bulan lalu, ketika pertama kalinya saya tahu siapa namamu. Dan sekarang, detik ini, saya terbiasa untuk jalan berdampingan dengan hal itu. Di mana setiap harinya akan saya temui lagi satu hal baru tentang kamu,

Seperti itu.

Sabtu, 19 April 2014

hari-hari belakang saya habiskan untuk berpikir, bertanya, lalu mengada-ada tentang jawaban. sudah suntuk saya dengan semua tali yang tidak pernah saya temukan ujungnya ini. sekali-kali saya lihat, tapi lalu saya sadar itu hanya bayangan sekelebat. tidak ada yang nyata, dan selama ini saya berkelahi dengan pikiran saya sendiri. setidaknya itu jawaban mengada-ada saya saat ini. entah esok. entah nanti.

kamu bukan Tuhan. kamu tidak bisa tahu masa depan.
siapa tahu saya bisa berubah.
siapa tahu kamu bisa berubah.

dan setelah dipikir-pikir,
persetan dengan perubahan.


Minggu, 16 Maret 2014

Dulu ada

Saya pikir akan tiba masanya,
Dimana kita saling bertatap muka,
Namun semaksimal mungkin berusaha,
Untuk tidak bertemu mata.

Saya harap akan tiba waktunya,
Ketika kita tak perlu lagi bertanya-tanya,
Kemana perginya semua rasa,
Yang dulu sempat ada.

Dan saya yakin akan tiba saatnya,
Kembali tertawa menangis bersama,
Mengingat kembali semua,
Mengapa rasa itu dulu ada.

Sabtu, 08 Maret 2014

Navy Blue

Sudah lama sekali rasanya, saya agak kangen menulis di blog. Meskipun isinya sekedar pikiran lewat dan sering kali tidak berbobot, siapa peduli. Kali ini saya ingin menulis tentang hal tidak berbobot lainnya; warna.
Saya pikir semua orang punya warna kesukaannya masing-masing, terlepas dari filosofi-filosofi warna itu sendiri. Sering kali orang "mencocok-cocokan", maksud saya, kadang ada orang-orang yang terlalu terpaku pada filosofi warna, tapi malah jatuhnya memaksa. Misal ada seseorang yg suka pada warna Biru, dan atas nama filosofi warna, dia akan bersikap sebagaimana apa yang dijelaskan pada filosofi itu. Atau sebaliknya, karena seseorang merasa memenuhi sikap-sikap yang dijelaskan dalam filosofi warna biru, ia instan mencintai warna itu.
Sebenarnya apa yang ingin saya sampaikan tidak seberat itu, persetan filosofi warna. Saya hanya ingin cerita bahwa saya tengah jatuh cinta pada warna Navy Blue. Butuh sekian lama untuk sadar bahwa itu adalah warna yang sangat mengagumkan. Sepaket rasa lengkap dengan feminisme tinggi tanpa ada kesan rapuh. Kuat tapi tetap wanita. Sempurna. Entah kenapa saya mulai berfilosofi tentang warna.
Final test kelas Writing semester lalu saya juga menulis soal warna. Warna dan saya. Cerita personal dengan penyampaian sudut pandang orang ke-3. Saya menceritakan tentang saya yang tidak punya warna kesukaan, saya yang selalu pindah hati ke lain warna seiring waktu berjalan. Memang seperti itu kenyataannya. Setidaknya sebelum saya akhirnya menemukan hal "itu" pada Navy Blue.
Saya tidak bisa jamin saya akan suka Navy Blue untuk waktu yg lama apalagi selamanya. Bisa jadi Navy Blue hanyalah satu dari sekian yang nantinya juga akan saya tinggalkan. Tapi untuk saat ini, saya jatuh cinta. Navy Blue adalah favorit saya.

Minggu, 02 Februari 2014

Konsistensi; lucu tanpa melucu.

Kapan saya mau berhenti diremehkan seperti ini? Saya sudah kelewat sabar rasanya. Tapi sabar tidak akan bisa membuat beliau sadar akan siapa saya dan apa yang telah saya perbuat. Saya dibesarkan oleh beliau yang punya prinsip "kalau mau jadi, jadi yang nomor satu, karena tidak ada yang peduli pada yg nomor dua, tiga, dan seterusnya."
Tapi dengan berat hati saya bilang bahwa saya bukan anak malaikat. Yang turun dari langit diantar cahaya dan diberkati dengan seluruh kesempurnaan sehingga selalu bisa jadi nomor satu tanpa harus merasakan gagal terlebih dahulu. Saya muak dengan ini semua. Tidak kah beliau seharusnya bangga pada saya? Atau setidaknya sedikitlah berpura-pura bangga.
Mungkin beliau memang lupa siapa saya dan apa yang sudah saya lakukan.
Mungkin beliau tidak ingat bahwa saya ini satu-satunya yang tidak merepotkan.
Yang dulunya diterima di SMA negeri nomor 1 bahkan sebelum lulus SMP, beliau bahkan tidak tahu bahwa saya mendaftar, saya lakukan semua sendiri dan beliau tidak tahu apa-apa sampai saya akhirnya saya berkata bahwa saya sudah diterima. Sementara bertahun-tahun sebelum itu, saya masih ingat betul bagaimana beliau sekeras-kerasnya berusaha untuk sekedar mencarikan SMA negeri untuk kakak-kakak saya, yang akhirnya tetap saja berakhir di SMK dan SMA swasta.
Mungkin beliau tidak ingat bahwa saya ini satu-satunya yang tidak merepotkan.
Yang akhirnya mewujudkan impian beliau yang sempat dua kali kandas di tangan kakak-kakak saya. Saya berhasil masuk perguruan tinggi negeri, dengan usaha saya sendiri. Sementara saya ingat bertahun-tahun sebelumnya beliau setengah mati hanya untuk mencarikan kakak-kakak saya perguruan tinggi, bahkan hanya swasta bukan negeri. Saya ingat betul ketika beliau harus membayar mahal sekali demi jalur mandiri, dan membuat sertifikat-sertifikat palsu demi menunjukan betapa emas anaknya yang satu ini, saya ingat betul ketika beliau mengeluarkan biaya ekstra untuk bimbingan belajar mahal yang nyatanya tidak juga membuahkan hasil, untuk kakak saya.
Sementara saya yang mungkin dilupakan ini hanya bermodal tekad dan satu buku tebal berharga tak lebih dari 100 ribu rupiah, belum lagi ditambah dengan tekanan mental yang diciptakan beliau karena hasil ujian nasional saya tidak begitu baik. Padahal beliau tahu sejak awal IPA bukanlah apa yang saya inginkan, saya hanya menuruti beliau dan akhirnya saya lah satu-satunya orang yang didakwa atas apa yang beliau pilihkan sebelumnya.
Bukankah begitu tidak adil semua ini? Tapi saya tidak naif dan berteriak-teriak mencari mana itu yang namanya adil. Saya cukup mengerti beliau yang memang tidak bisa menerima yang bukan nomor satu, kecuali kakak-kakak saya yang tidak henti dibanggakannya itu. Rasanya tak pernah ada harganya segala apa yang saya lakukan di mata beliau. Semua tak lebih dari sampah yang hanya patut ditertawakan. Seakan saya ini adalah lelucon terbesar dalam hidup beliau yang serba nomor satu itu.
Bukan mau saya hidup seperti ini; tidak ada anak yang memilih orang tua, juga sebaliknya. Jadi anggap saja kami terjebak dalam satu hal tidak masuk akal bernama takdir. Dan dalam hal tak masuk akal itu ada konsistensi dimana saya adalah pelawak dan beliau adalah penonton. Yang setia tertawa tanpa harus saya melucu terlebih dahulu, niscaya saya akan menjadi pelawak nomor satu.
Dan bila saat ini saya kembali ditertawakan, saya tidak lagi peduli. Bukan mau saya terjebak di suatu waktu dimana ada perubahan yang menjengkelkan. Saya benci berulang kali menjelaskan, seakan-akan yang saya ucapkan hanya omong kosong pembelaan diri. Ingin rasanya menghadapkan beliau pada yang memang berwenang, supaya jelas semua tanpa saya bersusah payah seakan mencari alibi.
Silahkan bandinkan saya dengan siapapun, saya tidak peduli lagi. Itu sudah menjadi bagian dari konsistensi hal yang tidak masuk akal ini.

Kamis, 23 Januari 2014

Potongan puzzle terakhir

Matahari hilang sebelum waktunya. Awan hitam menghalang, membuat perasaan makin tidak tenang. Bagaimana tidak, hari ini malam serasa datang lebih awal. Aku belum sudi mengakhiri hari bahagia ini. Entah kali keberapa mataku melirik jam di tangan. Rasanya aku mulai mirip orang kesetanan.
            Seseorang di depanku seperti menyadari akan hal itu. Mata cokelat mudanya tampak melempar tatapan aku-mohon-jangan-minta-pulang-sekarang. Lalu tatapan itu segera disempurnakan dengan satu kalimat, yang dimaksudkan untuk menenangkan.
            “Masih jam 5, Ve. Bapakmu gak bakal ngunci pager rumah, kok.” Ucapnya sambil menyiritkan mata.
            “Saya tau, tapi ini mau hujan. Pulang sekarang aja ya, please.”
            Itu jurus terjitu yang bisa ku lakukan. Membesarkan mata sambil sedikit berkaca-kaca. Mirip anak kucing memelas yang mati-matian meminta makan. Selalu berhasil meluluhkan perasaan. Terutama, dia. Orang yang menemani hari-hariku hampir 3 tahun kebelakang.
            “Saya tau kamu ini perempuan. Tapi kamu sudah SMA, Ve. Kelas 3. Bapak manapun bakal beri sedikit kelonggaran soal jam sama anaknya.”
            “Kamu enak, laki-laki. Bisa ngomong seperti itu. Nah, saya? Mungkin bapak saya baru bakal ngelepas kalo saya sudah nikah. Sudah punya suami. Ada yang tanggung jawab.” Protesku tidak terima.
            Jurus kali ini memang tidak begitu manjur. Harus dibumbui sedikit curhatan dulu baru bisa bekerja. Dia mengantarku pulang beberapa menit kemudian. Setelah sebelumnya meminta mas-mas mengantar bill makan siang kami yang kesorean. Seperti biasa, dia yang membayar. Namanya Regie Saputra. Menyedihkan. Gie, seperti itu aku memanggilnya.
***
            Seperti dugaan. Bapak sudah stand by di depan pagar ketika aku sampai. Kaosnya putih oblong, celananya biru dongker dengan 2 saku di masing-masing sisinya. Bapak pegang selang, seperti mau menyiram tanaman luar. Baru-baru aku khawatir. Takut selang itu digunakan bapak mencekik Gie yang mengantarku pulang. Selayaknya telepati, aku seperti bisa mendengar pikiran Gie. Dia ketakutan setengah mati. Kami sama-sama menahan nafas, dan melepasnya ketika Bapak tiba-tiba tersenyum ikhlas. Bapak menyuruh Gie singgah sebentar, katanya, beliau masih mau menyiram tanaman.
            Gie satu-satunya kebebasan yang Bapak berikan. Cuma sama keturunan Banjar-Sunda itu aku dibolehkannya keliaran. Itupun masih tetap dibatasi jam malam. Bapak cukup mengenal baik keluarga Gie. Begitu juga sebaliknya. Baru-baru ini Bapak tau, kalau aku dan Gie sudah berteman sejak lama. Kadang ketika saling bertemu, Bapak senang berbicara soal perjodohan. Aku percaya itu cuma iseng-isengan.
            Aku harus menyeduh teh sampai 3 kali, membuka 2 bungkus kue marrie, dan memilihkan acara tv, untuk acara mengobrol senja Bapak dengan remaja pria yang semoga saja tidak dianggap sebagai calon menantunya.
Cepat-cepat aku menyela. “Sudah mau maghrib, loh, Pak. Kasian Gie ditunggu dirumahnya.”
Gie cuma senyum-senyum sendiri. Ia jelas mengerti kalau aku baru saja mengusirnya dari sini. Bapak juga ikut senyum-senyum setelah itu. Aku mulai takut kalau mereka sudah benar-benar lupa keberadaanku.
“Nah. Mending kamu maghrib-an disini aja, Gie. Gak baik jalan maghrib-maghrib. Pamali!” akhirnya kekolotan Bapak keluar juga. Entah maksudnya apa, tapi mereka berdua malah tertawa-tawa.
Gie tidak mengiyakan saran Bapak, tapi tidak juga ia menolak. Kami bertiga sama-sama tau apa jawabannya tanpa harus dia berucap.
“Dia anak baik, Ve. Bapak sudah minta dia untuk jagain kamu.” Begitu kata Bapak. Setelah mengantar Gie ke pagar depan dan melihatnya pulang. Sambil mengacak-ngacak rambutku, seakan aku ini anak SD kelas 1.
Seandainya Bapak tau yang sebenarnya. Aku yakin Bapak akan mati-matian menjauhkanku dari sosok yang disebutnya calon mantu itu. Kalau ditanya soal penyebab pertengkaranku dengan Bapak setiap malam minggu tiba, aku dengan bangga akan menyebut nama Gie sebagai satu-satunya manusia yang bertanggung jawab atas itu semua. Tapi aku tak pernah bilang, Bapak yang rajin baca koran, tidak cukup rajin untuk menanyakan.
Aku mengenal Gie di kelas 1 SMA. Dia memilih duduk denganku saat itu. Aku ingin percaya kalau dia memilih bangkuku diantara 20 buah lainnya, bukan karena aku satu-satunya yang masih duduk sendiri sedang bangku lain sudah terisi. Ia datang ‘agak’ terlambat. Jam depalan. Padahal, panitia MOS menyuruh datang jam enam.
Hari itu tanggal 24 Juli 2010, dan esoknya, aku bukan lagi orang yang sama. Manusia tanpa rencana itu mengubah hidupku sepenuhnya. Ah, tidak. Bukan sepenuhnya, cuma tiga per empatnya saja.
Satu yang ku pelajari dari Gie, jangan pernah melakukan apa yang ia sarankan. Kenapa? Karna Gie bahkan tidak punya saran untuk dirinya sendiri. Ia orang terkacau yang pernah aku temui. Dan sialnya, sama seperti Gie yang tidak pernah menolak apa yang aku pinta, aku juga selalu mengiyakan apapun maunya.
Aku punya hidup konstan yang penuh peraturan. Semua sudah dijadwalkan. Bagun pagi jam 5 kurang 5, mandi lalu sarapan, berangkat sekolah jam 7 kurang 20. Belajar. Istirahat. Belajar. Istirahat lagi. Belajar lagi-lagi. Langsung pulang saat bel sekolah berbunyi. Dan seterusnya, sampai bangun jam 5 kurang 5 lagi. Sejak Gie ada, hidup konstan yang sudah ku pertahankan hampir 15 tahun lamanya, akhirnya cuma sisa kenangan saja.
“Kamu satu-satunya anak 15 tahun tanpa malam minggu, yang pernah jadi teman saya.” Begitu ucapnya dulu ketika awal bertemu. Aku berusaha mati-matian menyangkal ucapannya itu. Dia membuatku merasa seperti remaja tanpa kehidupan remaja. Atau malah orang tua yang terjebak dalam tubuh kecil 157 cm tingginya.
Setiap saran yang Gie berikan aku lakukan, semua berakhir cepat dengan cara yang hampir sama.  Nyaris gagal. Lumayan gagal. Gagal. Dan yang tersering, gagal total. Klise saja. Tidak ada yang jauh berbeda.
Logikaku bekerja. Logikaku mengatakan bahwa aku harus cepat-cepat pergi dari Gie. Dan selama 2,5 tahun, tubuhku berhasil menggagalkan niat logikaku. Kadang aku berpikir bahwa Gie benar dalam satu hal, satu-satunya hal dalam 17 tahun hidupnya itu. Aku memang remaja tanpa kehidupan remaja. Aku takut waktu akan berjalan cepat. Dan tau-tau saja umurku sudah 20 tahun tanpa punya satupun kenangan masa remaja. Aku takut tidak punya apa-apa untuk ku ceritakan ke anak-anakku nanti. Tidak punya hal yang bisa ditertawakan ataupun ditangisi.
Jadi aku mulai mengikuti cara hidupnya yang tanpa rencana. Tanpa berpikir lama-lama dan menimbang satu per satu resikonya. Mengendap-endap tiap malam minggu tiba. Tidak langsung pulang ketika bel sekolah berteriak-teriak mengusir setiap orang. Lebih sering makan diluar, dan macam-macam hal kecil lainnya. Yang jelas membunuh setiap jadwal kegiatan yang sudah kusiapkan. Dan membuat Bapak lebih sering marah-marah karena pulangku telat. Kadang aku harus berbohong pada Bapak, dan menangis semalaman karena menyesal. Aku ingin hidup sebagai remaja. Tapi bukan seperti ini caranya.
Dan dalam hati, aku masih bertanya-tanya apa itu kehidupan remaja, sampai detik ini. Bahkan ketika Bapak sudah berani mengundang Gie masuk ke dalam rumah, aku masih juga belum mengerti.
Ponselku berdering tepat pukul 9 malam. Tanpa nama. Orang iseng macam apa yang menelponku sebegini malamnya. Saat kuangkat, terdengar suara yang serasa mengiris telinga saking kencangnya. “Ve!!”. Ternyata itu Gie. Aku tersenyum dalam hati.
“Tebak, Ve!!” suara itu menggebu-gebu seperti orang yang mengucapkannya sudah siap meledak dengan C-4.
“Kamu ketemu Pak Slamet di diskotik?” tebakku seadanya.
“Bukan!” suara itu terdengar gemas. 2 tahun lebih mengenalku belum juga ia sadar kalau aku tidak suka tebak-tebakan. “Lisa, Ve! Saya nembak dia barusan. Dia terima!” lalu terdengar suara tawanya kegirangan. Sepertinya ia benar-benar bahagia malam ini.
“Wih, asik pacar baru. Kapan traktirannya, Gie? Pajak Baru Jadian…” jawabku menyaingi tawanya.
“Ah, kamu ini, Ve. Gak perlu tunggu saya jadian sama cewek, baru saya mau traktir kamu makan.” Ucapnya sambil tetap tertawa. Ia benar juga, hampir setiap hari makan siangku ditanggung olehnya. Ditambah lagi, orang itu siap sedia mengantarkan makanan ke rumahku saat ku bilang aku sedang butuh camilan. Meskipun tengah malam.
“Eh, Ve.” Lanjutnya menyebut namaku. “Kamu kapan punya pacarnya?”
Aku mati kutu saat itu juga. Aku benci kalau harus berhadapan dengan pertanyaan konyol itu. Aku lebih suka kebebasan menjalin hubungan dengan siapa saja. Status ‘berpacaran’ akan membuat orang terikat dan seakan ber-label. Seperti tempat-tempat tertentu yang sudah dikencingi dan ditandai, tidak ada anjing lain yang boleh mendekati tempat itu. Mereka berkedok ‘pacar’ agar bisa berduaan. Berciuman. Pegang-pegangan. Yang cuma digebu nafsu tanpa malu-malu. Padahal belum tentu ‘pacar’ mereka itu yang akan jadi pendamping hidup mereka sampai mati nanti. Aku tidak mau punya label. Aku tidak mau jadi tempat anjing-anjing untuk kencing.
Aku memang berbeda dengan Gie. Dan ini cuma satu dari sekian puluh ribu perbedaan kami. Selama 2 tahun terakhir aku sudah dengar puluhan nama dari bibirnya. Nama-nama yang punya nama belakang ‘Sayang’. Sheera Sayang. Dewi Sayang. Rossa Sayang. Chika Sayang. Dan sekarang orang bernama belakang ‘Sayang’ itu adalah Lisa. Mereka semua pada umumnya terlihat sama. Kulit putih, badan biola, punya rambut panjang setidaknya di bawah bahu, rajin ke salon tiap hari minggu. Sedangkan aku, Gie cuma pernah mendengar satu nama dari bibirku. Namanya sendiri. Tentu saja bukan dirinya, tapi mereka punya nama yang sama.
“Kamu satu-satunya anak 15 tahun yang naksir sama orang mati, yang pernah jadi teman saya”. Begitu ucapnya dulu, ketika pertama kali aku cerita siapa orang yang aku suka. Dia seorang aktifis mahasiswa di era Pak Karno dulu. Dia dan aku sama-sama memiliki satu kesamaan. Kita sama-sama tidak tau apa itu cinta. Namanya Soe Hok Gie, seorang keturunan Cina. Karna itu ketika orang memanggil seorang Regie Saputra sebagai Putra, aku lebih memilih memanggilnya dengan nama Gie.
Soe Hok Gie mati muda. Dan sampai sekarang, seorang Regie Saputra masih tidak bisa mengerti bahwa meskipun seseorang sudah mati, pesona tetap bisa hidup abadi.
“Kamu masih nge-stuck sama Gie-Yang-Sudah-Mati itu, ya? Seandainya kamu ngerti, Ve. Orang mati gak bisa kamu jadikan pacar. Masih mending nempel poster artis di kamar dan berharap suatu saat nanti kamu bisa jadi gebetan artis itu. Setidaknya mereka masih hidup. Masih ada harapan. Nah kamu, sekali nempel poster, poster orang mati” cerocos Gie membabi buta. Melihat aku yang tidak bereaksi apa-apa atas pertanyaannya.
“Gie! Saya gak pernah bilang pengen Gie-Yang-Sudah-Mati jadi pacar saya. Saya cuma pernah bilang kalau seandainya sosok seperti dia masih ada sampai sekarang, saya akan jatuh cinta padanya.”
“Ve…”
“Apa?”
“Kamu memang beda, ya. Karna itu saya gak pernah bisa jauh dari kamu. Gak peduli berapapun cewek yang saya taksir, tapi nama Silvana Vega selalu punya tempat paling lebar di hati saya.”
“Gie…”
“Apa?”
“Gombalmu jelek. Harus latihan lagi supaya bisa buat Lisa terlena.”
Ia tertawa keras sampai kujauhkan ponselku dari telinga. Bagaimana ia bisa tertawa sebegitu kerasnya, padahal aku sama sekali tidak bercanda. Hampir satu jam kami bertelponan, ia membuat laporan lisan lengkap soal pacarnya. Baru-baru aku tau kalau Lisa sudah menaksirnya semenjak dulu, dan betapa cemburunya gadis itu dengan diriku.
“Ve, besok malam saya boleh main ke rumah, ya? Sekalian nganter kain  oleh-oleh Papa buat Bapak kamu.”
“Wih, dari mana lagi sekarang? Lombok?”
“Bukan. Toraja. Lombok bukan tempat kain, Ve.”
“Oh” jawabku seadanya. Aku memang tidak punya bakat tebak-tebakan.
“Jam 8, ya?”
“Hm..” aku berpikir dulu. Mencoba mengulur waktu. “Oke.”
Tiba-tiba terdengar suara ‘tut’ panjang. Ia menutup duluan. Mungkin ia terlalu bahagia malam ini, sampai-sampai lupa mengucapkanku selamat malam.
***
            Aku menunggu cemas di balik pagar. Jarum panjang jam sudah melewati angka 4 ketika jarum pendeknya tepat diangka 8. Kemana Gie? Aku takut sesuatu menimpanya di perjalanan. Seperti tabrakan atau masuk ke sungai dan tidak pernah ditemukan. Terlebih langitnya seperti sedang dalam sesi pemotretan. Kilat. Cahaya flash dimana-mana.
            Tak lama kemudian cemasku teredam. Lega rasanya mengetahui ia tidak tabrakan atau masuk dalam sungai dan tidak pernah ditemukan. Rupanya cemas itu tidak hilang, hanya bertransformasi jadi kekesalan.
            “Kemana aja? Malam mingguan dulu sama Lisa?”
            “Enggak. Cuma ngantar dia ke rumah sakit jenguk om-nya.”
            “Oh. Rumah sakit mana? Paris van Java?” tanyaku menyiritkan mata. Sarkasme itu kadang memang menyenangkan.
            “Ve… Santo Yusup. Om-nya sakit. Beneran.”
            Kesalku mereda, entah karena Gie sendiri, atau langit yang terlalu capek pemotretan, keringatnya jatuh dimana-mana sekarang.
            Langit belum berhenti menjatuhkan keringatnya sampai jam 11 malam. Bapak belum mengijinkan Gie pulang karena takut terjadi apa-apa di jalan. Jalanan malam berbahaya, terlebih ketika hujan. Aku takut keadaannya akan lebih buruk, dan, ya, Bapak mengambil telepon dan berkata bahwa Gie malam ini akan menginap di rumahnya. di rumahku. Disini.
            Ini malam minggu. Lisa, pacarnya, hanya diantar menjenguk keluarga. Sedang aku, kini ia bermalam di rumahku. Atas seijin Bapakku. Kalau tau, Lisa pasti sudah gosong terbakar cemburu. Tapi aku tidak melihat Gie memegang ponsel semenjak datang, tidak ada telepon atau sms, bahkan untuk mengecek saja ia terlihat tidak berminat.
            Gie tidur di sofa, aku bekali dia dengan sebuah bantal dan selimut tua. Rumah jarang kedatangan tamu menginap. Aku keluar kamar saat jam sudah menunjukan pukul 12, memastikan ia baik-baik saja. Rupanya ia belum tertidur saat itu, ia tengah mengamati foto-foto keluarga yang terpampang di dinding-dinding ruang tamu.
            “Gie, yang itu jelek semua. Coba liat yang ini.” ucapku sambil menyodorkan album foto berwarna ungu muda.
            Gie cuma manggut-manggut saja. Bibirnya mulai tersenyum ketika ia buka lembar pertama. Album ungu muda itu mahakarya yang kubuat selama 2 tahun kebelakang.  Album yang merekam bagaimana hidupku menjadi lebih berwarna sejak tanggal dimana ia duduk di sampingku. Menjadi teman dekatku.
            Bapak sudah tidur lelap di kamarnya. Kadang kami harus membekap mulut agar tidak tertawa terlalu keras, karna sebagian besar dari foto-foto ini terlihat begitu menggelikan dan sebagian lagi memuakkan.
            “Keren, Ve. Niat banget kamu bikin album ini jadi kayak bentuk puzzle.”
            “Habis, Saya suka puzzle. Asik. Bikin penasaran, tapi gak kayak tebak-tebakan. Kita sudah tau semua jawabannya, tinggal kita rangkai aja sendiri. dan akhirnya selalu bener kan?”
            Sekali lagi ia membekap mulutnya agar tidak tertawa. “Berarti kamu  punya puzzle kan? Ambil deh, kita rangkai bareng. Saya gak bisa tidur, kali aja kalo bosan main puzzle jadi ngantuk.”
            Ku sikut bahunya sambil merengut. Dasar tidak tau diri. “Ada sih, hadiah dari Bapak waktu Saya umur 7 tahun. Tapi ada bagian yang hilang. Saya males mainin lagi sejak itu. Toh gambarnya gak akan pernah jadi, gak akan pernah sempurna.”
            Gie terdiam sejenak, tatapannya melemah seakan aku baru berkata hal-hal menyentuh hati. “Sudah lah. Ambil aja, kasian puzzle kamu dinganggurkan bertaun-taun.”
            Dan seperti biasanya, aku melakukan yang ia pinta.
            Kami merangkai puzzle itu selama hampir setengah jam, dengan ukuran 0.5 x 0.5 meter dan warna yang beraneka ragam, jujur ini cukup melelahkan. Jam 1 kurang 5, semua potongan puzzle sudah terpasang. Tapi seperti yang ku katakan sebelumnya, tidak akan pernah sempurna.
            “Liat kan… gambarnya gak bakal jadi, Gie. Percuma.”
            Sebenarnya puzzle ini memiliki gambar yang begitu mengagumkan. Menurutku. Melihatkan pemandangan animasi sebuah taman dengan sekelompok anak-anak yang bertebaran dimana-mana. Tapi sayang ada bagian yang hilang. Bagian itu seharusnya bergambar badan seorang anak laki-laki yang sedang memegang balon. Di sampingnya terduduk seorang anak perempuan di kursi taman. Bagian itu, adalah bagian favoritku.
            Kadang aku menafsirkan gambar itu sebagai sebuah kehidupan remaja. Ceria. Suka duka. Teman-teman dan sebagainya. Aku adalah sosok anak perempuan yang duduk di kursi taman. Yang diam, sedang teman-teman lain sedang sibuk bermain-main. Cuma si pemegang balon yang menemaninya saat itu. Yang menemaniku saat itu. Tapi sayang, bahkan sebagian dari si pemegang balon pun sekarang sudah hilang. Anak perempuan itu kesepian, meskipun berada di tengah taman yang ramai. Seperti aku, yang merasa tidak pernah benar-benar punya kehidupan remaja, dan tidak pernah tau apa artinya.
            Gie tiba-tiba berdiri. Mencari kertas dan merobeknya menjadi potongan kecil. Lalu ia menggambarkan bentuk hati disana. Dengan spidol kecil berwarna merah, yang biasa digunakan Bapak mencatat nomor telepon. Ia menempelkan potongan kertas itu ke bagian puzzle yang hilang. Sejenak aku tidak mengerti apa yang ia lakukan. Sampai bibirnya tersenyum dan berkata; “Liat kan… gambarnya sekarang sudah jadi. Coba perhatiin deh, ini bagian dada cowok yang bawa balon kan? Gak penting apa yang keliatan di luarnya. Yang penting dalemnya, Ve. Hatinya.”
            Aku tertegun sejenak. Merekam kalimat itu di otak dan menyambungkan semua detail hal. Merangkainya seperti puzzle. Dimana aku sudah tau jawabannya dan tinggal kurangkaikan saja. Dan akhirnya selalu benar. Selalu sempurna. Ya, gambar itu sekarang sudah jadi. Tidak ada lagi bagian yang hilang dari si pemegang balon. Gadis kecil yang duduk di kursi taman tidak lagi kesepian. Aku tidak perlu lagi bertanya-tanya apa itu kehidupan remaja. Puzzle ini sudah terlengkapi. Hidupku sudah terlengkapi.
            potongan puzzle terakhir. Ucapku dalam hati.
            “Potongan puzzle terakhir” Ucapku lagi, kali ini bukan cuma dalam hati, kali ini kutujukan untuk Gie.
            Gie tidak menjawab. Bibirnya tersenyum hangat.
“Gie, mulai sekarang saya akan berhenti nyari apa itu kehidupan remaja. Saya sudah punya hidup saya sendiri. Saya cuma perlu mimpi. Dan saya baru sadar saya sudah punya itu sejak 2 tahun lalu. Gie, kamu ngebuat saya hidup dalam mimpi, terlepas seperti apa saya di kehidupan nyata. Album ungu muda itu buktinya. Saya mau hidup seperti itu sampai mati.” Aku tersenyum ringan. Senyum ringan yang dalam. Namun senyumku itu dibalas dengan senyuman kita-lagi-ngomongin-apa-?. Rasanya ingin kulayangkan tinjuku ini tepat ke wajahnya. Mematahkan tulang hidungnya, dan membuat ia mimisan 3 hari 3 malam. Tapi aku percaya, ia mengerti betul apa yang aku kata.
“By the way, sampai kapan kita akan tetap bicara pakai ‘Saya’? ‘Saya’ itu kaku. Saya sudah hadiahin kamu mimpi, loh…”
“’Saya’ itu romantis, Gie... Sampai tua. Sampai rambut hitam saya putih rontok dan mata cokelatmu berubah jadi abu-abu. Sampai kita punya anak cucu. Cicit kalau perlu.”
“Kita? Anak?” tatapannya berubah serius. Perpaduan terkejut dan berharap sekaligus.
“Anak kita masing-masing, Gie!” nadaku meninggi. Berusaha mengkonfirmasi. “Jangan harap saya mau nikah sama kamu, Gie. Enak saja. Kamu pikir saya mau gantungin masa depan saya sama orang kayak kamu? Iyuh…” alih-alih melempar tatapan se-illfeel mungkin, kedua tangannya malah memelukku tiba-tiba. Erat. Sampai sesak rasanya. Baru-baru aku sadar sesak bukan karena pelukkannya. Air mataku pecah tiba-tiba. Aku tidak suka.
“Gie… saya gak mau jadi istri kamu. Saya gak mau ngandung anak-anak kamu. Saya jamin itu. Tapi saya mau meluk anak-anak kamu. Seperti ini. saya pengen gendong bayi-bayi kamu yang lucu-lucu. Saya pengen jadi tante mereka kalau perlu. Toh saya ini…” suaraku tertahan. Tak tau apa yang harus kukatakan. 
“Sahabat abadi Bapak mereka sampai mati.”  Ucapnya melanjutkan.
Gie ikut menangis. Entah menangis atau sekedar pilek karena sempat kehujanan. Tapi aku tidak peduli lagi. Sempurna sudah puzzle yang ia lengkapi dengan sepotong kertas tadi. Warnanya memang berbeda. Tapi maknanya tetap sama. Air mata sudah meleburkan perbedaan warna puzzle-nya.
Sama halnya seperti kami berdua.
“Ve, gimana kalau saya mati sebelum sempat jadikan kamu tante anak-anak saya?” pertanyaan itu keluar tiba-tiba dari mulutnya.
Rupanya Gie belum juga percaya soal teori ‘orang mati dan pesona’ yang sejak dulu kukatakan berulang kali padanya. Bahwa manusia memang mati, tapi pesonanya tetap bisa hidup abadi.
“Gak apa, Gie” ucapku pelan.
“Kamu tetap jadi pencipta mimpi saya.”
Selamanya.

Lalu aku bertanya-tanya sudah berapa kali kusebut namanya dalam percakapan kami.
Gie.


Jumat, 17 Januari 2014

Cokelat tua

Mereka bilang orang pasti berubah dari waktu ke waktu, tapi kini aku bernafas dan menjadi saksi hidup bahwa beberapa orang akan tetap sama dan diam pada tempatnya.
Hari itu aku bangun lebih pagi, duduk diam lebih lama sebelum akhirnya memijakan kaki di lantai yang dingin. Hujan membuat semua terasa beku, berjalan tanpa alas kaki membuat kita seakan bermain ice skating tanpa sepatu. Langkahku terhenti di depan jendela yang tirainya setengah terbuka, dan ku temukan cerita di sana.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri di bawah payung biru yang kau pegang di tangan kiri. Mengepit koran pagi. Lucu bagaimana namamu bukan jadi pertanyaan pertama yang lewat di kepalaku, melainkan nama harian pagi itu. Kompas, tribun, sapos, ataukah sekedar majalah bulanan yang sedang ingin kau baca pagi hari? Aku tidak tau pasti, kau berdiri terlalu jauh, di luar jangkauan mataku yang belum ditamengi dua lensa minus lima.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri menghadap jalanan seakan menunggu angkutan. Seakan kau tidak tahu bahwa tidak ada angkutan sepagi itu, ataukah kau memang orang baru? Lucu bagaimana aku memikirkan tentang trayek apa yang tengah kau tunggu, A, B, C, ataukah D, terlepas dari pertanyaan tentang tanggal berapa dan dimana kau dilahirkan. Mungkin karena aku tidak peduli soal masa yang sudah lewat, lebih tertarik pada hal yang belum terjadi dan belum tentu akan terjadi. Seperti halnya andai kita bertemu dalam satu angkutan, mungkin di trayek A, B, C, ataukah D, kau dan aku duduk berdampingan, bahu kita bersentuhan saking desak-desakan.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri di antara rerumputan dan kerikil yang setengah terendam air hujan. Kau memakai sepatu boot kebesaran, dan lucu bagaimana aku bertanya-tanya apakah hitam atau biru warna sepatu boot itu, terlepas dari pertanyaan apakah warna matamu. Bisa jadi hitam, cokelat, bahkan biru. Siapa tahu kau datang jauh dari benua sana, tapi aku tak terlalu peduli karena payung biru menutup wajahmu, jaket tebal juga menutup warna kulitmu.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri sendiri sedari 15 menit lalu. Lucu bagaimana aku berpikir bahwa hujan juga telah membekukanmu, seperti manusia purba yang terjebak dalam bongkahan es batu. Bagaimana aku berhayal keluar pintu rumah dan mendatangimu, menggeretmu masuk kedalam dan kusimpan di lemari pendinginku. Supaya kau tetap seperti itu meskipun hujan sudah tak lagi menyelimuti kota ini. Kau bisa kunikmati selalu seperti ini, dengan payung biru, koran pagi, sepatu boot dan segelas kopi. Tanpa harus ku ajak bicara dan kutanya siapa namamu, tanggal dan tempat kau dilahirkan, atau warna matamu sebenarnya--kuharap kau menutup mata ketika kau beku.
Lalu aku sadar akan sesuatu, mungkin apa yang kulihat hanyalah bayagan semu. Sebatas khayalan yang ingin ku lihat atau bahkan aku masih terlelap di dalam mimpiku. Tidak ada jamiman bahwa kau benar adanya, belum tentu kopi hangatlah yang mengisi gelas kertas ditanganmu itu. Imajinasi terlalu memengaruhiku. Tapi lalu kau menggerakkan tubuhmu, satu gerakan yang tertangkap mataku sebelum akhirnya bus besar menjadi tirai penutup panggung pementasan yang ku nikmati pagi itu. Lenyaplah sudah pikiranku tentang kau yang telah beku. Lenyaplah sudah pikiranku tentang kau, selepas bus itu pergi dengan serta membawamu. Lenyaplah sudah semuanya.
Hari ini aku bangun seperti biasa, tidak lebih pagi dan tidak duduk diam lebih lama. Tapi aku tetap biarkan tirai kamarku setengah terbuka, sehingga andai dunia sudah menjadi gila, akan ku temui lagi kau disana. Di seberang jalan dengan payung sedang menunggu angkutan. Namun kini tak lagi hujan, dan kalender kamar sudah kubuang karna tahunnya yang telah kadaluarsa. Tapi entah kenapa rasa itu tak jua kadaluarsa, rasa yang telah bertransformasi semenjak pertama kali aku sadar kau bukanlah sesuatu yang ingin kusimpan dalam keadaan beku. Aku ingin mengenalmu, bertanya siapa namamu, dan mencari tahu tanggal lahirmu, supaya aku bisa merayakan ulang tahunmu dan menemani setiap harimu setelah itu.
Aku tak pernah tahu mengapa, setiap bangun pagi aku selalu melirik ke arah jendela. Menunggu sesuatu setelah sekian lama, semenjak ku tangkap gerakan yang kau buat tepat sebelum bus itu membawamu entah kemana. Gerakan yang membuatku tidak punya pilihan lain kecuali tetap menunggu dan diam di tempatku, dan  berharap akan tiba suatu waktu dimana aku duduk di sampingmu dalam angkutan, dan bahu kita bersentuhan. Gerakan dimana kau mendangahkan kepala, dimana kau menampakkan mata.
Cokelat tua.
Hadiah untukmu,
Yang sudah terlelap namun tidak beku,
Yang sudah ku tau warna matanya bukan biru,
Yang tidak pernah bosan untuk kutunggu,
Yang selalu ingin lebih aku tahu.

Minggu, 12 Januari 2014

Hari kelima; kembali

Bukan pulang atau pergi, tapi kembali. Sudah cukup lama rasanya, meski keadaan gelap dan tidak semua hal terlihat, tapi saya yakin banyak hal yg sudah berubah. Mungkin orang-orang termasuk kedalamnya.
Di perjalan tadi saya bertemu musibah. Meski bukan langsung saya yang kena, tapi itu benar-benar menyadarkan saya akan sesuatu. Umur tak ada yang tahu.
Orang-orang tidak pulang, tidak juga pergi, mereka hanya kembali.

Sabtu, 11 Januari 2014

Hari ketiga; naskah

Sehari rasanya seperti setahun. Baru 3 hari dan saya sudah merasa berumur 20 tahun. Lalu saya sadar bahwa waktu itu cepat sekali terlewat kalau dipikir-pikir (meski tetap saja lama kalau dirasa-rasa), tahun ini saya 18 tahun, tahun depan 19 tahun, dan tahun depannya lagi baru benar-benar 20 tahun. Umur sebentar lagi sudah kepala 2, dan sudah bisa apa saya sekarang? Yang saya bisa cuma menulis dan menulis. Syukur-syukur kalau tulisan itu bermanfaat, sayangnya hanya seperti ini-ini saja. Bahkan saya tidak yakin nilai Bahasa Indonesia saya di semester ini bagus. Kadang saya tidak enak hati kalau ditanya soal hobi, "menulis" saya jawab. Tapi saya belum merasa jawaban itu ter-realisasi. Memang pernah sempat beberapa kali tulisan saya 'dilirik', tapi rasa-rasanya tidak terlalu membanggakan. Apa saya saja yang terlalu angkuh?

Januari ini saya harus merampungkan satu naskah. Skrip untuk film pendek perdana saya di komunitas, LOC namanya. Literature Optical Cinema. Saya suka namanya, jujur, saya suka sekali. Tempo hari ketika ada pertemuan, kami sepakat untuk menggambil setting pantai, sekalian liburan katanya. Mengakrabkan diri. Saya bersama teman yang sama-sama bertugas mengurus skrip, karena memang sudah sealiran sejak awal, memilih sad ending untuk film perdana ini. Saya berpikir tentang seseorang yang terjebak di satu keadaan dimana dia harus mengambil keputusan. Untuk pergi atau bertahan. Untuk mati atau melawan. Seperti yang saya pernah bilang, ketika hanya ada pilihan melawan atau mati, kita hanya perlu menikmati. memanglah patut dinikmati saat-saat seperti itu. 

Secara teknis ini bukan lagi hari ketiga, sudah lewat jam 12 malam, dan kakak pertama saya berulang tahun yang ke-22. Mengetik ini pun sambil menjilati tangan bekas kue barusan. Enak sekali, tapi makan 3 potong sudah langsung kenyang. 

Ulang tahun. Setahun lagi umur seseorang berkurang.

Beruntung sekali mereka yang hidup dalam tulisan, apalagi tulisan yang mempunyai bukti visual. Mereka tak pernah bertambah usia. Mereka hidup selamanya.

Kamis, 09 Januari 2014

Hari kedua; sepi

Saya merasa tidak benar hari ini. Seperti ada di tempat yang tidak seharusnya. Mungkin karena saya sudah terbiasa hidup di kosan. Dan sekarang terjebak di rumah kontrakan besar ini yang malah sering kali tidak ada orang. Lebih baik tinggal sendiri dari pada ditinggal sendirian. Iya, bukan?

Saya betul-betul tidak nyaman. Apa saya hanya rindu seseorang?


iya, mungkin saja.

Selasa, 07 Januari 2014

Hari pertama; pergi

Apa itu pergi? Dapat kah kamu menjelaskan? Saya tidak meminta essay minimal 5 halaman dengan format MLA. Cukup saya mengerti, dan kamu sudah dapat nilai A. Plus-plus kalau bisa. Tapi saya bukan dosen, saya bukan mahaguru yang bisa memberi kamu penghargaan atas apa yang kamu tahu lebih dari saya. Siapa yang tahu isi otak manusia? Mahaguru pun tidak bisa, kecuali dia punya kekuatan telepati, indera ke enam, atau apalah itu namanya. Jadi, apa itu pergi?
Saya bukan seorang traveler, apalagi backpacker. Tapi entah kenapa saya merasa sudah hidup di banyak tempat. Sampai-sampai ketika saya mengepak barang dan siap keluar, menuju satu tempat lain entah itu pertama atau kesekian kalinya, saya tidak bisa membedakan apakah itu pergi, ataukah pulang.
Memangnya apa itu pulang?
Satu lagi pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu kamu repot menjawab. Kamu tahu? Kadang seseorang lebih nyaman diam dalam gelap, karna dia tidak perlu tahu apa yang ada di sekitarnya, apa yang terjadi, apa yang mungkin bisa memengaruhinya.
Saya memilih tenang, dalam ketidaktahuan, apakah ini pergi ataukah pulang.
Menjelang malam.
Diam, menunggu hujan.