Selasa, 28 Juli 2015

malam ini saya bertaruh.

sudah lama sekali rasanya mencoba mengusir keinginan bodoh ini. jauh-jauh. sejauh-jauhnya. bahkan kemarin, saya terjaga semalaman berusaha mengumpulkan alasan tambahan supaya pikiran itu hilang dari benak. apa daya. sia-sia.
sudah lama sekali saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi. ini kah, itu kah. lelah dengan hanya menerka. sekali saja, sekali. sekali ini biar saya mencoba. biar saya buktikan sendiri.

malam ini saya bertaruh.
luka hati dan luka fisik, manakah yang lebih dulu sembuh?

Kamis, 16 Juli 2015

Reinkarnasi Arbor

Kurang lebih sama seperti kemarin, kemarin lusa, dan ratusan hari sebelumnya. Kamu duduk di bangku cantikmu, sendiri dengan hanya ditemani secangkir teh yang ditaruh di sisi. Sementara aku berdiri tepat di tempatku, tidak berubah sama sekali, seperti kemarin, kemarin lusa, dan ribuan hari sebelumnya.

Bukankah suatu keajaiban kita bisa jalani satu hal yang sama setiap hari tanpa merasa bosan? Tanpa merasa lelah dan ingin pergi jauh-jauh. Hari demi hari, bulan demi bulan, sampai tahun berganti. Aku mendapatimu di sini dengan porsi yang sanggup aku tangkap, tidak lebih dan tidak kurang. Begitu juga caramu menikmati apa yang bisa aku beri. Sesuai porsi.

Aku rasa tidak sedikit yang percaya bahwa manusia selalu menginginkan lebih dari pada porsinya, apalagi tentang hal  yang tidak bisa mereka genggam. Tapi tidak, kamu beda cerita. Karena itu aku merasa bahwa kamu lah pasangan paling ideal yang pernah ada. Seperti aku, kamu hanya memberi dan menerima sesuai apa yang kamu bisa.

Kamu memang berbeda, aku percaya. Satu saraf istimewa tertanam dalam tubuh mu entah kenapa. Saraf itu membuatmu melihat lebih dekat, merasa lebih dalam, dan berpikir lebih panjang.  Tapi mereka bilang seharusnya kamu bisa melihat jauh bukan dekat, sedangkan merasa lebih dalam hanya akan menghanyutkan dan berpikir terlalu panjang hanya akan membingungkan.

Mereka lantas menyebutmu gila, dan menempatkanmu di sini bersamaku untuk waktu yang sangat lama.

Tapi nampaknya kita memang punya definisi berbeda tentang lama-tidaknya suatu masa. Belasan tahunmu terasa hanya belasan minggu, membuatku merasa bisa hidup selamanya untuk sekedar menemani setiap detikmu. Itu membuatku mengingat semua detail yang kemungkinan besar kamu lupa. Seperti saat pertama kali aku melihatmu duduk di kursi cantik itu, bersetelan rapih layaknya wanita muda kebanyakan meski kamu terlihat sedikit lebih rapuh dari dalam. Seperti ada secuil jiwa yang hilang dari tempatnya.

Beberapa hari kemudian aku melihatmu lagi di tempat yang sama, duduk cantik di kursi yang cantik pula. Hanya saja saat itu kamu terlihat sangat berbeda, tidak ada mantel bulu dan topi mahal seperti kali sebelumnya. Aku mendapatimu dengan hanya pakaian putih sederhana serta gelang tipis yang bertuliskan nomor dan nama. Sama seperti yang lainnya. Meski kamu telah jadi bagian baru dari ‘keluarga’, entah kenapa aku merasa secuil jiwa mu sudah kembali pada tempatnya.

Aku mendengar bisik orang di sekitar, bahwa kamu di sini karena cinta sudah mengecewakanmu untuk yang kesekian kalinya. Bahwa cinta telah membuatmu hidup di satu sisi dunia dimana hanya ada benci dan putus asa. Cinta membuatmu bertanya tentang siapa yang mencintai siapa, karena apa dan untuk apa. Pertanyaan-pertanyaan yang membuatmu gila, membuatmu benci, membuatmu putus asa.

Aku akan duduk di sampingmu seandainya aku bisa. Mendatangimu ke sana, menggenggam tanganmu sambil berkata bahwa tidak masalah kamu ini siapa dan siapa yang kamu cinta. Karena pada akhirnya, di tempat ini kita akan selalu punya ‘siapa’ yang berbeda-beda, ‘siapa’ yang tidak sama.

Karena tidak ada lagi poin menjadi siapa ataupun siapa, kamu bebas menjadi apapun yang kamu suka. Entah itu manusia, burung dara, ataupun segelas manis es kelapa muda. Setidaknya itulah yang kita semua lakukan di tempat ini, menjadi apapun yang kita mau tanpa peduli apapun yang mereka kata.

Aku juga dengar bisik orang di sekitar, bahwa seiring tahun berganti, lukamu itu perlahan terobati. Namun bukan dengan cara yang mereka sudah rencanakan. Ironis karena semakin hari hatimu terobati, semakin juga mereka menganggapmu perlu diobati lagi dan lagi. Mereka bilang kamu sudah jatuh cinta pada sesuatu yang seharusnya tidak kamu cintai. Kamu sudah menaruh hati pada sebuah pohon muda yang tertanam dekat dari tempatmu biasa menghabiskan hari. Kamu semakin gila, kata mereka.

Nampaknya kamu sudah menentukan ‘siapa’ macam apa yang kamu suka. Kamu memilih untuk jadi seorang wanita yang punya konsistensi jatuh cinta pada sosok kayu berdaun di depannya. Sosok yang hanya diam, tidak bergerak apalagi berbicara. Kamu pantas berbahagia karena bagaimanapun, pertanyaan-pertanyaan yang menghantuimu sedikit-sedikit menemunkan jawaban. Siapa yang mencintai siapa, kamu yang mencintai ‘ia’.

Namun aku percaya saraf istimewa itu membuatmu mengerti arti semua meskipun ia tidak bersuara. Aku percaya kamu bisa menangkap segala isyarat yang terkirim lewat udara. Bahwa cintamu terbalaskan sudah, bahwa cintamu tidak pernah sia-sia. Tidak ada lagi penghianatan, benci, apalagi putus asa. Kamu pantas berbahagia.

Dan aku percaya cepat atau lambat kamu akan menemukan jawaban-jawaban lainnya. ‘Untuk dan karena apa kamu jatuh cinta?’. Hati kecilku yakin bahwa saraf istimewamu akan bisa melihat apa yang orang lain tidak. Orang lain melihat terlalu jauh sampai-sampai menganggap yang dekat tidak ada. Karena itulah kamu jatuh cinta, karena kamu hanya menghayati apa yang bisa kamu punya. Saat ini kamu punya sebuah pohon yang setia meneduhkanmu, yang setia menanakanmu oksigen setiap harinya tanpa ada libur kerja. Apalagi yang bisa kamu harap lebih baik dari itu?

Tapi memang mereka tidak bisa mengerti kamu, mereka hanya mau kamu kembali menjadi ‘siapa’ yang memakai mantel bulu dan topi mahal, yang terlihat sedikit rapuh dari dalam. Ketika kamu sudah menjadi ‘siapa’ yang mirip manekin itu, kamu akan menerima kartu bebasmu. Orang-orang akan mulai menerimamu lagi sebagai ‘siapa’ yang mereka mau, bukan ‘siapa’ yang kamu suka. Kamu akan keluar dari tembok beton dan pagar besi ini, karena mereka pikir bukan tempatmu lagi untuk dikelilingi jiwa-jiwa yang tengah terganggu ini.

Kamu akan jalani hari-harimu lagi, namun sudah tidak akan sama dengan kemarin, kemarin lusa, dan ratusan hari sebelumnya. Tidak ada lagi pakaian sederhana dan gelang nama, tidak ada kursi cantik dengan secangkir teh di sisi, tidak ada jatuh cinta dan tidak ada aku yang berdiri di tempat biasanya.

Aku akan tetap di sini ketika kamu sudah menjalani hari-hari lamamu lagi. Aku akan tetap mencintai sesuai apa yang bisa aku terima dan aku beri, tanpa peduli tentang ‘siapa’ yang mencintai ‘siapa’ karena itu tidak ada gunanya. Aku akan percaya bahwa nanti akan tiba suatu hari, di mana aku akan menemuimu lagi. Tidak di tempat ini, bukan seperti ini lagi.

Nanti, ketika mungkin saja kamu adalah bunga dan aku adalah kupu-kupu, kamu jadi secamangkuk kolak dan aku adalah sendokmu, atau bila kita beruntung, kita akan mendapati satu sama lain dalam bentuk yang sama. Entah itu manusia, burung dara, atau dua gelas manis es kelapa muda.

Tapi aku diajarkan untuk hidup di hari ini, bukan kemarin, bukan nanti-nanti. Hari ini, di mana aku dapati kamu duduk di bangku cantikmu, sendiri dengan hanya ditemani secangkir teh yang ditaruh di sisi. Seperti itulah bentuk sempura dari bahagia yang aku punya. Maka, biarkan aku kembali menghayati kamu sesuai porsi yang aku sanggup, sambil tetap menanakan oksigen untuk terus kamu hirup.

Aku mencintaimu dengan segenap akar, batang, ranting dan daun yang aku punya, sampai nanti reinkarnasi mengubah itu semua.

Untuk semua yang bertanya,
kenapa cinta itu buta.
14/8/2014

Obrolan tentang Takjil dan Pulang

Aku melihatmu di persimpangan jalan pagi tadi, di dekat pos polisi. Cantik, seperti biasa. Sempat-sempatnya kamu membantu seorang nenek tua menyebrang jalan. Memang jalanan lumayan ramai, mudik lebaran. Hatiku sepi sekali, aku tak punya rumah untuk pulang.

Tanpa maksud mendeklarasikan diri sebagai penguntit, kadang aku mengikuti langkahmu sampai ke depang gang, saking aku tak tahu harus melangkah kemana lagi. Seluruh sudut kota sudah ku jajahi. Dari awal setahuku semua gang disebut “Mawar”—seperti nama samaran korban pelecehan seksual—sampai sekarang aku hafal mati ada berapa gang tikus di sini dan kemana saja mereka bercabang. Aku tidak akan tersesat lagi. Nafasku sudah bersatu dengan nafas kota. Bersatu dengan asap knalpot bis Damri tua.

Karena itu kah aku memilih untuk tetap tinggal?

Jarum jam sudah hampir menampar angka lima. Hanya tinggal tiga-empat pedangan yang masih mengadu nasib di sepanjang jalan depan gerbang lusuh ini. Mereka bergantung pada orang-orang semacam aku. Orang-orang yang hilang. Orang-orang yang bertahan tanpa alasan. Aku sudah menghabiskan hampir setengah jam untuk duduk di bangku panjang ini, sambil fokus berpikir; es pisang hijau, bubur sumsum, kolak, es buah, ataukah sekedar es teh melati dari kios kopi rasa-rasa milik mas-mas seram bertindik itu?

Es pisang hijau sudah jadi takjil abadiku semenjak dua minggu yang lalu, kalau sampai hari ini aku memilihnya lagi, lidahku pasti sudah bosan sebosan si Bapak penjualnya melihat wajahku setiap sore. Tapi aku sedang tidak ingin bubur sumsum atau kolak. Aku benci es buah dan aku malas melihat wajah penuh tindik yang menyebalkan itu.

Mungkin aku harus menunggu setengah jam lagi duduk di sini, di bangku panjang ini. Barangkali tiba-tiba kamu muncul dari balik gerbang-gerbang itu, sama-sama bingung memilih manis macam mana yang mau kamu nikmati maghrib ini. Atau barangkali akan ada seorang dermawan yang tiba-tiba datang membagikan kotak bukaan, sehingga aku tidak perlu memilih lagi. Aku benci sekali pilihan.

Kaki ku pegal terlalu lama diam. Aku bangkit dan mulai berjalan meski kantor pusat di atas sana belum memutuskan ingin membeli apa. Diam. Mengamati sekitar. Sepi sekali sudah. Aku ingat betul awal-awal bulan ini dimulai; tempat ini seperti pasar siluman. Pasar yang tiba-tiba sesak dalam hitungan detik, membuat orang sulit bergerak, sulit bernapas. Sekarang hanya tinggal napas berat para penjual melihat dagangannya belum juga laku meski hari semakin gelap.

Ibu-ibu bercelemek tiba-tiba duduk di sampingku. Sambil sibuk mengelap tangannya yang penuh minyak gorengan dengan serbet robek-robek seperti milikku di kostan. Nadanya hangat sekali bertanya.

Naha teu acan mudik, sep?”
“Enggak, Bu. Kayaknya saya di sini aja lebarannya. Ibu mudik?”
“Ibu mah asli sini, makanya sampe sekarang masih jualan juga. Yang lain mah udah pada balik, udah pada mudik. Mahasiswa juga udah pada mudik, sepi kieu. Gorengan Ibu belum habis-habis ini teh. Karunya si ade teu acan dipangmeulikeun acuk anyar keur solat Ied

Aku terdiam sejenak. Ibu-ibu pedagang yang bahkan belum pernah kubeli gorengannya ini tiba-tiba mencurahkan keresahannya akan baju lebaran anak, sedang aku bahkan tidak bisa menyebutkan satu dua kata perihal keresahanku akan rumah pada sahabat yang kukenal sejak masa rambutku botak sampai sekarang gondrong sebahu. Mungkin memang seperti itu, lebih sederhana hidup sebagai Ibu-ibu penjual gorengan ketimbang jadi sosok seperti aku.

“Gorengannya satunya berapa, Bu?”

Ku akhiri pembicaraan itu dengan mengeluarkan uang lima ribu dari dompet. Hitung-hitung untuk bantu dana baju lebaran anak. Tempe goreng dan tahu isi? Aku alergi kedelai.

Aku kembali duduk di bangku panjang tadi, masih berpikir andai saja bisa bertukar tempat dengan si  Ibu penjual gorengan. Aku rela setiap hari berhadapan dengan katel besar penuh minyak panas, menggoreng tempe dan tahu, pisang dan sukun juga kalau perlu. Sekali dua kali terciprat minyak, toh nantinya juga akan kebal, akan terbiasa. Seperti aku terbiasa dengan kota ini. Dengan panas, terik, asap, dan sepi. Aku terbiasa akan sepi.

Sudah hampir setengah enam. Aku cuma punya dua tempe goreng dan tiga tahu isi di genggaman; yang aku beli tanpa pilihan. Teknisnya aku belum memilih apa-apa. Kantor di atas sana masih sibuk menentukan. Aku coba buka kresek hitam gorengan itu, aku lihat lagi bentuk-bentuknya, aku hayati remah-remah tepungnya.

Setelah aku lempar lagi pandangan ke arah depan, sudut mataku menagkap bentuk baru—yang bukan tempe goreng dan tahu isi. Kamu. Bahu kita terpaut tepat lima jengkal.

Tahukah kamu bahwa ini adalah jarak terdekat kita? Lima jengkal. Tidak lebih. Aku bisa saja rebah ke arahmu dan tidur dipangkuan itu kalau saja aku mau. Tapi entah, mungkin lebih baik aku tanyakan dulu siapa namamu. Tapi entah juga, mungkin lebih baik langsung aku curahkan saja segala yang ada di pikiranku sekarang. Tentang gorengan. Tentang es pisang hijau. Tentang teh melati. Dan tentang pulang ke rumah.

“Saya sering sekali melihat kamu di sekitar sini. Kenapa belum mudik?”

Kamu tidak merespon. Matamu tetap mengamati benda-benda bergerak di hadapan. Maka aku gerakan juga tanganku supaya kamu sadar, setengah melambai. Kamu menoleh, akhirnya. Tersenyum kecil. Manis. Manis sekali. Lalu membuang muka. Seperti itu. Senyummu tinggal kenangan.

Aku bertekad untuk tetap melanjutkan apapun itu yang ingin aku ceritakan padamu. Tidak peduli bagaimana kamu merespon. Diam kah. Tertawa kah. Menangis kah. Atau pergi menjauh sekalipun. Tidak bisa kubendung lagi. Aku harus mencurahkan resah ini pada satu manusia. Kamu.

“Saya tidak mudik lebaran kali ini. Bapak menyuruh pulang. Ibu juga. Tapi dua-duanya minta saya untuk pulang ke rumah yang berbeda. Sementara saya sendiri merasa tidak punya rumah. Saya harus apa?”

Aku menelan ludah.

“Kamu pasti orang sini ya? Tidak mudik. Kadang saya iri dengan pribumi, saya perantau bisa apa. Hanya menumpang. Kalo hari besar seperti ini, yang menumpang biasanya diharapkan untuk balik ke asalnya masing-masing. Kalau saya tidak mau, bagaimana? Lagi pula saya ingin tahu bagaimana rasanya lebaran di sini. Saya penasaran mesjid dan lapangan mana saja yang akan dipakai untuk solat Ied nanti. Kamu tahu? Tidak ya? Hehe. Memangnya apa juga esensi dari mudik itu sendiri? Supaya bisa berkumpul dengan sanak saudara? Itu saja? Toh bisa juga bertemu di luar euphoria lebaran. Saya belum mengerti sampai sekarang.”

Kamu masih diam. Kakimu menggantung dan kamu ayun-ayunkan. Tampak sedang menunggu sesuatu.

“Saya sudah biasa seperti ini. Dari dulu, ditemani sepi. Sudah bersahabat dekat bahkan semenjak saya, Bapak, Ibu dan Adik masih satu atap. Sekarang saya lebih suka di sini. Sudah nyaman. Sudah kenal dengan kuncen-kuncen tiap sudutnya. Kadang juga saya tidur siang di rumput arboretum, kalau sedang suntuk-suntuknya masalah kuliah. Dari pada tidur di kamar kostan, kalau saya tiba-tiba mati, kasian tetangga nanti kebauan.”

Kamu tiba-tiba mendongak sedikit, lalu melambai. Seseorang dari seberang jalan berlari menghampirimu. Ia memelukmu. Erat. Erat sekali. Lima jengkal dari tubuhku. Kalian terlihat seperti teman lama yang akhirnya bertemu kembali. Aku memang tidak yakin seberapa lama, tapi aku cukup yakin bahwa ia jauh lebih mengenalmu, ketika ia mulai menggerakaan tangannya begini begitu.

Kamu tuna rungu.

Enam jengkal. Tujuh jengkal. Delapan jengkal. Sembilan jengkal. Sampai kalian menghilang di balik gerbang. Lalu tinggal aku sendiri.  Seperti biasa. Sepi.

 “Sebenarnya, saya ingin sekali pulang” cuma angin yang mendengar.

Adzan akhirnya berkumandang. Para penjual takjil sudah dorong gerobak, pulang. Mungkin bersiap untuk takbiran.

Stok CTM-ku sudah habis di kostan.


Perantau kecil yang tidak tahu harus pulang kemana,
N


Wonosobo, 16/7/15