Rabu, 23 Desember 2015

Di Balik Senyuman Topeng Fawkes V for Vendetta: Kemelut Fasis dan Anarkis

“Kita diajarkan untuk mengingat pemikiran, bukan manusia. Karena manusia bisa gagal. Ia bisa tertangkap. Ia bisa mati dan terlupakan. Tapi 400 tahun kemudian, sebuah pemikiran masih bisa mengubah dunia. Aku menyaksikan sejak awal akan kedahsyatan sebuah pemikiran. Aku melihat bagaimana manusia membunuh dengan mengatasnamakan pemikiran, dan juga mati karenanya. Tapi kau tak bisa mencium sebuah pemikiran, kau tak bisa menyentuhnya, atau mendekapnya. Pemikiran tidak berdarah, ia tidak merasakan sakit, ia tidak merasakan cinta.“

Disuarakan oleh tokoh Evey (Natalie Portman), narasi di atas hadir sebagai pembuka film V for Vendetta garapan sutradara James Mc Teigue tahun 2005. Aktor Hugo Weaving yang memerankan tokoh sentral V tidak menampakan wajahnya sama sekali sepanjang film berdurasi 132 menit ini, berbalut pakaian serba hitam dan bertopeng ala Guy Fawkes ia berhasil menyampaikan cerita tentang pencarian “dewi keadilan yang tengah berlibur”. Secara garis besar, film ini berkisah tentang pencarian jati diri wanita muda Evey yang dipacu oleh pertemuan tanpa sengajanya dengan tokoh V, pria bertopeng misterius yang lalu meledakan dua landmark kota London dan mengambil alih British Television Network untuk menyebar pesan revolusioner, ditengah tirani Konselor Sutler yang totaliter.

Sejak awal berbicara tentang “pemikiran”, film ini sangat lekat membahas tentang aspek-aspek ideologi. Menurut Ajidarma dalam Diktat Kuliah Kajian Sinema, sebagaimana dituliskan oleh Mega Subekti dalam esai “Kontesasi Wacana Barat dan Timur dalam Film Sang Pencerah”, ideologi dalam sebuah film sering dimaknai sebagai ruang rekonstruksi dan representasi realitas sosial yang telah direkam melalui pendekatan realisme estetik. Sehingga V for Vendetta dengan sinematografi apik dan tertata menggambarkan bagaimana anarkisme kadang dibutuhkan demi tersulutnya revolusi, sehingga tercapailah merdeka yang hakiki.

Terminologi anarkisme sendiri secara luas disalahpahami oleh kebanyakan awam. Dalam tatar politik, anarkisme selalu disamakan dan disangkutpautkan dengan chaos, sehingga para anarkis seakan dimaknai sebagai orang-orang yang mendukung diberlakukannya lagi hukum rimba yang cenderung bar-bar.  Seorang anarkis L. Susan Brown menyatakan dalam buku The Politics of Individualism, “Meski pemahaman umum mengenai anarkisme adalah suatu gerakan anti negara kekerasan dengan kekerasan, anarkisme adalah suatu tradisi yang bernuansa lebih dalam daripada sekedar perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah. Kaum anarkis menentang pemikiran bahwa masyarakat memerlukan kekuasaan dan dominasi, dan malah membela bentuk-bentuk organisasi sosial, politik, dan ekonomi yang anti hierarki dan lebih kooperatif.”

Dalam pernyataan di atas dapat dimengerti bahwa anarki ada sebagai reaksi kekerasan atas aksi yang juga merupakan kekerasan. Tokoh V di sini juga berlaku demikian. Di bawah pemerintahan Konselor Sutler yang cenderung menciptakan terror massa bagi rakyatnya sendiri, seorang misterius yang hanya samar diceritakan asal usulnya hadir dengan wajah tertutup topeng. Meminjam identitas Guy Fawkes, seorang yang dihukum gantung atas percobaannya meledakan gedung parlemen pada 5 November 1605, V beranggapan bahwa “Rakyat tidak seharusnya takut pada Pemerintah”. Tokoh V percaya bahwa “pemikiran” Guy Fawkes memang benar adanya, bahwa meledakan gedung bukanlah hanya membuat bangunan kokoh menjadi runtuh. Meledakan sebuah gedung adalah upaya menghancurkan simbol yang dapat menuntun orang-orang pada perubahan mendasar tentang siapa sebenarnya yang berkuasa dalam suatu negara.

Latar cerita dalam film adalah  Inggris Raya yang telah menyerahkan kebebasan dan hak-hak individualnya pada pemerintahan totaliter dengan sebutan “Norse Fire”. Unsur Fasisme jelas terlihat pada sisi ini. Fasisme sendiri adalah gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Para Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi. Mereka menganjurkan pembentukan partai tunggal negara totaliter. Fasis meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme sebagai upaya untuk memberikan perubahan positif dalam masyarakat. Estetika politiknya menggunakan simbolisme romantis, mobilisasi massa, pandangan positif kekerasan, dan kepemimpinan karismatik.




Semuanya seakan divisualisasikan dalam V for Vendetta. Unsur otoriter dan militerisme terang-terangan diangkat dengan tatanan sinematografi dramatis. Konselor Sutler juga digambarkan sebagai tokoh karismatik yang menjadi penyelamat rakyat di tengah kerusuhan yang terjadi. Meski lalu dijelaskan lagi bahwa Konselor Sutler lah yang bertanggung jawab atas kerusuhan-kerusuhan itu. Perang, terror dan penyakit diciptakan oleh pemerintah sendiri demi mengingatkan rakyat akan kebutuhan mereka pada pemerintah. Pandangan positif kekerasan diterapkan atas nama ketertiban yang harus tercipta, dengan bumbu romantisme bahwa pemerintah ada untuk menjaga rakyatnya dari segala keburukan diluar partai tunggal tersebut.

Dalam menggancangkan politik “blame the victim”nya, pemerintah membuat peran media begitu penting. Konsentrasi sinematografi film ini pun cenderung terletak pada televisi, entah itu di rumah-rumah, di bar, bahkan di sebuah panti jompo.



Hal ini sejalan juga dengan aksi tokoh V yang mengambil alih Britain Television Network untuk mengudarakan video pidatonya di saluran darurat. Pergulatan antara fasis dan anarkis ini dibuat seakan jadi sinetron yang tayang bergantian dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kemenangan salah satu pihak pun dengan nyaris puitis juga disampaikan lewat sisi sinematografi.

Dalam teknik pengambilan gambar, dikenal istilah high angle dan low angle. Dimana kedua teknik itu digunakan para sinemaker untuk menyampaikan dan menciptakan kesan yang sesuai dengan ide awal gagasannya. High angle adalah teknik pengambilan gambar dari atas, sehingga menciptakan kesan ciut pada objek gambar. Sebaliknya, low angle menciptakan kesan agung pada objek gambarnya karena diambil dari sisi bawah. Teknik ini digunakan juga dalam V for Vendetta, dalam usahanya mengisyaratkan kekuasaan yang berpindah tangan.


Hampir sepanjang film berdurasi lebih dari 2 jam itu, Konselor Sutler sering kali dimunculkan dalam televisi raksasa seperti pada gambar di atas. Gambar di atas ini merupakan suasana “rapat” antara Sang Konselor Agung dengan para kaki tangannya. Meski posisi atasan-bawahan jelas terjadi, teknik low angle tidak dijadikan pilihan, dan sutradara memilih hanya menyorot objek gambar dari sisi depan saja (datar).


Perbedaan muncul ketika film ini menampakan video pidato V yang disiarkan di saluran darurat. Dengan telivisi yang ‘jauh’ lebih raksasa dan terletak di pusat kota, teknik low angle digunakan. Kesan agung terlihat sangat jelas, mengisyaratkan kekuasaan yang sudah berpindah tangan dari Sang Konselor ke V. Bila kita lihat lebih teliti pada gambar, ironi jelas disuguhkan pada scene ini. Tepat di samping televisi raksasa yang memutar pidato revolusioner V, terdapat lambang partai “Norse Fire” pimpinan Sutler.

Perpindahan kekuasaan dari fasis ke anarkis lebih ditekankan pada siaran pidato terakhir Konselor Sutler. Dengan televisi super raksasa yang sama, teknik high angle “ekstrim” dipergunakan sebagai simbol kekalahan besar-besaran. 


Scene ini juga diparalelkan dengan scene televisi-televisi biasa di tempat-tempat lain yang entah mengapa ditinggalkan dalam keadaan hidup meskipun tidak ada satupun orang yang menonton. Simbolisme ini menyatakan bahwa suara Sang Konselor Agung tidak lagi didengarkan oleh siapapun.


V for Vendetta ditutup dengan nasib Konselor Sutler dan V yang sama-sama tidak baik. Tapi seperti yang dikatakan oleh V menjelang ajalnya, “Pemikirian itu anti-peluru” dan tetap hidup meski pemikirnya telah mati. Kemenangan anarkis atas fasis yang disajikan dalam film bertumpu lagi pada topeng yang digunakan oleh V. Alih-alih bersembunyi di balik identitas Guy Fawkes, tokoh V merepresentasikan dirinya atas nama semua orang yang menyadari akan ketidakberesan jalannya pemerintahan. Bahwa ketika ditanya siapakah sebenarnya sosok V, Evey dengan tenang menjawab “Dia adalah ayahku, dan ibuku, kakakku, temanku. Dia adalah aku, dan kamu.” 

V adalah rakyat, dan rakyat tidak seharusnya takut pada pemerintahnya. 
Rakyat seharusnya merdeka. 


Jatinangor, 23 Desember 2015
Ananda Bayu Pangestu

Kamis, 17 Desember 2015

Selamat 17 Desember. 

Saya belajar mengenang kelahiran.
Bukan ketiadaan.
Memang begitu rasanya,
tapi tetap saja.


Berbahagialah mereka yang mati muda.

Jumat, 11 Desember 2015

Saya selalu menyimpan semua hal. Dengan kekhawatiran bahwa suatu saat di suatu tempat saya akan membutuhkan. Hingga satu waktu tiba, semuanya buyar. Dan tidak ada lagi yang tersisa untuk disimpan.

Senin, 09 November 2015

Salam dari Semacam Kedai Kopi

Sementara saya mengetik tulisan ini, seorang pemuda bertopi dan bercelemek tengah mengangkat nampan-nampan kosong sambil mengepel lantai. Ia terlihat begitu giat bekerja ketika temannya yang juga bertopi dan bercelemek tertidur di salah satu kursi pelanggan. Pencahayaan ruangan yang tadi terasa sangat kuning sekarang makin terihat pudar dibarengi langit yang semakin berubah biru terang. Gelas-gelas kosong dan sisa camilan berantakan diantara komputer-komputer jinjing kami. Iya. Saya tidak sendiri. Di depan saya duduk seorang teman yang sama-sama fokus pada layar masing-masing, mengerjakan hal-hal yang seharusnya dikerjakan sejak berhari-hari yang lalu. Ini adalah pengalaman baru, jujur saja. Bukan berarti saya (dan teman saya ini) selalu tepat waktu dalam mengerjakan tugas, tapi ini adalah kali pertama kami tidak melakukannya di kamar kosan masing-masing, mendekam sendiri, dengan resiko ketiduran. Disini, gerung mobil-mobil besar dan lampu-lampunya tidak akan membiarkan mata kami terkatup, biar hanya 4-5 detik saja.


sementara sosok ber-sweater rajutan di depan saya ini terus dan terus mengetik, konsentrasi saya terbagi antara menulis, membaca, memotret dan mendengar gas-gas motor dua tak yang tidak pernah berhenti berkumandang. Lalu tanpa saya sadari langit sudah berubah warna, 


dan rak-rak kosong sudah terisi lagi dengan donat-donat kecil.


selamat pagi,
dari jari-jari dingin yang dihangatkan radiasi komputer jinjing,
N

Senin, 02 November 2015

Surat Kedua

Selamat malam,

Aku ingin sekali menanyakanmu sesuatu.
Tapi tunggu dulu sebentar, aku masih sibuk menimang-nimang manakah yang lebih mengenaskan jikalau aku dan kamu harus dibandingkan. Kita baik-baik saja sampai jarak menyusup di antara kita berdua, membuat celah kosong yang tanpa sadar kamu isi dengan masa lalu dan obsesi. Kita baik-baik saja. Sampai saat itu.

Aku bukan seorang yang ahli dalam menilai dan memahani. Tuhan tahu bahwa kamu tahu itu. Tahu benar. Tapi yang bisa aku mengerti saat ini, tidak ada satupun dari kita yang baik-baik saja. Kamu kembali pada batang-batang tembakau, sementara aku... kamu tahu. Tempo hari rasanya hatiku hancur benar, menyadari kamu sudah kembali pada bentuk semulamu, seakan aku dan hari-hariku dulu itu tidak ada artinya, secuil pun tidak ada. Aku tahu, yakin, bahwa kamu lebih baik dari itu. Seyakin kamu bahwa aku lebih baik dari ini. Jauh lebih baik dari ini.

Tapi tidak ada gunanya. Tidakkah kamu mengerti? Aku mengerti, Dul. Tidak ada cukup ruang untuk menerima aku yang seperti ini di hati lapangmu itu. Sungguh hatimu sudah lapang, benar, hanya aku saja yang terlalu terburai tak karuan.

Andai aku bisa, lagi, duduk di sampingmu. Saling tukar suara tanpa harus menatap mata. Aku masih belum bisa berbicara dengan sopan, kamu percaya? Nanti, ketika aku sudah bisa dan terbiasa, akan ku kabari kamu. Akan ku buat janji temu, dimana aku bisa berbicara padamu dengan tatap mata yang bertabrakan sempurna. Nanti aku pasti bisa.

Tapi, ngomong-ngomong...
Aku ingin sekali menanyakanmu sesuatu.
Saat ini. Bukan nanti-nanti.
Apa kabar?
Berusaha keras untuk melupakan,
N

Minggu, 01 November 2015

Yang Untukmu Itu

Biar aku tanyakan dulu, Resah
Tentang sebait nama
Yang menggantung-gantung
Di hadapan bola mata
Yang dikatupkan kala petang

Biar aku rasakan dulu, Sayang
Tentang kasih terhadap raga
Yang kadang aku tangkap
Bayangannya cantik mengangkasa
Yang nanti membumi juga

Barubereum, Kaki Gunung Manglayang, 25 Oktober 2015
Biar aku bisikan dulu, Cinta
Padamu sehalus cahaya matahari dan kabut
Yang menyelinap masuk
Diantara daun-daun kecil
Yang akan gugur tertiup angin

Begitu
Seterusnya.


Atas nama aku dan rumput-rumput kering,
N

Senin, 26 Oktober 2015

Soal Bahagia

Saya ingin bicara soal kebahagiaan. Saya tidak tahu harus memulai dari mana, tapi bukankah kebahagian itu terlalu abstrak untuk memiliki awal dan akhir yang jelas? Kebahagiaan tidak bisa dipegang seperti saya menyentuh keyboard komputer jinjing ini, kebahagiaan tidak dapat dilihat, tidak dapat dicium, tidak dapat diukur. Namun justru keabstrakannya itu yang membuat kebahagiaan dicari, dan dipuja. Sampai saat ini saya masih berusaha mencari, entah itu diperjalanan pulang ke kostan, di toko alat tulis langgangan, atau di warung makan Mentari milik bapak-bapak baik hati itu. Saya mencari, siapa tahu saya berbentur dengan kebahagiaan. Sehingga saya tahu pasti, sehingga keabstrakannya segera ditanggalkan.

Saya tidak berhak mengklaim bahwa mereka yang tidur di emperan toko kalah bahagia bahagia dari mereka yang nyenyak di ranjang empuk, setelah meminum beberapa buah pil tidur. Saya tidak berhak mengklaim bahwa mereka yang lahap makan dari tong-tong sampah kalah bahagia dari mereka yang 'jajan' dari piring-piring besar dengan secuil makanan di tengahnya. Saya juga tidak berhak mengklaim bahwa mereka yang mengakhiri nyawa sendiri kalah bahagia dari mereka yang pesakitan dan tinggal menunggu ajal. Bukankah itu menekankan bahwa kebahagiaan adalah satu hal yang tidak pernah disa diukur, atau dibanding-bandingkan?

Saya ingin suatu hari nanti menciptakan alat yang dapat mengukur kebahagiaan. Saya ingin sekali melihat seseorang tepat di mata dan mengucapkan "Kamu bahagia," dan "Kamu tidak." Semua akan lebih sederhana dan semua orang akan berhenti menerka-nerka. Apakah dia sudah cukup bahagia? Apakah selama ini ia pernah bahagia? Mata saya sembab karena terlalu banyak tidur dua hari kebelakang, apakah saya tidur karene lelah mencari kebahagiaan? Saya tidak tahu. Tidak ada yang pernah tahu.

Seorang dosen berkata semua hal ini adalah soal disorientasi masa depan, bahwa mereka yang telah memiliki segalanya pun akan jatuh di lubang terdalam jika menyadari bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah sia-sia, dan tanpa tujuan. Lalu mereka mulai mempertanyakan arti kebahagiaan itu sendiri, pada akhirnya. Mungkin memang seperti itu, mungkin mereka yang tidak bahagia adalah orang-orang yang membutuhkan ketenangan hakiki, atau apalah itu namanya.

Lebih sulit lagi apabila kita mencari kebahagiaan saat kita belum menemukan diri kita sendiri. Saya peringatkan bahwa tulisan ini akan mengerucut jadi curahan hati, kamu masih punya kesempatan untuk berhenti membaca, lalu berpindah laman. Kesalahan terbesar saya adalah mencari apa yang tidak pernah hilang, dan menyimpan apa yang tidak pernah saya temukan. Saya terlalu sibuk mencari, menggarisi titik-titik yang saya percaya akan membentuk sebuah kata bahagia. Sampai-sampai saya lupa bahwa tidak ada gunanya mencari apabila diri saya sendiri pun tidak punya cukup lahan untuk menyimpan hal-hal tadi. Diri saya sudah penuh dengan apa yang saya percayai adalah saya--sekumpulan kata-kata yang bermakna jauh dari positif. Lalu harus bagaimana? Nampaknya tulisan ini sudah bergeser fungsi, seperti yang sudah saya peringatkan tadi.

Pada akhirnya kebahagiaan masih jadi satu hal yang abstrak. Yang tidak sama seperti keyboard komputer jinjing ini. Pada akhirnya saya masihlah saya yang bertanya dan mencari, lalu menyerah lagi.

Jumat, 25 September 2015

Selepas Kebas

Kebenaran adalah luka yang sukar mengering
Sementara kata-kata sekedar obat penenang
Dan ketika syaraf mati terlalu sering dicekoki
Maka habislah

Suaramu indah sekali menyanyi
Tapi telingaku sudah kelewat tuli
Tak bisa kubedakan mana lukisanmu mana jendela
Kurasa aku juga buta

Kabut senja meleburkan semua warna
Entah merah darah atau hitam tanah
Apalagi rona pelangi 

Aku tepat di sisimu, Sayangku
Mengobati kebas hatimu
Yang pilu itu


baru saja kehilangan obat penenang,
N

Minggu, 23 Agustus 2015

Surat Pertama

Aku menemuimu lagi kemarin malam.

Lucu karena di antara semua jarak dan waktu yang sengaja aku ciptakan, kamu tetap menemukan jalan pintasmu sendiri. Menyusup diam-diam, dari balik selimut tebal dan bantal empuk. Menyebrang dari pulau orang-orang terjaga, lalu bermalam mendirikan tenda di ranah abstrak bawah sadar seseorang.

Ranah abstrakku berupa kapal pesiar tadi malam. Aku sendiri belum pernah memijak kaki ke sana. Semua terasa baru dan asing, cuma kamu yang hadir dalam balutan rasa familiar. Aneh, karena beberapa waktu ke belakang, di tanah orang-orang terjaga, kamu sudah bermetamorfosa menjadi sosok yang tidak bisa lagi aku terjemahkan bahasanya.

Kamu hadir untuk pertama kalinya tadi malam. Jarak terdekat kulit kita bahkan belum pernah berhasil membawa mu meninggalkan pulau itu, pulau orang-orang terjaga. Tapi sekarang, tadi malam, kamu berhasil menampakkan raga.

Orang bilang, kerinduan bisa menciptakan fenomema tersebut. Meski entah kerinduan pihak pertama ataupun pihak kedua. Tapi bukankah sama saja? Rindu buatku bukanlah hal yang kompleks. Rindu ya rindu. Tinggal dinikmati. Hal tersulit yang harus dihadapi adalah bagaimana merelakan rindu itu sendiri. Rindu bukan hal yang dengan mudah hilang seiring kalender berganti tanggal. Kamu mengerti, kan?

Atas nama jarak dan waktu yang sengaja aku cipta,
Aku merindukanmu.

Entah kenapa.

Rabu, 19 Agustus 2015

Puisi Yang Katanya Soal Asa

Beberapa waktu lalu, Unit Kegiatan Mahasiswa yang sudah lumayan lama saya tinggal berulang tahun. Dibuatlah semacam parade tahunan. Penuh pementasan. Sebagai permintaan maaf karena sudah tidak pernah lagi menyetor muka, saya bersedia menulis puisi yang akan dipentaskan dalam bentuk musikalisasi. Mengusung tema "Asa", cuma ini yang terlintas di benak saya:

Sedang Aku

Ada gemilang bintang yang malah redup ketika petang
Ada jiwa-jiwa malang yang hilang ketika baru dilahirkan
Sedang aku hanya ingin duduk diam bersamamu dan sesendok madu
Meratap manis untuk mereka yang telah jatuh, bahkan sebelum mulai menetes peluh

Ada kado-kado natal yang tak sekalipun terjamah
Ada sekam yang ditinggal tanpa terpisah dari gabah
Sedang aku hanya ingin memelukmu dan bersandar di bahu
Sejenak merenung untuk semua kesempatan yang tersesat di jalan, dan tak pernah sampai tujuan

Satu waktu boleh lagi kita bertemu, bercakap mesra soal cerita-cerita masa lalu
Tertawa lugu dengan sorot mata memburu
Seperti ketika harap masih kerap menggebu

15/4/15

Melihat Secercah

Kala lesung sekelebat hadir di langit mendung
Tetes air lalu jatuh menembus garis senyuman rikuh
Tak bawa ia payung, tak juga ia berlindung

Kala terik terlampau jauh mencabik-cabik
Tetes air lalu jatuh sebagi deras kucuran peluh
Tak sampai ia bergidik, tak sedikitpun ia terusik

Kalau bisa aku menangis darah, maka terjadilah
Biar disimpan sendiri segala keluh kesah
Agar tak rusak ia yang terus menengadah

Tak lelah,
Meski hanya melihat secercah

20/4/15

Terlepas dari susunan kata yang lebih mirip hasil karya poetweet.com ini, pementasannya sangat luar biasa. Baru kali itu saya ingin menangis mendengar apa yang pas-pasan saya tulis bisa dinyanyikan dengan nuansa seindah-indahnya. 

Saya memeluk erat salah seorang tim paduan suara selepas parade rampung.
Berterima kasih.
Lalu tetap tidak menyetor muka sampai sekarang.

Selasa, 28 Juli 2015

malam ini saya bertaruh.

sudah lama sekali rasanya mencoba mengusir keinginan bodoh ini. jauh-jauh. sejauh-jauhnya. bahkan kemarin, saya terjaga semalaman berusaha mengumpulkan alasan tambahan supaya pikiran itu hilang dari benak. apa daya. sia-sia.
sudah lama sekali saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi. ini kah, itu kah. lelah dengan hanya menerka. sekali saja, sekali. sekali ini biar saya mencoba. biar saya buktikan sendiri.

malam ini saya bertaruh.
luka hati dan luka fisik, manakah yang lebih dulu sembuh?

Kamis, 16 Juli 2015

Reinkarnasi Arbor

Kurang lebih sama seperti kemarin, kemarin lusa, dan ratusan hari sebelumnya. Kamu duduk di bangku cantikmu, sendiri dengan hanya ditemani secangkir teh yang ditaruh di sisi. Sementara aku berdiri tepat di tempatku, tidak berubah sama sekali, seperti kemarin, kemarin lusa, dan ribuan hari sebelumnya.

Bukankah suatu keajaiban kita bisa jalani satu hal yang sama setiap hari tanpa merasa bosan? Tanpa merasa lelah dan ingin pergi jauh-jauh. Hari demi hari, bulan demi bulan, sampai tahun berganti. Aku mendapatimu di sini dengan porsi yang sanggup aku tangkap, tidak lebih dan tidak kurang. Begitu juga caramu menikmati apa yang bisa aku beri. Sesuai porsi.

Aku rasa tidak sedikit yang percaya bahwa manusia selalu menginginkan lebih dari pada porsinya, apalagi tentang hal  yang tidak bisa mereka genggam. Tapi tidak, kamu beda cerita. Karena itu aku merasa bahwa kamu lah pasangan paling ideal yang pernah ada. Seperti aku, kamu hanya memberi dan menerima sesuai apa yang kamu bisa.

Kamu memang berbeda, aku percaya. Satu saraf istimewa tertanam dalam tubuh mu entah kenapa. Saraf itu membuatmu melihat lebih dekat, merasa lebih dalam, dan berpikir lebih panjang.  Tapi mereka bilang seharusnya kamu bisa melihat jauh bukan dekat, sedangkan merasa lebih dalam hanya akan menghanyutkan dan berpikir terlalu panjang hanya akan membingungkan.

Mereka lantas menyebutmu gila, dan menempatkanmu di sini bersamaku untuk waktu yang sangat lama.

Tapi nampaknya kita memang punya definisi berbeda tentang lama-tidaknya suatu masa. Belasan tahunmu terasa hanya belasan minggu, membuatku merasa bisa hidup selamanya untuk sekedar menemani setiap detikmu. Itu membuatku mengingat semua detail yang kemungkinan besar kamu lupa. Seperti saat pertama kali aku melihatmu duduk di kursi cantik itu, bersetelan rapih layaknya wanita muda kebanyakan meski kamu terlihat sedikit lebih rapuh dari dalam. Seperti ada secuil jiwa yang hilang dari tempatnya.

Beberapa hari kemudian aku melihatmu lagi di tempat yang sama, duduk cantik di kursi yang cantik pula. Hanya saja saat itu kamu terlihat sangat berbeda, tidak ada mantel bulu dan topi mahal seperti kali sebelumnya. Aku mendapatimu dengan hanya pakaian putih sederhana serta gelang tipis yang bertuliskan nomor dan nama. Sama seperti yang lainnya. Meski kamu telah jadi bagian baru dari ‘keluarga’, entah kenapa aku merasa secuil jiwa mu sudah kembali pada tempatnya.

Aku mendengar bisik orang di sekitar, bahwa kamu di sini karena cinta sudah mengecewakanmu untuk yang kesekian kalinya. Bahwa cinta telah membuatmu hidup di satu sisi dunia dimana hanya ada benci dan putus asa. Cinta membuatmu bertanya tentang siapa yang mencintai siapa, karena apa dan untuk apa. Pertanyaan-pertanyaan yang membuatmu gila, membuatmu benci, membuatmu putus asa.

Aku akan duduk di sampingmu seandainya aku bisa. Mendatangimu ke sana, menggenggam tanganmu sambil berkata bahwa tidak masalah kamu ini siapa dan siapa yang kamu cinta. Karena pada akhirnya, di tempat ini kita akan selalu punya ‘siapa’ yang berbeda-beda, ‘siapa’ yang tidak sama.

Karena tidak ada lagi poin menjadi siapa ataupun siapa, kamu bebas menjadi apapun yang kamu suka. Entah itu manusia, burung dara, ataupun segelas manis es kelapa muda. Setidaknya itulah yang kita semua lakukan di tempat ini, menjadi apapun yang kita mau tanpa peduli apapun yang mereka kata.

Aku juga dengar bisik orang di sekitar, bahwa seiring tahun berganti, lukamu itu perlahan terobati. Namun bukan dengan cara yang mereka sudah rencanakan. Ironis karena semakin hari hatimu terobati, semakin juga mereka menganggapmu perlu diobati lagi dan lagi. Mereka bilang kamu sudah jatuh cinta pada sesuatu yang seharusnya tidak kamu cintai. Kamu sudah menaruh hati pada sebuah pohon muda yang tertanam dekat dari tempatmu biasa menghabiskan hari. Kamu semakin gila, kata mereka.

Nampaknya kamu sudah menentukan ‘siapa’ macam apa yang kamu suka. Kamu memilih untuk jadi seorang wanita yang punya konsistensi jatuh cinta pada sosok kayu berdaun di depannya. Sosok yang hanya diam, tidak bergerak apalagi berbicara. Kamu pantas berbahagia karena bagaimanapun, pertanyaan-pertanyaan yang menghantuimu sedikit-sedikit menemunkan jawaban. Siapa yang mencintai siapa, kamu yang mencintai ‘ia’.

Namun aku percaya saraf istimewa itu membuatmu mengerti arti semua meskipun ia tidak bersuara. Aku percaya kamu bisa menangkap segala isyarat yang terkirim lewat udara. Bahwa cintamu terbalaskan sudah, bahwa cintamu tidak pernah sia-sia. Tidak ada lagi penghianatan, benci, apalagi putus asa. Kamu pantas berbahagia.

Dan aku percaya cepat atau lambat kamu akan menemukan jawaban-jawaban lainnya. ‘Untuk dan karena apa kamu jatuh cinta?’. Hati kecilku yakin bahwa saraf istimewamu akan bisa melihat apa yang orang lain tidak. Orang lain melihat terlalu jauh sampai-sampai menganggap yang dekat tidak ada. Karena itulah kamu jatuh cinta, karena kamu hanya menghayati apa yang bisa kamu punya. Saat ini kamu punya sebuah pohon yang setia meneduhkanmu, yang setia menanakanmu oksigen setiap harinya tanpa ada libur kerja. Apalagi yang bisa kamu harap lebih baik dari itu?

Tapi memang mereka tidak bisa mengerti kamu, mereka hanya mau kamu kembali menjadi ‘siapa’ yang memakai mantel bulu dan topi mahal, yang terlihat sedikit rapuh dari dalam. Ketika kamu sudah menjadi ‘siapa’ yang mirip manekin itu, kamu akan menerima kartu bebasmu. Orang-orang akan mulai menerimamu lagi sebagai ‘siapa’ yang mereka mau, bukan ‘siapa’ yang kamu suka. Kamu akan keluar dari tembok beton dan pagar besi ini, karena mereka pikir bukan tempatmu lagi untuk dikelilingi jiwa-jiwa yang tengah terganggu ini.

Kamu akan jalani hari-harimu lagi, namun sudah tidak akan sama dengan kemarin, kemarin lusa, dan ratusan hari sebelumnya. Tidak ada lagi pakaian sederhana dan gelang nama, tidak ada kursi cantik dengan secangkir teh di sisi, tidak ada jatuh cinta dan tidak ada aku yang berdiri di tempat biasanya.

Aku akan tetap di sini ketika kamu sudah menjalani hari-hari lamamu lagi. Aku akan tetap mencintai sesuai apa yang bisa aku terima dan aku beri, tanpa peduli tentang ‘siapa’ yang mencintai ‘siapa’ karena itu tidak ada gunanya. Aku akan percaya bahwa nanti akan tiba suatu hari, di mana aku akan menemuimu lagi. Tidak di tempat ini, bukan seperti ini lagi.

Nanti, ketika mungkin saja kamu adalah bunga dan aku adalah kupu-kupu, kamu jadi secamangkuk kolak dan aku adalah sendokmu, atau bila kita beruntung, kita akan mendapati satu sama lain dalam bentuk yang sama. Entah itu manusia, burung dara, atau dua gelas manis es kelapa muda.

Tapi aku diajarkan untuk hidup di hari ini, bukan kemarin, bukan nanti-nanti. Hari ini, di mana aku dapati kamu duduk di bangku cantikmu, sendiri dengan hanya ditemani secangkir teh yang ditaruh di sisi. Seperti itulah bentuk sempura dari bahagia yang aku punya. Maka, biarkan aku kembali menghayati kamu sesuai porsi yang aku sanggup, sambil tetap menanakan oksigen untuk terus kamu hirup.

Aku mencintaimu dengan segenap akar, batang, ranting dan daun yang aku punya, sampai nanti reinkarnasi mengubah itu semua.

Untuk semua yang bertanya,
kenapa cinta itu buta.
14/8/2014

Obrolan tentang Takjil dan Pulang

Aku melihatmu di persimpangan jalan pagi tadi, di dekat pos polisi. Cantik, seperti biasa. Sempat-sempatnya kamu membantu seorang nenek tua menyebrang jalan. Memang jalanan lumayan ramai, mudik lebaran. Hatiku sepi sekali, aku tak punya rumah untuk pulang.

Tanpa maksud mendeklarasikan diri sebagai penguntit, kadang aku mengikuti langkahmu sampai ke depang gang, saking aku tak tahu harus melangkah kemana lagi. Seluruh sudut kota sudah ku jajahi. Dari awal setahuku semua gang disebut “Mawar”—seperti nama samaran korban pelecehan seksual—sampai sekarang aku hafal mati ada berapa gang tikus di sini dan kemana saja mereka bercabang. Aku tidak akan tersesat lagi. Nafasku sudah bersatu dengan nafas kota. Bersatu dengan asap knalpot bis Damri tua.

Karena itu kah aku memilih untuk tetap tinggal?

Jarum jam sudah hampir menampar angka lima. Hanya tinggal tiga-empat pedangan yang masih mengadu nasib di sepanjang jalan depan gerbang lusuh ini. Mereka bergantung pada orang-orang semacam aku. Orang-orang yang hilang. Orang-orang yang bertahan tanpa alasan. Aku sudah menghabiskan hampir setengah jam untuk duduk di bangku panjang ini, sambil fokus berpikir; es pisang hijau, bubur sumsum, kolak, es buah, ataukah sekedar es teh melati dari kios kopi rasa-rasa milik mas-mas seram bertindik itu?

Es pisang hijau sudah jadi takjil abadiku semenjak dua minggu yang lalu, kalau sampai hari ini aku memilihnya lagi, lidahku pasti sudah bosan sebosan si Bapak penjualnya melihat wajahku setiap sore. Tapi aku sedang tidak ingin bubur sumsum atau kolak. Aku benci es buah dan aku malas melihat wajah penuh tindik yang menyebalkan itu.

Mungkin aku harus menunggu setengah jam lagi duduk di sini, di bangku panjang ini. Barangkali tiba-tiba kamu muncul dari balik gerbang-gerbang itu, sama-sama bingung memilih manis macam mana yang mau kamu nikmati maghrib ini. Atau barangkali akan ada seorang dermawan yang tiba-tiba datang membagikan kotak bukaan, sehingga aku tidak perlu memilih lagi. Aku benci sekali pilihan.

Kaki ku pegal terlalu lama diam. Aku bangkit dan mulai berjalan meski kantor pusat di atas sana belum memutuskan ingin membeli apa. Diam. Mengamati sekitar. Sepi sekali sudah. Aku ingat betul awal-awal bulan ini dimulai; tempat ini seperti pasar siluman. Pasar yang tiba-tiba sesak dalam hitungan detik, membuat orang sulit bergerak, sulit bernapas. Sekarang hanya tinggal napas berat para penjual melihat dagangannya belum juga laku meski hari semakin gelap.

Ibu-ibu bercelemek tiba-tiba duduk di sampingku. Sambil sibuk mengelap tangannya yang penuh minyak gorengan dengan serbet robek-robek seperti milikku di kostan. Nadanya hangat sekali bertanya.

Naha teu acan mudik, sep?”
“Enggak, Bu. Kayaknya saya di sini aja lebarannya. Ibu mudik?”
“Ibu mah asli sini, makanya sampe sekarang masih jualan juga. Yang lain mah udah pada balik, udah pada mudik. Mahasiswa juga udah pada mudik, sepi kieu. Gorengan Ibu belum habis-habis ini teh. Karunya si ade teu acan dipangmeulikeun acuk anyar keur solat Ied

Aku terdiam sejenak. Ibu-ibu pedagang yang bahkan belum pernah kubeli gorengannya ini tiba-tiba mencurahkan keresahannya akan baju lebaran anak, sedang aku bahkan tidak bisa menyebutkan satu dua kata perihal keresahanku akan rumah pada sahabat yang kukenal sejak masa rambutku botak sampai sekarang gondrong sebahu. Mungkin memang seperti itu, lebih sederhana hidup sebagai Ibu-ibu penjual gorengan ketimbang jadi sosok seperti aku.

“Gorengannya satunya berapa, Bu?”

Ku akhiri pembicaraan itu dengan mengeluarkan uang lima ribu dari dompet. Hitung-hitung untuk bantu dana baju lebaran anak. Tempe goreng dan tahu isi? Aku alergi kedelai.

Aku kembali duduk di bangku panjang tadi, masih berpikir andai saja bisa bertukar tempat dengan si  Ibu penjual gorengan. Aku rela setiap hari berhadapan dengan katel besar penuh minyak panas, menggoreng tempe dan tahu, pisang dan sukun juga kalau perlu. Sekali dua kali terciprat minyak, toh nantinya juga akan kebal, akan terbiasa. Seperti aku terbiasa dengan kota ini. Dengan panas, terik, asap, dan sepi. Aku terbiasa akan sepi.

Sudah hampir setengah enam. Aku cuma punya dua tempe goreng dan tiga tahu isi di genggaman; yang aku beli tanpa pilihan. Teknisnya aku belum memilih apa-apa. Kantor di atas sana masih sibuk menentukan. Aku coba buka kresek hitam gorengan itu, aku lihat lagi bentuk-bentuknya, aku hayati remah-remah tepungnya.

Setelah aku lempar lagi pandangan ke arah depan, sudut mataku menagkap bentuk baru—yang bukan tempe goreng dan tahu isi. Kamu. Bahu kita terpaut tepat lima jengkal.

Tahukah kamu bahwa ini adalah jarak terdekat kita? Lima jengkal. Tidak lebih. Aku bisa saja rebah ke arahmu dan tidur dipangkuan itu kalau saja aku mau. Tapi entah, mungkin lebih baik aku tanyakan dulu siapa namamu. Tapi entah juga, mungkin lebih baik langsung aku curahkan saja segala yang ada di pikiranku sekarang. Tentang gorengan. Tentang es pisang hijau. Tentang teh melati. Dan tentang pulang ke rumah.

“Saya sering sekali melihat kamu di sekitar sini. Kenapa belum mudik?”

Kamu tidak merespon. Matamu tetap mengamati benda-benda bergerak di hadapan. Maka aku gerakan juga tanganku supaya kamu sadar, setengah melambai. Kamu menoleh, akhirnya. Tersenyum kecil. Manis. Manis sekali. Lalu membuang muka. Seperti itu. Senyummu tinggal kenangan.

Aku bertekad untuk tetap melanjutkan apapun itu yang ingin aku ceritakan padamu. Tidak peduli bagaimana kamu merespon. Diam kah. Tertawa kah. Menangis kah. Atau pergi menjauh sekalipun. Tidak bisa kubendung lagi. Aku harus mencurahkan resah ini pada satu manusia. Kamu.

“Saya tidak mudik lebaran kali ini. Bapak menyuruh pulang. Ibu juga. Tapi dua-duanya minta saya untuk pulang ke rumah yang berbeda. Sementara saya sendiri merasa tidak punya rumah. Saya harus apa?”

Aku menelan ludah.

“Kamu pasti orang sini ya? Tidak mudik. Kadang saya iri dengan pribumi, saya perantau bisa apa. Hanya menumpang. Kalo hari besar seperti ini, yang menumpang biasanya diharapkan untuk balik ke asalnya masing-masing. Kalau saya tidak mau, bagaimana? Lagi pula saya ingin tahu bagaimana rasanya lebaran di sini. Saya penasaran mesjid dan lapangan mana saja yang akan dipakai untuk solat Ied nanti. Kamu tahu? Tidak ya? Hehe. Memangnya apa juga esensi dari mudik itu sendiri? Supaya bisa berkumpul dengan sanak saudara? Itu saja? Toh bisa juga bertemu di luar euphoria lebaran. Saya belum mengerti sampai sekarang.”

Kamu masih diam. Kakimu menggantung dan kamu ayun-ayunkan. Tampak sedang menunggu sesuatu.

“Saya sudah biasa seperti ini. Dari dulu, ditemani sepi. Sudah bersahabat dekat bahkan semenjak saya, Bapak, Ibu dan Adik masih satu atap. Sekarang saya lebih suka di sini. Sudah nyaman. Sudah kenal dengan kuncen-kuncen tiap sudutnya. Kadang juga saya tidur siang di rumput arboretum, kalau sedang suntuk-suntuknya masalah kuliah. Dari pada tidur di kamar kostan, kalau saya tiba-tiba mati, kasian tetangga nanti kebauan.”

Kamu tiba-tiba mendongak sedikit, lalu melambai. Seseorang dari seberang jalan berlari menghampirimu. Ia memelukmu. Erat. Erat sekali. Lima jengkal dari tubuhku. Kalian terlihat seperti teman lama yang akhirnya bertemu kembali. Aku memang tidak yakin seberapa lama, tapi aku cukup yakin bahwa ia jauh lebih mengenalmu, ketika ia mulai menggerakaan tangannya begini begitu.

Kamu tuna rungu.

Enam jengkal. Tujuh jengkal. Delapan jengkal. Sembilan jengkal. Sampai kalian menghilang di balik gerbang. Lalu tinggal aku sendiri.  Seperti biasa. Sepi.

 “Sebenarnya, saya ingin sekali pulang” cuma angin yang mendengar.

Adzan akhirnya berkumandang. Para penjual takjil sudah dorong gerobak, pulang. Mungkin bersiap untuk takbiran.

Stok CTM-ku sudah habis di kostan.


Perantau kecil yang tidak tahu harus pulang kemana,
N


Wonosobo, 16/7/15

Minggu, 28 Juni 2015

Nyamuk

tahukah kau dinding ruangku penuh dengan bangkai nyamuk?
aku menampar mereka satu per satu
karena mereka ramai
dan aku sendiri

aku ingin berwarna seperti nyamuk
hitam dan putih, dua saja
nyamuk tidak mengenal biru, atau jingga, atau hijau, atau cokelat
mata mereka banyak, namun hanya fokus untuk sebuah lubang pori-pori
bagi segala yang hidup, segala yang mengeluarkan energi panas

tahukah kamu nyamuk adalah binatang kesayangan Budha?
ia bertelur dan menetas di dalam teratai Dewi Kwan Im
Dewi tercantik yang memiliki banyak nyamuk di kakinya

aku ingin datang kepadamu seperti seekor nyamuk kecil yang tersesat
hinggap di telinga dan membisikkan
"aku rindu"

lalu kau bebas menamparku dengan kedua telapak tanganmu
menyisakan darah merah yang esok akan kau cuci, lalu luntur
aku meluntur


Kamis, 18 Juni 2015

Kamis, 11 Juni 2015

A Letter to a Poet

Since everybody is basically a romantic, you said, please take a moment to sit down a while and read this envelope-less letter of mine. Let me give you a word or two; let me tell you my story.

Sometimes when I am on my own, in the middle of the night staring at my room ceiling, it feels like there’s a question hanging above my head; what if I close my eyes tonight and wake up the next morning to be somebody else? Somebody with a different mind, different eyes. Somebody that is more… skeptical.
                
Maybe those nights of questions are my version of drowning in melancholy. And indeed, Sir, I am so drowned.

Here is my confession; I was born on September 26, 1996, raised in a religious family and went to recitation at least until I was 9. But deep down, Sir, as a child, I questioned my faith. I was thinking that if I was born to the family next door, I would have write quotes from the Bible right now. I was, am, thinking that it was not my call to pick up my own religion. How could a 9-years-old think of something like that?

I love no one, Sir. That is also a confession. I have got a trust issue since I wore red skirt to school. I remember talking to people and knowing that they were lying. I could see it right from their filthy eyes, how could I love people who fed me on lies? I could stand right in front of my own Father, Mother, and Brothers and still question myself about my love for them. Do I even care for them? Even less after the disintegration of my parents’ marriage a couple year back, I can say nothing more about love.

Now that I finally live on my own, now that I finally met you, I am scared, Sir. My next confession is that Macbeth was not really my thing, though I personally liked “Shall I compare thee to a summer’s day?” and your explanation of it. There was no time I would give to sit on your class only to hear about those kinds of things. Don’t get me wrong, Sir. I adore the way words formation can be the most heavenly existence on earth, or even the deadliest weapon among men’s war. But that was not the thing I expect to get from you. It was the little chat, the extra topics, and the “Can you even imagine?”s that I enjoyed the most. And when I said “enjoyed”, I never meant “It gave me inner peace.” Those things terrify me, Sir. It is making me worse.

You once asked me why I choose the answer “Tragedy” for your question about which is higher between Comedy and Tragedy. I really wanted to say that it was simply because I loved Tragedy, and Tragedy loved me. It is probably the only thing I love. And by all means, Sir, Comedy is just a bunch of craps for me. I just prefer things that I can relate to. Comedy? I can’t.

I was born a pessimist, Sir, and it had becoming the template of my everyday life. You always said to all of us, “Don’t trust things easily”, “Don’t make it a second thought, but make it a third, a fourth, a fifth,” and then what is the point of trusting anyway? We trust, we’re being lied to. The concept is so simple, no, Sir? Why do we have to give a single damn to the things that we believe is untruthful?

Here is my last confession, I don’t need either to sleep or wake up first, Sir. 
I’ve become somebody else.
Somebody that is more skeptical than before.

To the unmemorable things I really wanted to say,
Ananda 

Jumat, 05 Juni 2015

i saw the brightest star tonight.
and it wasn't above.
it was there right before my eyes.
but it hid in the dark.

they--and i--brought the sky so much closer for the sake of the night.
that i could see those twinkling stars as clear as crystals.
but the star i sought wasn't one of them.
again, it hid in the dark.

like a shooting star, it passed in seconds.
i couldn't take the time to remember.
all is that it hid in the dark.
and is indeed unreachable.

to the tears that flow as the songs go,
N.

Sabtu, 25 April 2015

Southern Cross of a Dying Rose

My story starts with a gleam of light, and somewhere in time will end also with it. The beauty of the thing that has been taken away since the very beginning, for I was born in one dark October, finally reaches upon my eyes in this exact ticking time. Enlighten the space of my shadowy gasping breath; my brand new flashlight. The different particle of a shining thing gives a touch of strangeness to my whole senses. My eyes catch a different shade, my nose even senses a different scent. Every single inch of fabrics in the rack seems to have its own nameable spectrum, and every single page of my books looks like offering a new unreadable narrative. And as the oddness is fused with the oxygen I consume, the fear of something huge that is going to happen today crawls out from the dark hole in my deepest heart. It’s May the forth, and here I am, Rouse, first name Evalindya, sitting tight in silence among the floral skirts, the long-sleeved shirts and the furry coats, wondering about how could two or three or four and more share an unbreakable bond. 
It feels like I might gaze out the window asking for one acceptable answer to the stars, but sadly there’s none near, for I am breathing air out of a closet. Here, it’s only a rack of fabrics, a pile of books, and an enormous mound of disappointment. Is it about the idea? The bond. Or something less abstract like the red sherry which streams through the tiny pipes under our tearable skin? Pipes do break. And the mystery of the bond persistent still remains like a locked Pandora box. Since there’s no soul to share thoughts with, I’ve always been the luckiest girl on earth for having Veronika right by my side. Veronika is fictional, but it’s not a big deal, since we’re all living a fictional version of our life, aren’t we? I asked for her opinion once, she never answered. I believe we share the same ignorance.
I met her a couple weeks ago in one bookstore in town. I couldn’t see her face—she appeared as a silhouette of a young woman, walking through the snow all by herself, surrounded by the shadow of high trees and the dark blue sky—but I knew she was beautiful all wrapped in blue. Dark blue. I felt like I could relate to whatever the thing she’s been through, even though my heart was just 250 grams of tears and silence, I totally did. She plays piano, and I enjoy music. Aren’t we one perfect combination, though we don’t share the same blood and breast milk once we’re younger?
But today, I can hardly hear her play. It isn’t because of the loud melody which streams down my earphones. She just simply doesn’t feel like playing her white piano keys for now. And no matter how deafening my music is, I can still receive the sound of some termites chewing the walls, the sound of something I cannot describe inside my flashlight, and the sound of bumping and crashing things from somewhere inside the house—probably from the living room where Carson likes to bring in his tricycle and Mom will grumble over it like all day.
I remember one of the stories Veronika told me the other day. It was about one honorable King, one loving Queen, and one vicious Witch in a joyful kingdom. One day, the witch poisoned the kingdom well with madness, and everybody in the kingdom was gone mad, except the King and the Queen. The kingdom turned into a mess; chaos happened all over the place.  The King was no longer capable of holding his throne, and then, the loving Queen said that it’d be best if they drink the water from Well of Madness just like everybody else. They finally drank it and turned as mad as the people they led, and The King continued to hold his kingdom in ‘peace’ until his very last breath. The story makes me think, what is madness? Isn’t it all about one’s perspective? I can be mad, as well as you, Veronika, The King, The Queen and everybody else. So when one tries to cut their arm, which I’ve done once, you don’t give them medicines and psychiatrist’s appointments. Because when you do, that one person is going to do the same thing over and over again until they actually dies, and when they dies, it’s their blood on your hands. I shared the thought with Veronika, we both totally agreed on this thing she also can relate to, because she once swallowed a handful of sleeping pills, and hoped for never being awakened no more. She lost it, everybody lost it. 
But I’m glad that she survived through the times. She is a warrior, a brave one. I miss her play. This one song that is played in my earphones for like a thousand times in a row starts to bother me. Not because of the depressing lyrics and melody, but for it cannot hide the sound of the outside world, no matter how often I press the volume button. I still can hear the termites. I still can hear Carson shouting from downstairs. Is it my earphones? Or is it me that slowly turn into Roderick Usher? Roderick Usher hears things that shouldn’t be heard. He is capable of catching every single sound in his huge mansion, for he is on the edge of his sanity. His brain boils. And he is dead. Am I insane? Am I going to die?
It is funny to think that this song might be literally my ‘Last Flowers’, which brings me to my grave, my eternal bed, my gate to the afterlife that I don’t really know about. Nobody knows about the afterlife. If somebody claims that they know about it, either they’re lying or they’re losing their mind. I am losing my mind, because as the sound of the ticking clock repeats itself, the sound from downstairs becomes louder and louder and louder. It feels like my brain is boiling because of it. I can hear the burst of laughter from Carson’s tiny mouth that somehow I begin to hate. I can hear Mom’s clapping hands and Dad’s flattering lines. A wonderful family, isn’t it?
Frederick Anderson Rouse, 52, a father of two, a husband of one. A former marine who loves to sit in the porch, and wave hand to the neighbor who passes by. He used to take me to the Edy’s once in a month when I was still 11. He would kiss me good night, and make me pancakes when I woke up. He loved to play with my tangled hair, and said that little girls were not supposed to have one like Barbie had. “Little girls should play with flowers in an open garden; they don’t need hours in saloons.”
 Halley Cordelia Rouse, 44, a mother of two, a wife of one. A beautiful woman who dedicated all her life in being a florist, who ended up marrying a man whose last name was pronounced like the flower Rose. She fell for it from the very first time she heard it. It was her that always had something nice to say. It was her smile that could lighten up one dark room better than my new flashlight would ever do. It was her, and always gonna be her.
Carson Alexander Rouse, 5, a long-desired son and brother, who gave the family a reason to keep smiling and living gratefully as he grew taller and bigger.  
Evalindya Wren Rouse, 19. I cannot remember.
All I can think about is why I can feel the sea breeze in my skin all of sudden. Why can I see the twinkling stars, as if it is a transparent ceiling above my head? The sound of the waves and the singing of the ocean, they’re calling me in whispers. I really want to go, I do, but I need Veronika to come along with me. And she definitely cannot, for she lives in Villete, a mental care facility somewhere in Slovenia.
The sound of the waves breaking on reef slowly transforms to a roaring thunder, and the scent of the sea slightly turns to some dead flowers in my old garden. It makes me think, is it Carson’s laugh I’ve been hearing for the past hours, or is it his scream that makes my ears nearly bleed and my brain practically boils.  Is it the tricycle that bumps all over the furniture, or is it the appliances that have gone berserk and scattered all over the floor. I don’t know. Stars have left; it’s all dark low ceiling hanging above me.
Louder, louder, and louder. It haunts me like a ghost of a Christmas past. I’ve tried to seal my eyes, hoping that the sound will disappear because it is all only in my mind. I am going insane. I am Roderick Usher. But then there’s this one sound which every man can hear, yet none can bear. A broken glass. One earsplitting broken glass. My heart seems like stop beating. It’s horrifying. But it isn’t about the sound of the broken glass; it is about the following perfect silence. As if the world suddenly goes away and I am nothing but a stringless kite flying over an empty space.
I sense loneliness. ‘Cause even the stars appear as unrecognizable faces of people I’ve never met before. They’re trying to expel me from where I belong, this place, my undoubtedly beautiful land of closet. They say that I need to see what is going on there, downstairs. What is happening downstairs? And why is it a thundering heartbeat restarts playing inside my chest? I am terrified. No matter the voices inside my head tell me to walk toward the truth, I cannot move a single muscle. I am not the controller of my body anymore. And I can see Veronika’s eyes begging me to stay on my seat that she needs accompany, she needs me. But who is Veronika? I cannot even recall her last name, or her hair color, or the way she speaks to me.
I am lost.
All I can recall is that my name is Evalindya Wren Rouse, “Rouse” like the thorny flower “Rose”. I remember when I was 8, sitting in the backseat heading to the hospital for a desired birth, and then heading back home by a big black car, with a little black coffin inside. I remember what Mom said in her sobbing voice, that the tiny lifeless creature was supposed to be named Carson. Carson Alexander Rouse. I can still picture Mom’s motionless body on the floor, and Dad’s alcoholic breath filling the air. All the bruised cheeks and bleeding lips. I also remember that Dad stopped talking to me since I was 9, and Mom stopped growing roses at the same time. And whenever both started throwing and breaking things, I remember hugging my knees to my chest in the silence, in the dark, among the floral skirts, the long-sleeved shirts and the furry coats, far away from the confusing earth. 
But now, I need the shouting, the yelling, the cursing, and the breaking things. It is too much silence that I cannot deal with anymore. I don’t want to be left alone. Nobody wants to.
The scars on my arms are smiling to me, offering a hug of a long lost friend, and a way to escape all the fear of breathing air. The amount of temptation is so great that it is blowing my mind just like how the wind blows dandelions. But then the sea breeze comes back and I can feel the wave dancing under my deck. I am alone, but I am no longer lost, for I can see The Crux hanging there brightly, and the light confounds me.      
The Southern Cross then alters itself into a gleam of light, shaping a body of a 5 years old child, who breaks the border of my land of shyness, and my world of gore; he opens the closet door. Like the other stars, he appears in the face of a person that I have never met before. His smile is so much brighter than my new flashlight, and even brighter than the biggest bonfire. He lends a hand, and says “We’re holding a dinner party out among the roses, you should come ‘cause there will be cakes and juices.” And as my fingers sail to his palm of fair, the unbreakable bond is created out of the thin air. It’s May the forth, and here I am, Rouse, first name Evalindya, walking outside with an exceptional guest for The Southern Cross shines at its best.   


PS. Tulisan ini tugas mata kuliah Creative Writing. Maaf kalau masih terasa kaku sekali, baru 
kali ini saya berani menulis prosa pendek dalam bahasa Inggris.


References: 
(n.d.). Retrieved from http://www.huffingtonpost.com/2012/07/05/chicagos-best-ice-cream-l_n_1652523.html
(n.d.). Retrieved from http://www.gdi-solutions.com/areas/maps/region/maps_us_il_chicago_metro.htm
(n.d.). Retrieved from http://en.wikipedia.org/wiki/Crux
Coelho, P. (2000). Veronika Decides to Die. New York: Harper.
Jackson, P. (Director). (2009). The Lovely Bones [Motion Picture].
Radiohead (Performer). Last Flowers.
Lestari, D. (2011). Madre. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Poe, E. A. (n.d.). Retrieved from http://www.ibiblio.org/ebooks/Poe/Usher.pdf
Coil, T. M. (Performer). Song to The Siren.