Jumat, 20 Desember 2013

Saya sering melamun belakangan. Entah kenapa, saya juga tidak terlalu mengerti. Kalau orang melamun karena sedang berpikir, saya melamun tanpa pikiran. Kadang ketika saya menatap pada satu titik, tiba-tiba waktu terasa berhenti, pikiran terhapus, dan bahu turun naik menjadi satu-satunya pertanda saya masih hidup. Saya merasa jadi orang paling menyedihkan sedunia. Tiap kali seseorang menyadarkan saya dari lamunan itu dan bertanya kenapa, saya tidak bisa menjawab apa-apa.
Saya bukan orang yang terbiasa dengan keramaian. Selalu pusing bila terlalu banyak orang. Mungkin karena itu juga saya malah sering diam. Seakan tubuh ini ditinggalkan, dan hanya sepertiga jiwa yang tersisa untuk tersenyum dan tertawa kecil pada setiap pembicaraan.
Saya merasa sakit, dan ingin sekali disembuhkan.

Sabtu, 14 Desember 2013

Saya bukan seorang ahli dan saya belum hidup lebih lama dari kamu.
Tapi saya cuma ingin bilang;

Lepaskan.

Menahan diri

Ketika kamu tahu apa itu sakit, kamu bisa belajar menikmati keindahan-keindahan kecil di sekitarmu. Siapa kira plastik hitam yang tertiup angin bisa jadi hal indah tersendiri?
Saya merasa terlahir baru. Seperti Phoenix yang lahir kembali dari abu. Saya bangun pagi ini dan merasa tertanam dalam tubuh yang berbeda. Tertanam tidak terjebak. Karena ketika kamu terhenti pada pilihan melawan atau mati, kamu hanya bisa pasrah dan menikmati. Setiap partikel dalam tubuhmu memberontak, tapi sudut kecil dalam hati mu berkata, "semua akan baik-baik saja."
Saya tidak tahu harus apa, tapi saya tidak juga merasa takut. Takut sepertinya sudah kadaluarsa. Sisa benci menjamur di balik-balik pintu, menunggu pintu ditutup sehingga ia bisa kembali merajai. Saya menahan diri, mengingat kembali keindahan-keindahan kecil tadi. Awan berjalan, plastik tertiup, pasir di lantai. Apapun yang bisa mengganjal pintu itu supaya tetap terbuka. Saya berusaha.
Saya memaknai setiap detiknya. Setiap usaha saya. Kadang topeng tak lagi berguna. Selalu ada mata-mata yang menangkap kehadiran itu di mata saya. Dan tak peduli berapa banyak mata-mata yang mengerti, selalu sulit untuk saya menahan diri.
Tolong ingatkan lagi keindahan-keindahan kecil tadi.
Tolong ingatkan lagi bahwa kamu ada di sini,
bahwa saya tidak sendiri.

Sabtu, 07 Desember 2013

Bicara

Semesta bicara, tanpa bahasa. Tinggal saja kau rasa apa yang seharusnya. Kalau memang begitu mau semesta, saya hanya bisa tersenyum sambil berkata; saya siap mendengar semua, dan kamu juga akan mendengar suatu cerita. Bukannya semua orang punya cerita masing-masing?
Semesta bicara, katanya kita harus bicara.

Jumat, 06 Desember 2013

Wahai mata

"Apa hal yang pertama kamu lihat waktu kamu melihat warna putih?"

Begitu tanya seorang teman, kemarin dulu. Dia bilang, saya hanya harus menuangkan apa yang saya lihat. Saya tahu semua mata itu berbeda. Apa yang saya lihat belum tentu sama di lain mata.

Karena mata adalah bagian paling emosional dari manusia, kata seseorang di masa lalu.

Saya penasaran. Adakah mata lain di luar sana yang sefrekuensi dengan mata saya? Sehingga kami bisa melihat hal-hal yang sama, tanpa perlu bicara panjang lebar sekedar menjelaskan tentang apa yang tertangkap oleh masing-masing mata. Saya mencari mata itu. Saya ingin bertemu, menatap, lalu menyelaminya. Memastikan setiap detail partikelnya, sampai saya temukan secuil mata saya dalam matanya. Lalu mencari tahu hal apa yang membuat mata kami ada di jendela yang sama.

Mungkin saja saya sudah bertemu mata itu, di persimpangan jalan, di trotoar, di kursi taman, di tangga, bahkan di bangku sebelah saya. Mungkin mata itu ada di sekitar saya. Mungkin mata itu tertanam dalam tubuh yang suaranya pernah sampai ke telinga saya. Mungkin mata itu pernah menatap mata saya, namun tak menyadari apa-apa karena tak tahu apa-apa juga saya soal dia.

Saya mencari kamu, wahai mata.
Mata saya ingin sekali bertemu teman yang sebangsa.
Saya ingin sekali bertemu orang yang semata.




Kerapuhan, itu hal yang pertama saya lihat pada warna putih.

Rabu, 04 Desember 2013

Apa kamu pernah merasa? Ketika kamu ingin sekali bicara tapi tak sedikitpun suara yg keluar, padahal kata-kata sudah tergantung di ujung lidah, di belakang gigi, ditutup selapis daging bernama bibir. Kamu cuma bisa diam. Tersenyum sopan atau bahkan membuang muka. Padahal orang itu orang yang kamu suka.
Saya pernah, sangat pernah sampai saya lupa berapa kali tepatnya. Saya tidak bisa bicara pada orang yang membuat saya bangun lebih pagi, berpakaian lebih cepat dan tidak sarapan, sekedar untuk bisa duduk di kelas paling pertama. Supaya saya bisa lihat dia datang, masuk dari pintu dan duduk di kursinya, kursi seberang dan agak kebelakang. Saya hafal benar.
Kira-kira seperti itu cerita saya. Kemarin saya janji akan cerita soal kamu kalau saya sudah tidak sakit jiwa. Saya cerita. Dan sesuai perjanjian, kamu tidak perlu repot-repot baca.
Saya mulai takut salah sangka.

Senin, 02 Desember 2013

Ketika menjadi kuat untuk diri sendiri saja masih keteteran, apa adil jika saya harus menjadi kuat untuk orang lain? Entah.

Minggu, 01 Desember 2013