Aku selalu bermimpi untuk jatuh
cinta di perpustakaan semenjak umur 12-an. Namun seiring aku dan buku-buku itu
bertambah tua, rasanya mimpiku tadi makin tenggelam, dan pada suatu hari yang
sudah aku terka, akhirnya ia karam.
Sore
tadi aku habiskan hampir satu jam di lorong buku-buku dongeng. Sekedar memilah-milah,
inikah atau itukah. Ilustrasi-ilustrasi dan warna-warni sampulnya membuat aku
sulit memutuskan buku mana yang harus aku bawa ke meja kasir, yang lalu akan kubungkus
dengan kertas kado dan akhirnya kuberikan sebagai hadiah ulang tahun yang ke-20.
Malam ini, pukul tujuh lewat tujuh belas, aku 20 tahun pas.
Sementara
sore-sore yang lalu seorang teman bertanya, soal niatanku merayakan ulang tahun
ke-20 sendirian di perpustakaan, dengan sebuah kado pemberian diri sendiri yang
konyolnya adalah buku dongeng untuk anak ingusan. Sementara, menurut dia, aku
bisa saja menghabiskan momentum sakral itu bersama teman-teman sebaya dengan
hal-hal sesuai umur. Dan aku tahu pasti ketika ia bilang “sesuai umur”,
perkataannya merujuk pada aktifitas di bar-bar malam, dengan sedikit minuman,
sentuhan, juga goyangan. Aku tersenyum kecil menanggapi pertanyaan temanku itu,
kubilang, “Aku tak pernah dibacakan dongeng sewaktu kecil.” Kami tidak pernah bicara lagi.
“Bah,
mau berdoa dengan saya?”
Tanyaku
mencuat di antara satu buah kue mangkuk berlilin kecil sebatang dan tumpukan
buku-buku dengan kertas kekuningan. Jam dinding menunjukan pukul tujuh lewat
lima belas. Dan Abah yang sengaja memakai kemeja rapih hari ini, tahu tentang
aku yang resmi berkepala dua terhitung mulai dua menit lagi. Ia mundurkan
kursinya lalu berdiri, berjalan pelan setengah pincang dan berhenti tepat
dihadapanku dan lilin kecil yang menyala itu.
“Kenapa
tidak, Yeng?”
Senyum
Abah hangat sekali sampai rasanya gerimis yang sedari tadi mengetuk kaca-kaca
jendela tetiba berhenti. Kerut yang seakan terpahat permanen di wajah umur 70-annya
itu sama sekali tidak mengusikku. Aku selalu menikmati waktuku bertukar cerita
dengan Abah. Seorang Rohman Supriyadi, yang hangat kusapa Abah, memang tidak
pernah lulus sarjana, tapi karena hampir setengah hidupnya ia habiskan di
perpustakaan, ia selalu punya sesuatu untuk dibahas, dan juga untuk ditertawakan.
Mata
abah terpejam, khidmat melantun doa dalam hati yang tidak aku tahu apa isinya.
Kedua mata itu lalu terbuka, dan
“Giliran
Iyeng yang berdoa sendiri, Abah sudah berdoa yang terbaik buat Iyeng. Semoga
cepat-cepat pergi dari tempat jelek ini dan mendapat kehidupan yang Iyeng
pantas dapatkan, jangan sampai kayak Abah!”
Gelak
tawa mengiringi kalimat Abah yang mungkin sudah ia siapkan dari jauh-jauh hari
itu. Gigi depannya yang hampir ompong semua membuat aku ikut tertawa kecil
penuh suka dan pengertian. Abah adalah pustakawan abadi sekaligus pemilik
perpustakaan kecil ini, sehingga mau tidak mau, Abah harus melihat wajahku
setiap hari tanpa terkecuali. Senin hingga Jum’at pukul empat sampai lima sore.
Sedang Sabtu Minggu pukul lima sore sampai sembilan malam—perpustakaan tutup
saat maghrib tiba, namun aku diijinkan untuk tinggal lebih lama. Pernah suatu
ketika aku absen seminggu dari perpustakaan karena harus dirawat di rumah
sakit, belakangan ini aku baru tahu bahwa ketika itu Abah begitu cemas sampai
menelpon pihak asrama tempat aku tinggal berulang kali. Nyatanya, Abah adalah
figur Ayah yang tidak pernah aku miliki.
“Bagaimana
kabar Ayah kamu, Yeng?”
Pertanyaan
itu muncul di pukul tujuh lewat tujuh belas, pas setelah aku meniup lilin tanda
setahun lagi waktu hidupku berkurang. Baru saja aku resmi keluar dari usia
belasan dan pertanyaan pertama Abah padaku adalah tentang Ayah. Aku ingin
sekali menjawab pertanyaan itu semudah Abah menjawab pertanyaan-pertanyaanku
tentang arloji dan biskuit mari, tapi sayang definisi kata “ayah” dalam semesta
yang aku kenal hanya sekedar donatur penyambung hidup yang hampir tidak pernah
aku temui wujud fisiknya.
“Ayah
sehat, mungkin. Buktinya Ia belum pulang juga, kan, menulis lagi menulis lagi,
katanya untuk majalah ini lah, koran itu lah, tabloid ini lah, buku itu lah.
Saya capek perduli, Bah. Selama saya tidak harus menerima telepon duka dari
seseorang di luar sana soal Ayah saya”.
“Bapaknya
penulis, anak gadisnya kutu buku. Tidak ada yang aneh dari itu, Yeng. Toh semua
orang tua punya cara mencintai yang berbeda-beda”.
Aku
tidak mengerti kenapa Abah selalu punya hal baik untuk dikatakan di waktu
paling buruk sekalipun. Bahkan setelah kalimat itu terucap, bagian kecil dari
hatiku menghangat, lalu merindu.
“Hey!”
Dengan
sengaja Abah membuyarkan kerinduan yang tadi tengah aku hayati dalam-dalam.
Seakan mengerti jika saja kerinduan yang aku pendam itu meluap, hal itu hanya
akan menuai rasa sakit tanpa obat bila dibiarkan berlarut-larut. Dan dengan santainya seperti
tanpa beban, Abah membanting setir pembicaraan kami ke arah yang entah mengapa
terasa lebih pahit dari rindu itu sendiri.
“Tahu
tidak, Yeng? Waktu Abah masih sekolah SD dulu, guru Abah selalu nanya apa
cita-cita Abah. Abah tidak bisa jawab. Abah bilang kalo mimpi Abah itu tidak
muluk-muluk. Abah tidak mau jadi presiden apalagi astronot, Abah cuma mau
membuat anak-anak sekolah nanti bisa baca buku tanpa harus membayar sepeserpun.
Karena Abah merasa betul beratnya orang tua Abah membelikan buku untuk Abah
sekolah”.
Aku
terdiam sejenak, mencerna perkataan Abah yang tidak tahu harus ku maknai
seperti apa. Dan sebelum otak ku selesai memproses kalimat-kalimat tadi,
refleks lidahku bertanya balik,
“Apa
untuk jatuh cinta di perpustakaan itu termasuk muluk-muluk, Bah?”
Tawa
Abah lepas saat itu juga. Setelah lebih dari enam tahun memberiku kartu anggota
perpustakaan, akhirnya Abah menemukan tujuan egoisku yang kalau dipikir-pikir
memang teramat menggelikan.
“Kamu
jelas salah tempat kalau ingin nyari jodoh di sini, Yeng. Jaman sekarang ini
siapa lagi yang masih datang ke perpustakaan untuk duduk dan baca buku? Paling
ya hanya kamu, dan Abah, dan si Fitria anak bungsu Pak Haji Makmur yang
rumahnya persis di samping masjid itu”.
“Bukan
begitu, Bah…”
“Abah
sudah tua… Yeng,”
Aku bisa dengar suara Abah bergetar, “...cuma kamu orang
terdekat yang bisa Abah akui sebagai anak. Malam ini kamu bisa meniup lilin itu
sama tak terduganya seperti besok pagi Abah tidak bangun dari tempat tidur.”
Mata
Abah berkaca-kaca sembari ia membelai kecil rambut sebahuku. Aku tidak mengerti
kenapa Abah mendadak berubah melankolis, sementara di hari-hari normal ia akan
menyetel lagu-lagu Titiek Puspa dan ikut berjoged selama tidak ada orang yang
kedapatan melihat.
“Abah
kok begitu bicaranya? Kalau soal umur, manusia tahu apa, Bah. Nenek 112 tahun
di Cina tidak menyangka kalau bakal hidup selama itu, sama seperti adik saya yang
tidak menyangka kalau bakal mati 2 jam setelah dilahirkan”.
Garis
bibir Abah tertarik sepersekian centi. Biasanya, di saat-saat seperti ini Abah
akan melakukan serangan balik berupa lelucon yang hampir selalu menempatkan aku
sebagai objek tertawaan. Dan benarlah.
“Maka
dari itu, Yeng. Kamu cari pacar cepat-cepat, biar nanti tahun depan wisuda
sudah punya gandengan untuk foto! Nanti Abah mau cuci fotonya satu yang besar,
Abah pasang di ruang tamu”
Abah
tertawa lagi. Lepas. Aku sekadar tersenyum. Kecut.
“Tanggalkan
saja itu mimpi kamu buat jatuh cinta di perpustakaan, Yeng… Susah! Mau kamu
jadi perawan tua? Ujung-ujung nanti malah menikahi buku-buku bau itu.
Amit-amit, Iyeng!”
“Abah…”
kali ini Pak Rohman mulai keterlaluan. Aku tidak pernah punya niatan untuk
menikahi buku seberapapun aku cinta. Tapi
benar juga apa yang Abah coba sampaikan kepadaku. Tentang waktu.
Waktu
membuat sesuatu tiada pada akhirnya. Seperti manusia yang mati, atau kertas
yang perlahan sisa debu saking tuanya. Seperti waktu yang sudah mendoktrin
semua orang agar menjauh dari lorong-lorong perpustakaan. Seperti waktu, yang
aku.
Setelah
Abah lelah menghujaniku dengan guyonan-guyonan pedih, ia menarik nafas
dalam-dalam. Terlalu dalam sampai awalnya ku kira Abah akan menjungkang dari bangku
yang ia duduki. Fokus mata Abah lalu tertuju pada bungkusan kecil di sudut meja
yang sedari tadi belum aku sentuh. Sengaja tidak aku sentuh.
“Kenapa
itu kado tidak dibuka, Yeng?”
“Ini
kado harus Abah yang buka. Setuju?”
Aku
tersenyum mantap. Giliran Abah mengerutkan kening.
Tapi
tanpa diminta lagi Abah langsung menyambar bungkusan kado itu, membukanya
dengan sekali robekan tanpa memikirkan tentang waktu yang aku habiskan untuk
membungkusnya sedemikian rupawan.
“Anak
Itik yang Buruk Rupa? Hans Christian Andersen? Kamu sehat, Yeng?”
Suara
Abah cenderung bingung daripada menahan tawa. Aku tidak masalah dengan itu.
Senyumku malah makin mantap, dan dengan suara yang sengaja kubuat terdengar
sangat serius, akhirnya aku utarakan agenda terbesar malam istimewa ini pada
Abah dan kumis berubannya itu.
“Abah
tahu apa mimpi saya selain jatuh cinta di perpustakaan? Saya ingin sekali
dibacakan Dongen, Bah. Sekali saja. Hitung-hitung membasuh luka tak pernah
dibacakan dongeng oleh orang tua sewaktu kecil.”
Kening
Abah perlahan mendatar seraya garis bibirnya terarik lebar.
“Dan
saya ingin Abah, orang terdekat yang bisa saya anggap sebagai Ayah, yang
membacakan dongeng itu spesial di ulang tahun saya ke dua puluh ini. Malam ini.
Sekarang. Mau, kan, Bah?”
Garis
bibir Abah yang makin melebar lalu robek dengan gigi ompong yang jelas terlihat
meski lampu ruangan tidak terlalu terang.
“Kenapa
tidak, Yeng?” Hangat. Seperti biasa.
Abah
mulai bacakan kalimat demi kalimat, suara paraunya menghantarkanku pada lautan lepas
yang tenang dan menenangkan. Hanya aku dan kemilau permukaan biru. Tak pernah aku
merasa sebegitu aman.
Sekedar
itu yang kuingat.
Embun
pagi dari jendela yang terbuka menyadarkanku akan dua hal; Semalam, aku tak bisa
berenang. Semalam, di atas gambar seekor anak itik yang tengah menangis, tangan
Abah terhenti,
kaku
seperti rak-rak kayu jati.
20/11/15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar