Sabtu, 26 Oktober 2013
Rencana akhir tahun
Jumat, 25 Oktober 2013
Hidup ini...
Hidup ini penuh rintangan
Kau bilang
Tak perlu tinggi berangan
Jadi tak perlu jatuh terbuang
Hidup ini penyiksaan
Kau bisikan
Biar tak usah tertekan
Mati kau jadikan pilihan
Hidup ini tak ada
Ku rasa
Hanya ilusi semata
Hingga tak perlu kau bicara
Minggu, 20 Oktober 2013
Sabtu, 19 Oktober 2013
Mulai dari malam ini
Kalau saya tetap diam dan menunggu, maka saya hanya lampu kecil warna-warni yang biasa digantung di langit-langit. Hanya penghias, bukan penerang. Dan kalau pun saya mati, tidak akan memengaruhi. Hanya 1 ikan dari seisi lautan. Tidak berarti. Kalau saya tetap seperti ini, saya tidak akan tau apa yang sebenarnya saya mampu. Cuma diam dan menunggu suruhan.
Saya mau angkat bicara mulai dari sekarang. Mulai dari malam ini. Saya ingin berarti. Saya ingin orang-orang menyimak apa yang saya ucapkan. Mendengar apa yang saya serukan. Saya lelah bersikap seperti gadis bodoh yang tidak mengerti apa-apa. Sudah saatnya saya menunjukan siapa saya.
Ya. Siapa saya.
Saya sudah berada di tempat yang seharusnya.
Jumat, 18 Oktober 2013
Cahaya Bulan (Ost. GIE) - Eross ft. Okta
perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
cahaya kota kelam mesra menyambut sang petang
di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih
kenapa matahari terbit menghangatkan bumi
aku orang malam yg membicarakan terang
aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh pedang
perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
cahaya nyali besar mencuat runtuhkan bahaya
di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih
kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi
aku orang malam yg membicarakan terang
aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh pedang
reff:
cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan
yg takkan pernah aku tau dimana jawaban itu
bagai letusan berapi bangunkan dari mimpi
sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati
terangi dengan cinta di gelapku
kuketakutan melumpukanku
kuterangi dengan cinta di sesatku
dimana jawaban itu
Selasa, 15 Oktober 2013
Ingin jadi pendaki
Bangkitkan Lagi Semangat Juang Generasi Muda
Budaya Pembentuk Watak Bangsa
PRABU Unpad 2013
Senin, 14 Oktober 2013
Hilang dalam kelam
Laut
Seberapapun ia jauh dari laut
Terik matahari. Awan. Bebatuan. Juga hujan
Apapun itu selama ada jalan pulang
Lautan pun tak pernah ragu
Ia s'lalu setia dan menunggu
Dimana pun akhirnya itu
Ia percaya bahwa mereka satu
Kamu lah air itu
Dan aku lah lautanmu
Minggu, 13 Oktober 2013
Siapa diri saya
Saya gila menulis hari ini. Mungkin hanya wujud pelarian dari final paper yang seharusnya sudah saya buat draft-nya. Saya tidak punya inspirasi. Seorang Dosen pernah berkata, "Ada 3 alasan orang menulis, pertama, untuk mengungkapkan sesuatu, kedua, untuk mencari tahu sesuatu, dan yang terakhir, karna saking tidak tahu.". Saya pikir saya masuk kategori yang terakhir, sering kali saya menulis karena saking tidak mengerti apa yang harus ditulis. Aneh memang.
Mengenai menulis, saya terpikir soal orang-orang di sekitar saya. Orang-orang terdekat saya. Sulit untuk menyatakan suatu hal dari hati paling dalam, kalau pendengarnya adalah orang-orang yang hidup bersama kita, yang non stop kita lihat wajahnya 7 hari 24 jam. Keluarga. Orang tua. Saudara. Kadang jadi orang terakhir yang tahu siapa diri kita sebenarnya. Apa yang kita mau sesungguhnya. Untuk kasus saya, malah sering kejadian.
Rasanya jauh lebih nyaman bicara pada orang yang baru kita kenal. Tanpa takut dihakimi atas pandangan seseorang terhadap kita. Saya bebas bicara. Saya bisa tunjukan siapa diri saya. Alhasil, tidak ada satupun saudara saya yang tau saya suka menulis. Saya selalu diam-diam saat menulis, pergi ke ruangan lain untuk sekedar membuka laptop dan mengetik. Saya kurang suka menulis tangan. Tulisan saya tak karuan.
Orang tua pun baru sadar saya senang menulis saat saya bilang saya ingin masuk sastra. Ketika beberapa tulisan saya berhasil menjuarai lomba yang tidak bisa dibilang gampangan, ibu saya baru berkata "Berarti kamu punya bakat, kembangankan saja. Beli buku-buku yang bisa menginspirasi kamu.". Saya cuma ingin tertawa. Ketika seorang ibu menjadi salah seorang yang terlambat mengetahui apa minatmu, bukan kah agak ironis.
Memang hidup seperti ini tidak enak.
Catatan Seorang Demonstran, buku idaman.
Beberapa hari lalu saya senang tak karuan, buku yang saya cari sejak beberapa tahun silam akhirnya ada di genggaman. Pencarian saya ke semua toko buku besar itu berakhir pada satu toko buku petakan pinggir jalan. Tempat yang biasa jadi tempat mahasiswa beli photo copy-an buku pelajaran itu sekarang benar-benar saya agungkan. Dan demi Tuhan, buku itu bukan hasil photo copy-an. Buku yang pertama kali diterbitkan beberapa puluh tahun lalu itu cetakan asli, bahkan cover-nya pun sama persis. Saya ingat, itu cetakan kedua belas.
Catatan Seorang Demonstran. Iya. Buku itu yang saya maksud. Salah satu bukti nyata keabadian pesona Gie, sekarang ada dalam genggaman saya. Saya merasa terlengkapi. Sempat ada diskusi singkat antara saya, si bapak petugas toko, dan mbak-mbak yang sedang beli puluhan buku photo copy-an untuk kelasnya. Kami bertiga sama-sama tertarik soal Gie, meskipun saya yakin saya yang paling tahu soal Gie di antara kami. Saya betul-betul tidak terima saat si bapak pemilik toko bilang kalau mayat Gie tidak pernah ditemukan, langsung saya tolak argumen itu mentah-mentah. Memang mayat Gie tidak langsung dievakuasi, saya lupa butuh waktu berapa lama tepatnya evakuasi itu, tapi saya tahu akhirnya mayat Gie dievakuasi dan dimakamkan dengan layak.
Rasanya miris sekali bila saya mengingat kisah hidupnya, tapi lebih miris lagi kisah matinya. Saya ingat kata-kata yang ditulis dalam buku itu, tubuh Gie dibawa dengan dibalut plastik dan digantungkan di bambu. Sungguh prihatin keadan Mahameru saat itu. Saya berpikir, dibanding sepi yang ia rasakan di setiap detik hidupnya, pasti jauh lebih sepi terbungkus dalam plastik itu.
Sudah setengah jalan, saya mau cari Orang-orang di persimpangan kiri jalan setelah yang ini selesai.