Rabu, 23 Desember 2015

Di Balik Senyuman Topeng Fawkes V for Vendetta: Kemelut Fasis dan Anarkis

“Kita diajarkan untuk mengingat pemikiran, bukan manusia. Karena manusia bisa gagal. Ia bisa tertangkap. Ia bisa mati dan terlupakan. Tapi 400 tahun kemudian, sebuah pemikiran masih bisa mengubah dunia. Aku menyaksikan sejak awal akan kedahsyatan sebuah pemikiran. Aku melihat bagaimana manusia membunuh dengan mengatasnamakan pemikiran, dan juga mati karenanya. Tapi kau tak bisa mencium sebuah pemikiran, kau tak bisa menyentuhnya, atau mendekapnya. Pemikiran tidak berdarah, ia tidak merasakan sakit, ia tidak merasakan cinta.“

Disuarakan oleh tokoh Evey (Natalie Portman), narasi di atas hadir sebagai pembuka film V for Vendetta garapan sutradara James Mc Teigue tahun 2005. Aktor Hugo Weaving yang memerankan tokoh sentral V tidak menampakan wajahnya sama sekali sepanjang film berdurasi 132 menit ini, berbalut pakaian serba hitam dan bertopeng ala Guy Fawkes ia berhasil menyampaikan cerita tentang pencarian “dewi keadilan yang tengah berlibur”. Secara garis besar, film ini berkisah tentang pencarian jati diri wanita muda Evey yang dipacu oleh pertemuan tanpa sengajanya dengan tokoh V, pria bertopeng misterius yang lalu meledakan dua landmark kota London dan mengambil alih British Television Network untuk menyebar pesan revolusioner, ditengah tirani Konselor Sutler yang totaliter.

Sejak awal berbicara tentang “pemikiran”, film ini sangat lekat membahas tentang aspek-aspek ideologi. Menurut Ajidarma dalam Diktat Kuliah Kajian Sinema, sebagaimana dituliskan oleh Mega Subekti dalam esai “Kontesasi Wacana Barat dan Timur dalam Film Sang Pencerah”, ideologi dalam sebuah film sering dimaknai sebagai ruang rekonstruksi dan representasi realitas sosial yang telah direkam melalui pendekatan realisme estetik. Sehingga V for Vendetta dengan sinematografi apik dan tertata menggambarkan bagaimana anarkisme kadang dibutuhkan demi tersulutnya revolusi, sehingga tercapailah merdeka yang hakiki.

Terminologi anarkisme sendiri secara luas disalahpahami oleh kebanyakan awam. Dalam tatar politik, anarkisme selalu disamakan dan disangkutpautkan dengan chaos, sehingga para anarkis seakan dimaknai sebagai orang-orang yang mendukung diberlakukannya lagi hukum rimba yang cenderung bar-bar.  Seorang anarkis L. Susan Brown menyatakan dalam buku The Politics of Individualism, “Meski pemahaman umum mengenai anarkisme adalah suatu gerakan anti negara kekerasan dengan kekerasan, anarkisme adalah suatu tradisi yang bernuansa lebih dalam daripada sekedar perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah. Kaum anarkis menentang pemikiran bahwa masyarakat memerlukan kekuasaan dan dominasi, dan malah membela bentuk-bentuk organisasi sosial, politik, dan ekonomi yang anti hierarki dan lebih kooperatif.”

Dalam pernyataan di atas dapat dimengerti bahwa anarki ada sebagai reaksi kekerasan atas aksi yang juga merupakan kekerasan. Tokoh V di sini juga berlaku demikian. Di bawah pemerintahan Konselor Sutler yang cenderung menciptakan terror massa bagi rakyatnya sendiri, seorang misterius yang hanya samar diceritakan asal usulnya hadir dengan wajah tertutup topeng. Meminjam identitas Guy Fawkes, seorang yang dihukum gantung atas percobaannya meledakan gedung parlemen pada 5 November 1605, V beranggapan bahwa “Rakyat tidak seharusnya takut pada Pemerintah”. Tokoh V percaya bahwa “pemikiran” Guy Fawkes memang benar adanya, bahwa meledakan gedung bukanlah hanya membuat bangunan kokoh menjadi runtuh. Meledakan sebuah gedung adalah upaya menghancurkan simbol yang dapat menuntun orang-orang pada perubahan mendasar tentang siapa sebenarnya yang berkuasa dalam suatu negara.

Latar cerita dalam film adalah  Inggris Raya yang telah menyerahkan kebebasan dan hak-hak individualnya pada pemerintahan totaliter dengan sebutan “Norse Fire”. Unsur Fasisme jelas terlihat pada sisi ini. Fasisme sendiri adalah gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Para Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi. Mereka menganjurkan pembentukan partai tunggal negara totaliter. Fasis meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme sebagai upaya untuk memberikan perubahan positif dalam masyarakat. Estetika politiknya menggunakan simbolisme romantis, mobilisasi massa, pandangan positif kekerasan, dan kepemimpinan karismatik.




Semuanya seakan divisualisasikan dalam V for Vendetta. Unsur otoriter dan militerisme terang-terangan diangkat dengan tatanan sinematografi dramatis. Konselor Sutler juga digambarkan sebagai tokoh karismatik yang menjadi penyelamat rakyat di tengah kerusuhan yang terjadi. Meski lalu dijelaskan lagi bahwa Konselor Sutler lah yang bertanggung jawab atas kerusuhan-kerusuhan itu. Perang, terror dan penyakit diciptakan oleh pemerintah sendiri demi mengingatkan rakyat akan kebutuhan mereka pada pemerintah. Pandangan positif kekerasan diterapkan atas nama ketertiban yang harus tercipta, dengan bumbu romantisme bahwa pemerintah ada untuk menjaga rakyatnya dari segala keburukan diluar partai tunggal tersebut.

Dalam menggancangkan politik “blame the victim”nya, pemerintah membuat peran media begitu penting. Konsentrasi sinematografi film ini pun cenderung terletak pada televisi, entah itu di rumah-rumah, di bar, bahkan di sebuah panti jompo.



Hal ini sejalan juga dengan aksi tokoh V yang mengambil alih Britain Television Network untuk mengudarakan video pidatonya di saluran darurat. Pergulatan antara fasis dan anarkis ini dibuat seakan jadi sinetron yang tayang bergantian dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kemenangan salah satu pihak pun dengan nyaris puitis juga disampaikan lewat sisi sinematografi.

Dalam teknik pengambilan gambar, dikenal istilah high angle dan low angle. Dimana kedua teknik itu digunakan para sinemaker untuk menyampaikan dan menciptakan kesan yang sesuai dengan ide awal gagasannya. High angle adalah teknik pengambilan gambar dari atas, sehingga menciptakan kesan ciut pada objek gambar. Sebaliknya, low angle menciptakan kesan agung pada objek gambarnya karena diambil dari sisi bawah. Teknik ini digunakan juga dalam V for Vendetta, dalam usahanya mengisyaratkan kekuasaan yang berpindah tangan.


Hampir sepanjang film berdurasi lebih dari 2 jam itu, Konselor Sutler sering kali dimunculkan dalam televisi raksasa seperti pada gambar di atas. Gambar di atas ini merupakan suasana “rapat” antara Sang Konselor Agung dengan para kaki tangannya. Meski posisi atasan-bawahan jelas terjadi, teknik low angle tidak dijadikan pilihan, dan sutradara memilih hanya menyorot objek gambar dari sisi depan saja (datar).


Perbedaan muncul ketika film ini menampakan video pidato V yang disiarkan di saluran darurat. Dengan telivisi yang ‘jauh’ lebih raksasa dan terletak di pusat kota, teknik low angle digunakan. Kesan agung terlihat sangat jelas, mengisyaratkan kekuasaan yang sudah berpindah tangan dari Sang Konselor ke V. Bila kita lihat lebih teliti pada gambar, ironi jelas disuguhkan pada scene ini. Tepat di samping televisi raksasa yang memutar pidato revolusioner V, terdapat lambang partai “Norse Fire” pimpinan Sutler.

Perpindahan kekuasaan dari fasis ke anarkis lebih ditekankan pada siaran pidato terakhir Konselor Sutler. Dengan televisi super raksasa yang sama, teknik high angle “ekstrim” dipergunakan sebagai simbol kekalahan besar-besaran. 


Scene ini juga diparalelkan dengan scene televisi-televisi biasa di tempat-tempat lain yang entah mengapa ditinggalkan dalam keadaan hidup meskipun tidak ada satupun orang yang menonton. Simbolisme ini menyatakan bahwa suara Sang Konselor Agung tidak lagi didengarkan oleh siapapun.


V for Vendetta ditutup dengan nasib Konselor Sutler dan V yang sama-sama tidak baik. Tapi seperti yang dikatakan oleh V menjelang ajalnya, “Pemikirian itu anti-peluru” dan tetap hidup meski pemikirnya telah mati. Kemenangan anarkis atas fasis yang disajikan dalam film bertumpu lagi pada topeng yang digunakan oleh V. Alih-alih bersembunyi di balik identitas Guy Fawkes, tokoh V merepresentasikan dirinya atas nama semua orang yang menyadari akan ketidakberesan jalannya pemerintahan. Bahwa ketika ditanya siapakah sebenarnya sosok V, Evey dengan tenang menjawab “Dia adalah ayahku, dan ibuku, kakakku, temanku. Dia adalah aku, dan kamu.” 

V adalah rakyat, dan rakyat tidak seharusnya takut pada pemerintahnya. 
Rakyat seharusnya merdeka. 


Jatinangor, 23 Desember 2015
Ananda Bayu Pangestu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar