Kamis, 23 Januari 2014

Potongan puzzle terakhir

Matahari hilang sebelum waktunya. Awan hitam menghalang, membuat perasaan makin tidak tenang. Bagaimana tidak, hari ini malam serasa datang lebih awal. Aku belum sudi mengakhiri hari bahagia ini. Entah kali keberapa mataku melirik jam di tangan. Rasanya aku mulai mirip orang kesetanan.
            Seseorang di depanku seperti menyadari akan hal itu. Mata cokelat mudanya tampak melempar tatapan aku-mohon-jangan-minta-pulang-sekarang. Lalu tatapan itu segera disempurnakan dengan satu kalimat, yang dimaksudkan untuk menenangkan.
            “Masih jam 5, Ve. Bapakmu gak bakal ngunci pager rumah, kok.” Ucapnya sambil menyiritkan mata.
            “Saya tau, tapi ini mau hujan. Pulang sekarang aja ya, please.”
            Itu jurus terjitu yang bisa ku lakukan. Membesarkan mata sambil sedikit berkaca-kaca. Mirip anak kucing memelas yang mati-matian meminta makan. Selalu berhasil meluluhkan perasaan. Terutama, dia. Orang yang menemani hari-hariku hampir 3 tahun kebelakang.
            “Saya tau kamu ini perempuan. Tapi kamu sudah SMA, Ve. Kelas 3. Bapak manapun bakal beri sedikit kelonggaran soal jam sama anaknya.”
            “Kamu enak, laki-laki. Bisa ngomong seperti itu. Nah, saya? Mungkin bapak saya baru bakal ngelepas kalo saya sudah nikah. Sudah punya suami. Ada yang tanggung jawab.” Protesku tidak terima.
            Jurus kali ini memang tidak begitu manjur. Harus dibumbui sedikit curhatan dulu baru bisa bekerja. Dia mengantarku pulang beberapa menit kemudian. Setelah sebelumnya meminta mas-mas mengantar bill makan siang kami yang kesorean. Seperti biasa, dia yang membayar. Namanya Regie Saputra. Menyedihkan. Gie, seperti itu aku memanggilnya.
***
            Seperti dugaan. Bapak sudah stand by di depan pagar ketika aku sampai. Kaosnya putih oblong, celananya biru dongker dengan 2 saku di masing-masing sisinya. Bapak pegang selang, seperti mau menyiram tanaman luar. Baru-baru aku khawatir. Takut selang itu digunakan bapak mencekik Gie yang mengantarku pulang. Selayaknya telepati, aku seperti bisa mendengar pikiran Gie. Dia ketakutan setengah mati. Kami sama-sama menahan nafas, dan melepasnya ketika Bapak tiba-tiba tersenyum ikhlas. Bapak menyuruh Gie singgah sebentar, katanya, beliau masih mau menyiram tanaman.
            Gie satu-satunya kebebasan yang Bapak berikan. Cuma sama keturunan Banjar-Sunda itu aku dibolehkannya keliaran. Itupun masih tetap dibatasi jam malam. Bapak cukup mengenal baik keluarga Gie. Begitu juga sebaliknya. Baru-baru ini Bapak tau, kalau aku dan Gie sudah berteman sejak lama. Kadang ketika saling bertemu, Bapak senang berbicara soal perjodohan. Aku percaya itu cuma iseng-isengan.
            Aku harus menyeduh teh sampai 3 kali, membuka 2 bungkus kue marrie, dan memilihkan acara tv, untuk acara mengobrol senja Bapak dengan remaja pria yang semoga saja tidak dianggap sebagai calon menantunya.
Cepat-cepat aku menyela. “Sudah mau maghrib, loh, Pak. Kasian Gie ditunggu dirumahnya.”
Gie cuma senyum-senyum sendiri. Ia jelas mengerti kalau aku baru saja mengusirnya dari sini. Bapak juga ikut senyum-senyum setelah itu. Aku mulai takut kalau mereka sudah benar-benar lupa keberadaanku.
“Nah. Mending kamu maghrib-an disini aja, Gie. Gak baik jalan maghrib-maghrib. Pamali!” akhirnya kekolotan Bapak keluar juga. Entah maksudnya apa, tapi mereka berdua malah tertawa-tawa.
Gie tidak mengiyakan saran Bapak, tapi tidak juga ia menolak. Kami bertiga sama-sama tau apa jawabannya tanpa harus dia berucap.
“Dia anak baik, Ve. Bapak sudah minta dia untuk jagain kamu.” Begitu kata Bapak. Setelah mengantar Gie ke pagar depan dan melihatnya pulang. Sambil mengacak-ngacak rambutku, seakan aku ini anak SD kelas 1.
Seandainya Bapak tau yang sebenarnya. Aku yakin Bapak akan mati-matian menjauhkanku dari sosok yang disebutnya calon mantu itu. Kalau ditanya soal penyebab pertengkaranku dengan Bapak setiap malam minggu tiba, aku dengan bangga akan menyebut nama Gie sebagai satu-satunya manusia yang bertanggung jawab atas itu semua. Tapi aku tak pernah bilang, Bapak yang rajin baca koran, tidak cukup rajin untuk menanyakan.
Aku mengenal Gie di kelas 1 SMA. Dia memilih duduk denganku saat itu. Aku ingin percaya kalau dia memilih bangkuku diantara 20 buah lainnya, bukan karena aku satu-satunya yang masih duduk sendiri sedang bangku lain sudah terisi. Ia datang ‘agak’ terlambat. Jam depalan. Padahal, panitia MOS menyuruh datang jam enam.
Hari itu tanggal 24 Juli 2010, dan esoknya, aku bukan lagi orang yang sama. Manusia tanpa rencana itu mengubah hidupku sepenuhnya. Ah, tidak. Bukan sepenuhnya, cuma tiga per empatnya saja.
Satu yang ku pelajari dari Gie, jangan pernah melakukan apa yang ia sarankan. Kenapa? Karna Gie bahkan tidak punya saran untuk dirinya sendiri. Ia orang terkacau yang pernah aku temui. Dan sialnya, sama seperti Gie yang tidak pernah menolak apa yang aku pinta, aku juga selalu mengiyakan apapun maunya.
Aku punya hidup konstan yang penuh peraturan. Semua sudah dijadwalkan. Bagun pagi jam 5 kurang 5, mandi lalu sarapan, berangkat sekolah jam 7 kurang 20. Belajar. Istirahat. Belajar. Istirahat lagi. Belajar lagi-lagi. Langsung pulang saat bel sekolah berbunyi. Dan seterusnya, sampai bangun jam 5 kurang 5 lagi. Sejak Gie ada, hidup konstan yang sudah ku pertahankan hampir 15 tahun lamanya, akhirnya cuma sisa kenangan saja.
“Kamu satu-satunya anak 15 tahun tanpa malam minggu, yang pernah jadi teman saya.” Begitu ucapnya dulu ketika awal bertemu. Aku berusaha mati-matian menyangkal ucapannya itu. Dia membuatku merasa seperti remaja tanpa kehidupan remaja. Atau malah orang tua yang terjebak dalam tubuh kecil 157 cm tingginya.
Setiap saran yang Gie berikan aku lakukan, semua berakhir cepat dengan cara yang hampir sama.  Nyaris gagal. Lumayan gagal. Gagal. Dan yang tersering, gagal total. Klise saja. Tidak ada yang jauh berbeda.
Logikaku bekerja. Logikaku mengatakan bahwa aku harus cepat-cepat pergi dari Gie. Dan selama 2,5 tahun, tubuhku berhasil menggagalkan niat logikaku. Kadang aku berpikir bahwa Gie benar dalam satu hal, satu-satunya hal dalam 17 tahun hidupnya itu. Aku memang remaja tanpa kehidupan remaja. Aku takut waktu akan berjalan cepat. Dan tau-tau saja umurku sudah 20 tahun tanpa punya satupun kenangan masa remaja. Aku takut tidak punya apa-apa untuk ku ceritakan ke anak-anakku nanti. Tidak punya hal yang bisa ditertawakan ataupun ditangisi.
Jadi aku mulai mengikuti cara hidupnya yang tanpa rencana. Tanpa berpikir lama-lama dan menimbang satu per satu resikonya. Mengendap-endap tiap malam minggu tiba. Tidak langsung pulang ketika bel sekolah berteriak-teriak mengusir setiap orang. Lebih sering makan diluar, dan macam-macam hal kecil lainnya. Yang jelas membunuh setiap jadwal kegiatan yang sudah kusiapkan. Dan membuat Bapak lebih sering marah-marah karena pulangku telat. Kadang aku harus berbohong pada Bapak, dan menangis semalaman karena menyesal. Aku ingin hidup sebagai remaja. Tapi bukan seperti ini caranya.
Dan dalam hati, aku masih bertanya-tanya apa itu kehidupan remaja, sampai detik ini. Bahkan ketika Bapak sudah berani mengundang Gie masuk ke dalam rumah, aku masih juga belum mengerti.
Ponselku berdering tepat pukul 9 malam. Tanpa nama. Orang iseng macam apa yang menelponku sebegini malamnya. Saat kuangkat, terdengar suara yang serasa mengiris telinga saking kencangnya. “Ve!!”. Ternyata itu Gie. Aku tersenyum dalam hati.
“Tebak, Ve!!” suara itu menggebu-gebu seperti orang yang mengucapkannya sudah siap meledak dengan C-4.
“Kamu ketemu Pak Slamet di diskotik?” tebakku seadanya.
“Bukan!” suara itu terdengar gemas. 2 tahun lebih mengenalku belum juga ia sadar kalau aku tidak suka tebak-tebakan. “Lisa, Ve! Saya nembak dia barusan. Dia terima!” lalu terdengar suara tawanya kegirangan. Sepertinya ia benar-benar bahagia malam ini.
“Wih, asik pacar baru. Kapan traktirannya, Gie? Pajak Baru Jadian…” jawabku menyaingi tawanya.
“Ah, kamu ini, Ve. Gak perlu tunggu saya jadian sama cewek, baru saya mau traktir kamu makan.” Ucapnya sambil tetap tertawa. Ia benar juga, hampir setiap hari makan siangku ditanggung olehnya. Ditambah lagi, orang itu siap sedia mengantarkan makanan ke rumahku saat ku bilang aku sedang butuh camilan. Meskipun tengah malam.
“Eh, Ve.” Lanjutnya menyebut namaku. “Kamu kapan punya pacarnya?”
Aku mati kutu saat itu juga. Aku benci kalau harus berhadapan dengan pertanyaan konyol itu. Aku lebih suka kebebasan menjalin hubungan dengan siapa saja. Status ‘berpacaran’ akan membuat orang terikat dan seakan ber-label. Seperti tempat-tempat tertentu yang sudah dikencingi dan ditandai, tidak ada anjing lain yang boleh mendekati tempat itu. Mereka berkedok ‘pacar’ agar bisa berduaan. Berciuman. Pegang-pegangan. Yang cuma digebu nafsu tanpa malu-malu. Padahal belum tentu ‘pacar’ mereka itu yang akan jadi pendamping hidup mereka sampai mati nanti. Aku tidak mau punya label. Aku tidak mau jadi tempat anjing-anjing untuk kencing.
Aku memang berbeda dengan Gie. Dan ini cuma satu dari sekian puluh ribu perbedaan kami. Selama 2 tahun terakhir aku sudah dengar puluhan nama dari bibirnya. Nama-nama yang punya nama belakang ‘Sayang’. Sheera Sayang. Dewi Sayang. Rossa Sayang. Chika Sayang. Dan sekarang orang bernama belakang ‘Sayang’ itu adalah Lisa. Mereka semua pada umumnya terlihat sama. Kulit putih, badan biola, punya rambut panjang setidaknya di bawah bahu, rajin ke salon tiap hari minggu. Sedangkan aku, Gie cuma pernah mendengar satu nama dari bibirku. Namanya sendiri. Tentu saja bukan dirinya, tapi mereka punya nama yang sama.
“Kamu satu-satunya anak 15 tahun yang naksir sama orang mati, yang pernah jadi teman saya”. Begitu ucapnya dulu, ketika pertama kali aku cerita siapa orang yang aku suka. Dia seorang aktifis mahasiswa di era Pak Karno dulu. Dia dan aku sama-sama memiliki satu kesamaan. Kita sama-sama tidak tau apa itu cinta. Namanya Soe Hok Gie, seorang keturunan Cina. Karna itu ketika orang memanggil seorang Regie Saputra sebagai Putra, aku lebih memilih memanggilnya dengan nama Gie.
Soe Hok Gie mati muda. Dan sampai sekarang, seorang Regie Saputra masih tidak bisa mengerti bahwa meskipun seseorang sudah mati, pesona tetap bisa hidup abadi.
“Kamu masih nge-stuck sama Gie-Yang-Sudah-Mati itu, ya? Seandainya kamu ngerti, Ve. Orang mati gak bisa kamu jadikan pacar. Masih mending nempel poster artis di kamar dan berharap suatu saat nanti kamu bisa jadi gebetan artis itu. Setidaknya mereka masih hidup. Masih ada harapan. Nah kamu, sekali nempel poster, poster orang mati” cerocos Gie membabi buta. Melihat aku yang tidak bereaksi apa-apa atas pertanyaannya.
“Gie! Saya gak pernah bilang pengen Gie-Yang-Sudah-Mati jadi pacar saya. Saya cuma pernah bilang kalau seandainya sosok seperti dia masih ada sampai sekarang, saya akan jatuh cinta padanya.”
“Ve…”
“Apa?”
“Kamu memang beda, ya. Karna itu saya gak pernah bisa jauh dari kamu. Gak peduli berapapun cewek yang saya taksir, tapi nama Silvana Vega selalu punya tempat paling lebar di hati saya.”
“Gie…”
“Apa?”
“Gombalmu jelek. Harus latihan lagi supaya bisa buat Lisa terlena.”
Ia tertawa keras sampai kujauhkan ponselku dari telinga. Bagaimana ia bisa tertawa sebegitu kerasnya, padahal aku sama sekali tidak bercanda. Hampir satu jam kami bertelponan, ia membuat laporan lisan lengkap soal pacarnya. Baru-baru aku tau kalau Lisa sudah menaksirnya semenjak dulu, dan betapa cemburunya gadis itu dengan diriku.
“Ve, besok malam saya boleh main ke rumah, ya? Sekalian nganter kain  oleh-oleh Papa buat Bapak kamu.”
“Wih, dari mana lagi sekarang? Lombok?”
“Bukan. Toraja. Lombok bukan tempat kain, Ve.”
“Oh” jawabku seadanya. Aku memang tidak punya bakat tebak-tebakan.
“Jam 8, ya?”
“Hm..” aku berpikir dulu. Mencoba mengulur waktu. “Oke.”
Tiba-tiba terdengar suara ‘tut’ panjang. Ia menutup duluan. Mungkin ia terlalu bahagia malam ini, sampai-sampai lupa mengucapkanku selamat malam.
***
            Aku menunggu cemas di balik pagar. Jarum panjang jam sudah melewati angka 4 ketika jarum pendeknya tepat diangka 8. Kemana Gie? Aku takut sesuatu menimpanya di perjalanan. Seperti tabrakan atau masuk ke sungai dan tidak pernah ditemukan. Terlebih langitnya seperti sedang dalam sesi pemotretan. Kilat. Cahaya flash dimana-mana.
            Tak lama kemudian cemasku teredam. Lega rasanya mengetahui ia tidak tabrakan atau masuk dalam sungai dan tidak pernah ditemukan. Rupanya cemas itu tidak hilang, hanya bertransformasi jadi kekesalan.
            “Kemana aja? Malam mingguan dulu sama Lisa?”
            “Enggak. Cuma ngantar dia ke rumah sakit jenguk om-nya.”
            “Oh. Rumah sakit mana? Paris van Java?” tanyaku menyiritkan mata. Sarkasme itu kadang memang menyenangkan.
            “Ve… Santo Yusup. Om-nya sakit. Beneran.”
            Kesalku mereda, entah karena Gie sendiri, atau langit yang terlalu capek pemotretan, keringatnya jatuh dimana-mana sekarang.
            Langit belum berhenti menjatuhkan keringatnya sampai jam 11 malam. Bapak belum mengijinkan Gie pulang karena takut terjadi apa-apa di jalan. Jalanan malam berbahaya, terlebih ketika hujan. Aku takut keadaannya akan lebih buruk, dan, ya, Bapak mengambil telepon dan berkata bahwa Gie malam ini akan menginap di rumahnya. di rumahku. Disini.
            Ini malam minggu. Lisa, pacarnya, hanya diantar menjenguk keluarga. Sedang aku, kini ia bermalam di rumahku. Atas seijin Bapakku. Kalau tau, Lisa pasti sudah gosong terbakar cemburu. Tapi aku tidak melihat Gie memegang ponsel semenjak datang, tidak ada telepon atau sms, bahkan untuk mengecek saja ia terlihat tidak berminat.
            Gie tidur di sofa, aku bekali dia dengan sebuah bantal dan selimut tua. Rumah jarang kedatangan tamu menginap. Aku keluar kamar saat jam sudah menunjukan pukul 12, memastikan ia baik-baik saja. Rupanya ia belum tertidur saat itu, ia tengah mengamati foto-foto keluarga yang terpampang di dinding-dinding ruang tamu.
            “Gie, yang itu jelek semua. Coba liat yang ini.” ucapku sambil menyodorkan album foto berwarna ungu muda.
            Gie cuma manggut-manggut saja. Bibirnya mulai tersenyum ketika ia buka lembar pertama. Album ungu muda itu mahakarya yang kubuat selama 2 tahun kebelakang.  Album yang merekam bagaimana hidupku menjadi lebih berwarna sejak tanggal dimana ia duduk di sampingku. Menjadi teman dekatku.
            Bapak sudah tidur lelap di kamarnya. Kadang kami harus membekap mulut agar tidak tertawa terlalu keras, karna sebagian besar dari foto-foto ini terlihat begitu menggelikan dan sebagian lagi memuakkan.
            “Keren, Ve. Niat banget kamu bikin album ini jadi kayak bentuk puzzle.”
            “Habis, Saya suka puzzle. Asik. Bikin penasaran, tapi gak kayak tebak-tebakan. Kita sudah tau semua jawabannya, tinggal kita rangkai aja sendiri. dan akhirnya selalu bener kan?”
            Sekali lagi ia membekap mulutnya agar tidak tertawa. “Berarti kamu  punya puzzle kan? Ambil deh, kita rangkai bareng. Saya gak bisa tidur, kali aja kalo bosan main puzzle jadi ngantuk.”
            Ku sikut bahunya sambil merengut. Dasar tidak tau diri. “Ada sih, hadiah dari Bapak waktu Saya umur 7 tahun. Tapi ada bagian yang hilang. Saya males mainin lagi sejak itu. Toh gambarnya gak akan pernah jadi, gak akan pernah sempurna.”
            Gie terdiam sejenak, tatapannya melemah seakan aku baru berkata hal-hal menyentuh hati. “Sudah lah. Ambil aja, kasian puzzle kamu dinganggurkan bertaun-taun.”
            Dan seperti biasanya, aku melakukan yang ia pinta.
            Kami merangkai puzzle itu selama hampir setengah jam, dengan ukuran 0.5 x 0.5 meter dan warna yang beraneka ragam, jujur ini cukup melelahkan. Jam 1 kurang 5, semua potongan puzzle sudah terpasang. Tapi seperti yang ku katakan sebelumnya, tidak akan pernah sempurna.
            “Liat kan… gambarnya gak bakal jadi, Gie. Percuma.”
            Sebenarnya puzzle ini memiliki gambar yang begitu mengagumkan. Menurutku. Melihatkan pemandangan animasi sebuah taman dengan sekelompok anak-anak yang bertebaran dimana-mana. Tapi sayang ada bagian yang hilang. Bagian itu seharusnya bergambar badan seorang anak laki-laki yang sedang memegang balon. Di sampingnya terduduk seorang anak perempuan di kursi taman. Bagian itu, adalah bagian favoritku.
            Kadang aku menafsirkan gambar itu sebagai sebuah kehidupan remaja. Ceria. Suka duka. Teman-teman dan sebagainya. Aku adalah sosok anak perempuan yang duduk di kursi taman. Yang diam, sedang teman-teman lain sedang sibuk bermain-main. Cuma si pemegang balon yang menemaninya saat itu. Yang menemaniku saat itu. Tapi sayang, bahkan sebagian dari si pemegang balon pun sekarang sudah hilang. Anak perempuan itu kesepian, meskipun berada di tengah taman yang ramai. Seperti aku, yang merasa tidak pernah benar-benar punya kehidupan remaja, dan tidak pernah tau apa artinya.
            Gie tiba-tiba berdiri. Mencari kertas dan merobeknya menjadi potongan kecil. Lalu ia menggambarkan bentuk hati disana. Dengan spidol kecil berwarna merah, yang biasa digunakan Bapak mencatat nomor telepon. Ia menempelkan potongan kertas itu ke bagian puzzle yang hilang. Sejenak aku tidak mengerti apa yang ia lakukan. Sampai bibirnya tersenyum dan berkata; “Liat kan… gambarnya sekarang sudah jadi. Coba perhatiin deh, ini bagian dada cowok yang bawa balon kan? Gak penting apa yang keliatan di luarnya. Yang penting dalemnya, Ve. Hatinya.”
            Aku tertegun sejenak. Merekam kalimat itu di otak dan menyambungkan semua detail hal. Merangkainya seperti puzzle. Dimana aku sudah tau jawabannya dan tinggal kurangkaikan saja. Dan akhirnya selalu benar. Selalu sempurna. Ya, gambar itu sekarang sudah jadi. Tidak ada lagi bagian yang hilang dari si pemegang balon. Gadis kecil yang duduk di kursi taman tidak lagi kesepian. Aku tidak perlu lagi bertanya-tanya apa itu kehidupan remaja. Puzzle ini sudah terlengkapi. Hidupku sudah terlengkapi.
            potongan puzzle terakhir. Ucapku dalam hati.
            “Potongan puzzle terakhir” Ucapku lagi, kali ini bukan cuma dalam hati, kali ini kutujukan untuk Gie.
            Gie tidak menjawab. Bibirnya tersenyum hangat.
“Gie, mulai sekarang saya akan berhenti nyari apa itu kehidupan remaja. Saya sudah punya hidup saya sendiri. Saya cuma perlu mimpi. Dan saya baru sadar saya sudah punya itu sejak 2 tahun lalu. Gie, kamu ngebuat saya hidup dalam mimpi, terlepas seperti apa saya di kehidupan nyata. Album ungu muda itu buktinya. Saya mau hidup seperti itu sampai mati.” Aku tersenyum ringan. Senyum ringan yang dalam. Namun senyumku itu dibalas dengan senyuman kita-lagi-ngomongin-apa-?. Rasanya ingin kulayangkan tinjuku ini tepat ke wajahnya. Mematahkan tulang hidungnya, dan membuat ia mimisan 3 hari 3 malam. Tapi aku percaya, ia mengerti betul apa yang aku kata.
“By the way, sampai kapan kita akan tetap bicara pakai ‘Saya’? ‘Saya’ itu kaku. Saya sudah hadiahin kamu mimpi, loh…”
“’Saya’ itu romantis, Gie... Sampai tua. Sampai rambut hitam saya putih rontok dan mata cokelatmu berubah jadi abu-abu. Sampai kita punya anak cucu. Cicit kalau perlu.”
“Kita? Anak?” tatapannya berubah serius. Perpaduan terkejut dan berharap sekaligus.
“Anak kita masing-masing, Gie!” nadaku meninggi. Berusaha mengkonfirmasi. “Jangan harap saya mau nikah sama kamu, Gie. Enak saja. Kamu pikir saya mau gantungin masa depan saya sama orang kayak kamu? Iyuh…” alih-alih melempar tatapan se-illfeel mungkin, kedua tangannya malah memelukku tiba-tiba. Erat. Sampai sesak rasanya. Baru-baru aku sadar sesak bukan karena pelukkannya. Air mataku pecah tiba-tiba. Aku tidak suka.
“Gie… saya gak mau jadi istri kamu. Saya gak mau ngandung anak-anak kamu. Saya jamin itu. Tapi saya mau meluk anak-anak kamu. Seperti ini. saya pengen gendong bayi-bayi kamu yang lucu-lucu. Saya pengen jadi tante mereka kalau perlu. Toh saya ini…” suaraku tertahan. Tak tau apa yang harus kukatakan. 
“Sahabat abadi Bapak mereka sampai mati.”  Ucapnya melanjutkan.
Gie ikut menangis. Entah menangis atau sekedar pilek karena sempat kehujanan. Tapi aku tidak peduli lagi. Sempurna sudah puzzle yang ia lengkapi dengan sepotong kertas tadi. Warnanya memang berbeda. Tapi maknanya tetap sama. Air mata sudah meleburkan perbedaan warna puzzle-nya.
Sama halnya seperti kami berdua.
“Ve, gimana kalau saya mati sebelum sempat jadikan kamu tante anak-anak saya?” pertanyaan itu keluar tiba-tiba dari mulutnya.
Rupanya Gie belum juga percaya soal teori ‘orang mati dan pesona’ yang sejak dulu kukatakan berulang kali padanya. Bahwa manusia memang mati, tapi pesonanya tetap bisa hidup abadi.
“Gak apa, Gie” ucapku pelan.
“Kamu tetap jadi pencipta mimpi saya.”
Selamanya.

Lalu aku bertanya-tanya sudah berapa kali kusebut namanya dalam percakapan kami.
Gie.


Jumat, 17 Januari 2014

Cokelat tua

Mereka bilang orang pasti berubah dari waktu ke waktu, tapi kini aku bernafas dan menjadi saksi hidup bahwa beberapa orang akan tetap sama dan diam pada tempatnya.
Hari itu aku bangun lebih pagi, duduk diam lebih lama sebelum akhirnya memijakan kaki di lantai yang dingin. Hujan membuat semua terasa beku, berjalan tanpa alas kaki membuat kita seakan bermain ice skating tanpa sepatu. Langkahku terhenti di depan jendela yang tirainya setengah terbuka, dan ku temukan cerita di sana.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri di bawah payung biru yang kau pegang di tangan kiri. Mengepit koran pagi. Lucu bagaimana namamu bukan jadi pertanyaan pertama yang lewat di kepalaku, melainkan nama harian pagi itu. Kompas, tribun, sapos, ataukah sekedar majalah bulanan yang sedang ingin kau baca pagi hari? Aku tidak tau pasti, kau berdiri terlalu jauh, di luar jangkauan mataku yang belum ditamengi dua lensa minus lima.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri menghadap jalanan seakan menunggu angkutan. Seakan kau tidak tahu bahwa tidak ada angkutan sepagi itu, ataukah kau memang orang baru? Lucu bagaimana aku memikirkan tentang trayek apa yang tengah kau tunggu, A, B, C, ataukah D, terlepas dari pertanyaan tentang tanggal berapa dan dimana kau dilahirkan. Mungkin karena aku tidak peduli soal masa yang sudah lewat, lebih tertarik pada hal yang belum terjadi dan belum tentu akan terjadi. Seperti halnya andai kita bertemu dalam satu angkutan, mungkin di trayek A, B, C, ataukah D, kau dan aku duduk berdampingan, bahu kita bersentuhan saking desak-desakan.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri di antara rerumputan dan kerikil yang setengah terendam air hujan. Kau memakai sepatu boot kebesaran, dan lucu bagaimana aku bertanya-tanya apakah hitam atau biru warna sepatu boot itu, terlepas dari pertanyaan apakah warna matamu. Bisa jadi hitam, cokelat, bahkan biru. Siapa tahu kau datang jauh dari benua sana, tapi aku tak terlalu peduli karena payung biru menutup wajahmu, jaket tebal juga menutup warna kulitmu.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri sendiri sedari 15 menit lalu. Lucu bagaimana aku berpikir bahwa hujan juga telah membekukanmu, seperti manusia purba yang terjebak dalam bongkahan es batu. Bagaimana aku berhayal keluar pintu rumah dan mendatangimu, menggeretmu masuk kedalam dan kusimpan di lemari pendinginku. Supaya kau tetap seperti itu meskipun hujan sudah tak lagi menyelimuti kota ini. Kau bisa kunikmati selalu seperti ini, dengan payung biru, koran pagi, sepatu boot dan segelas kopi. Tanpa harus ku ajak bicara dan kutanya siapa namamu, tanggal dan tempat kau dilahirkan, atau warna matamu sebenarnya--kuharap kau menutup mata ketika kau beku.
Lalu aku sadar akan sesuatu, mungkin apa yang kulihat hanyalah bayagan semu. Sebatas khayalan yang ingin ku lihat atau bahkan aku masih terlelap di dalam mimpiku. Tidak ada jamiman bahwa kau benar adanya, belum tentu kopi hangatlah yang mengisi gelas kertas ditanganmu itu. Imajinasi terlalu memengaruhiku. Tapi lalu kau menggerakkan tubuhmu, satu gerakan yang tertangkap mataku sebelum akhirnya bus besar menjadi tirai penutup panggung pementasan yang ku nikmati pagi itu. Lenyaplah sudah pikiranku tentang kau yang telah beku. Lenyaplah sudah pikiranku tentang kau, selepas bus itu pergi dengan serta membawamu. Lenyaplah sudah semuanya.
Hari ini aku bangun seperti biasa, tidak lebih pagi dan tidak duduk diam lebih lama. Tapi aku tetap biarkan tirai kamarku setengah terbuka, sehingga andai dunia sudah menjadi gila, akan ku temui lagi kau disana. Di seberang jalan dengan payung sedang menunggu angkutan. Namun kini tak lagi hujan, dan kalender kamar sudah kubuang karna tahunnya yang telah kadaluarsa. Tapi entah kenapa rasa itu tak jua kadaluarsa, rasa yang telah bertransformasi semenjak pertama kali aku sadar kau bukanlah sesuatu yang ingin kusimpan dalam keadaan beku. Aku ingin mengenalmu, bertanya siapa namamu, dan mencari tahu tanggal lahirmu, supaya aku bisa merayakan ulang tahunmu dan menemani setiap harimu setelah itu.
Aku tak pernah tahu mengapa, setiap bangun pagi aku selalu melirik ke arah jendela. Menunggu sesuatu setelah sekian lama, semenjak ku tangkap gerakan yang kau buat tepat sebelum bus itu membawamu entah kemana. Gerakan yang membuatku tidak punya pilihan lain kecuali tetap menunggu dan diam di tempatku, dan  berharap akan tiba suatu waktu dimana aku duduk di sampingmu dalam angkutan, dan bahu kita bersentuhan. Gerakan dimana kau mendangahkan kepala, dimana kau menampakkan mata.
Cokelat tua.
Hadiah untukmu,
Yang sudah terlelap namun tidak beku,
Yang sudah ku tau warna matanya bukan biru,
Yang tidak pernah bosan untuk kutunggu,
Yang selalu ingin lebih aku tahu.

Minggu, 12 Januari 2014

Hari kelima; kembali

Bukan pulang atau pergi, tapi kembali. Sudah cukup lama rasanya, meski keadaan gelap dan tidak semua hal terlihat, tapi saya yakin banyak hal yg sudah berubah. Mungkin orang-orang termasuk kedalamnya.
Di perjalan tadi saya bertemu musibah. Meski bukan langsung saya yang kena, tapi itu benar-benar menyadarkan saya akan sesuatu. Umur tak ada yang tahu.
Orang-orang tidak pulang, tidak juga pergi, mereka hanya kembali.

Sabtu, 11 Januari 2014

Hari ketiga; naskah

Sehari rasanya seperti setahun. Baru 3 hari dan saya sudah merasa berumur 20 tahun. Lalu saya sadar bahwa waktu itu cepat sekali terlewat kalau dipikir-pikir (meski tetap saja lama kalau dirasa-rasa), tahun ini saya 18 tahun, tahun depan 19 tahun, dan tahun depannya lagi baru benar-benar 20 tahun. Umur sebentar lagi sudah kepala 2, dan sudah bisa apa saya sekarang? Yang saya bisa cuma menulis dan menulis. Syukur-syukur kalau tulisan itu bermanfaat, sayangnya hanya seperti ini-ini saja. Bahkan saya tidak yakin nilai Bahasa Indonesia saya di semester ini bagus. Kadang saya tidak enak hati kalau ditanya soal hobi, "menulis" saya jawab. Tapi saya belum merasa jawaban itu ter-realisasi. Memang pernah sempat beberapa kali tulisan saya 'dilirik', tapi rasa-rasanya tidak terlalu membanggakan. Apa saya saja yang terlalu angkuh?

Januari ini saya harus merampungkan satu naskah. Skrip untuk film pendek perdana saya di komunitas, LOC namanya. Literature Optical Cinema. Saya suka namanya, jujur, saya suka sekali. Tempo hari ketika ada pertemuan, kami sepakat untuk menggambil setting pantai, sekalian liburan katanya. Mengakrabkan diri. Saya bersama teman yang sama-sama bertugas mengurus skrip, karena memang sudah sealiran sejak awal, memilih sad ending untuk film perdana ini. Saya berpikir tentang seseorang yang terjebak di satu keadaan dimana dia harus mengambil keputusan. Untuk pergi atau bertahan. Untuk mati atau melawan. Seperti yang saya pernah bilang, ketika hanya ada pilihan melawan atau mati, kita hanya perlu menikmati. memanglah patut dinikmati saat-saat seperti itu. 

Secara teknis ini bukan lagi hari ketiga, sudah lewat jam 12 malam, dan kakak pertama saya berulang tahun yang ke-22. Mengetik ini pun sambil menjilati tangan bekas kue barusan. Enak sekali, tapi makan 3 potong sudah langsung kenyang. 

Ulang tahun. Setahun lagi umur seseorang berkurang.

Beruntung sekali mereka yang hidup dalam tulisan, apalagi tulisan yang mempunyai bukti visual. Mereka tak pernah bertambah usia. Mereka hidup selamanya.

Kamis, 09 Januari 2014

Hari kedua; sepi

Saya merasa tidak benar hari ini. Seperti ada di tempat yang tidak seharusnya. Mungkin karena saya sudah terbiasa hidup di kosan. Dan sekarang terjebak di rumah kontrakan besar ini yang malah sering kali tidak ada orang. Lebih baik tinggal sendiri dari pada ditinggal sendirian. Iya, bukan?

Saya betul-betul tidak nyaman. Apa saya hanya rindu seseorang?


iya, mungkin saja.

Selasa, 07 Januari 2014

Hari pertama; pergi

Apa itu pergi? Dapat kah kamu menjelaskan? Saya tidak meminta essay minimal 5 halaman dengan format MLA. Cukup saya mengerti, dan kamu sudah dapat nilai A. Plus-plus kalau bisa. Tapi saya bukan dosen, saya bukan mahaguru yang bisa memberi kamu penghargaan atas apa yang kamu tahu lebih dari saya. Siapa yang tahu isi otak manusia? Mahaguru pun tidak bisa, kecuali dia punya kekuatan telepati, indera ke enam, atau apalah itu namanya. Jadi, apa itu pergi?
Saya bukan seorang traveler, apalagi backpacker. Tapi entah kenapa saya merasa sudah hidup di banyak tempat. Sampai-sampai ketika saya mengepak barang dan siap keluar, menuju satu tempat lain entah itu pertama atau kesekian kalinya, saya tidak bisa membedakan apakah itu pergi, ataukah pulang.
Memangnya apa itu pulang?
Satu lagi pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu kamu repot menjawab. Kamu tahu? Kadang seseorang lebih nyaman diam dalam gelap, karna dia tidak perlu tahu apa yang ada di sekitarnya, apa yang terjadi, apa yang mungkin bisa memengaruhinya.
Saya memilih tenang, dalam ketidaktahuan, apakah ini pergi ataukah pulang.
Menjelang malam.
Diam, menunggu hujan.