Kamis, 23 Januari 2014

Potongan puzzle terakhir

Matahari hilang sebelum waktunya. Awan hitam menghalang, membuat perasaan makin tidak tenang. Bagaimana tidak, hari ini malam serasa datang lebih awal. Aku belum sudi mengakhiri hari bahagia ini. Entah kali keberapa mataku melirik jam di tangan. Rasanya aku mulai mirip orang kesetanan.
            Seseorang di depanku seperti menyadari akan hal itu. Mata cokelat mudanya tampak melempar tatapan aku-mohon-jangan-minta-pulang-sekarang. Lalu tatapan itu segera disempurnakan dengan satu kalimat, yang dimaksudkan untuk menenangkan.
            “Masih jam 5, Ve. Bapakmu gak bakal ngunci pager rumah, kok.” Ucapnya sambil menyiritkan mata.
            “Saya tau, tapi ini mau hujan. Pulang sekarang aja ya, please.”
            Itu jurus terjitu yang bisa ku lakukan. Membesarkan mata sambil sedikit berkaca-kaca. Mirip anak kucing memelas yang mati-matian meminta makan. Selalu berhasil meluluhkan perasaan. Terutama, dia. Orang yang menemani hari-hariku hampir 3 tahun kebelakang.
            “Saya tau kamu ini perempuan. Tapi kamu sudah SMA, Ve. Kelas 3. Bapak manapun bakal beri sedikit kelonggaran soal jam sama anaknya.”
            “Kamu enak, laki-laki. Bisa ngomong seperti itu. Nah, saya? Mungkin bapak saya baru bakal ngelepas kalo saya sudah nikah. Sudah punya suami. Ada yang tanggung jawab.” Protesku tidak terima.
            Jurus kali ini memang tidak begitu manjur. Harus dibumbui sedikit curhatan dulu baru bisa bekerja. Dia mengantarku pulang beberapa menit kemudian. Setelah sebelumnya meminta mas-mas mengantar bill makan siang kami yang kesorean. Seperti biasa, dia yang membayar. Namanya Regie Saputra. Menyedihkan. Gie, seperti itu aku memanggilnya.
***
            Seperti dugaan. Bapak sudah stand by di depan pagar ketika aku sampai. Kaosnya putih oblong, celananya biru dongker dengan 2 saku di masing-masing sisinya. Bapak pegang selang, seperti mau menyiram tanaman luar. Baru-baru aku khawatir. Takut selang itu digunakan bapak mencekik Gie yang mengantarku pulang. Selayaknya telepati, aku seperti bisa mendengar pikiran Gie. Dia ketakutan setengah mati. Kami sama-sama menahan nafas, dan melepasnya ketika Bapak tiba-tiba tersenyum ikhlas. Bapak menyuruh Gie singgah sebentar, katanya, beliau masih mau menyiram tanaman.
            Gie satu-satunya kebebasan yang Bapak berikan. Cuma sama keturunan Banjar-Sunda itu aku dibolehkannya keliaran. Itupun masih tetap dibatasi jam malam. Bapak cukup mengenal baik keluarga Gie. Begitu juga sebaliknya. Baru-baru ini Bapak tau, kalau aku dan Gie sudah berteman sejak lama. Kadang ketika saling bertemu, Bapak senang berbicara soal perjodohan. Aku percaya itu cuma iseng-isengan.
            Aku harus menyeduh teh sampai 3 kali, membuka 2 bungkus kue marrie, dan memilihkan acara tv, untuk acara mengobrol senja Bapak dengan remaja pria yang semoga saja tidak dianggap sebagai calon menantunya.
Cepat-cepat aku menyela. “Sudah mau maghrib, loh, Pak. Kasian Gie ditunggu dirumahnya.”
Gie cuma senyum-senyum sendiri. Ia jelas mengerti kalau aku baru saja mengusirnya dari sini. Bapak juga ikut senyum-senyum setelah itu. Aku mulai takut kalau mereka sudah benar-benar lupa keberadaanku.
“Nah. Mending kamu maghrib-an disini aja, Gie. Gak baik jalan maghrib-maghrib. Pamali!” akhirnya kekolotan Bapak keluar juga. Entah maksudnya apa, tapi mereka berdua malah tertawa-tawa.
Gie tidak mengiyakan saran Bapak, tapi tidak juga ia menolak. Kami bertiga sama-sama tau apa jawabannya tanpa harus dia berucap.
“Dia anak baik, Ve. Bapak sudah minta dia untuk jagain kamu.” Begitu kata Bapak. Setelah mengantar Gie ke pagar depan dan melihatnya pulang. Sambil mengacak-ngacak rambutku, seakan aku ini anak SD kelas 1.
Seandainya Bapak tau yang sebenarnya. Aku yakin Bapak akan mati-matian menjauhkanku dari sosok yang disebutnya calon mantu itu. Kalau ditanya soal penyebab pertengkaranku dengan Bapak setiap malam minggu tiba, aku dengan bangga akan menyebut nama Gie sebagai satu-satunya manusia yang bertanggung jawab atas itu semua. Tapi aku tak pernah bilang, Bapak yang rajin baca koran, tidak cukup rajin untuk menanyakan.
Aku mengenal Gie di kelas 1 SMA. Dia memilih duduk denganku saat itu. Aku ingin percaya kalau dia memilih bangkuku diantara 20 buah lainnya, bukan karena aku satu-satunya yang masih duduk sendiri sedang bangku lain sudah terisi. Ia datang ‘agak’ terlambat. Jam depalan. Padahal, panitia MOS menyuruh datang jam enam.
Hari itu tanggal 24 Juli 2010, dan esoknya, aku bukan lagi orang yang sama. Manusia tanpa rencana itu mengubah hidupku sepenuhnya. Ah, tidak. Bukan sepenuhnya, cuma tiga per empatnya saja.
Satu yang ku pelajari dari Gie, jangan pernah melakukan apa yang ia sarankan. Kenapa? Karna Gie bahkan tidak punya saran untuk dirinya sendiri. Ia orang terkacau yang pernah aku temui. Dan sialnya, sama seperti Gie yang tidak pernah menolak apa yang aku pinta, aku juga selalu mengiyakan apapun maunya.
Aku punya hidup konstan yang penuh peraturan. Semua sudah dijadwalkan. Bagun pagi jam 5 kurang 5, mandi lalu sarapan, berangkat sekolah jam 7 kurang 20. Belajar. Istirahat. Belajar. Istirahat lagi. Belajar lagi-lagi. Langsung pulang saat bel sekolah berbunyi. Dan seterusnya, sampai bangun jam 5 kurang 5 lagi. Sejak Gie ada, hidup konstan yang sudah ku pertahankan hampir 15 tahun lamanya, akhirnya cuma sisa kenangan saja.
“Kamu satu-satunya anak 15 tahun tanpa malam minggu, yang pernah jadi teman saya.” Begitu ucapnya dulu ketika awal bertemu. Aku berusaha mati-matian menyangkal ucapannya itu. Dia membuatku merasa seperti remaja tanpa kehidupan remaja. Atau malah orang tua yang terjebak dalam tubuh kecil 157 cm tingginya.
Setiap saran yang Gie berikan aku lakukan, semua berakhir cepat dengan cara yang hampir sama.  Nyaris gagal. Lumayan gagal. Gagal. Dan yang tersering, gagal total. Klise saja. Tidak ada yang jauh berbeda.
Logikaku bekerja. Logikaku mengatakan bahwa aku harus cepat-cepat pergi dari Gie. Dan selama 2,5 tahun, tubuhku berhasil menggagalkan niat logikaku. Kadang aku berpikir bahwa Gie benar dalam satu hal, satu-satunya hal dalam 17 tahun hidupnya itu. Aku memang remaja tanpa kehidupan remaja. Aku takut waktu akan berjalan cepat. Dan tau-tau saja umurku sudah 20 tahun tanpa punya satupun kenangan masa remaja. Aku takut tidak punya apa-apa untuk ku ceritakan ke anak-anakku nanti. Tidak punya hal yang bisa ditertawakan ataupun ditangisi.
Jadi aku mulai mengikuti cara hidupnya yang tanpa rencana. Tanpa berpikir lama-lama dan menimbang satu per satu resikonya. Mengendap-endap tiap malam minggu tiba. Tidak langsung pulang ketika bel sekolah berteriak-teriak mengusir setiap orang. Lebih sering makan diluar, dan macam-macam hal kecil lainnya. Yang jelas membunuh setiap jadwal kegiatan yang sudah kusiapkan. Dan membuat Bapak lebih sering marah-marah karena pulangku telat. Kadang aku harus berbohong pada Bapak, dan menangis semalaman karena menyesal. Aku ingin hidup sebagai remaja. Tapi bukan seperti ini caranya.
Dan dalam hati, aku masih bertanya-tanya apa itu kehidupan remaja, sampai detik ini. Bahkan ketika Bapak sudah berani mengundang Gie masuk ke dalam rumah, aku masih juga belum mengerti.
Ponselku berdering tepat pukul 9 malam. Tanpa nama. Orang iseng macam apa yang menelponku sebegini malamnya. Saat kuangkat, terdengar suara yang serasa mengiris telinga saking kencangnya. “Ve!!”. Ternyata itu Gie. Aku tersenyum dalam hati.
“Tebak, Ve!!” suara itu menggebu-gebu seperti orang yang mengucapkannya sudah siap meledak dengan C-4.
“Kamu ketemu Pak Slamet di diskotik?” tebakku seadanya.
“Bukan!” suara itu terdengar gemas. 2 tahun lebih mengenalku belum juga ia sadar kalau aku tidak suka tebak-tebakan. “Lisa, Ve! Saya nembak dia barusan. Dia terima!” lalu terdengar suara tawanya kegirangan. Sepertinya ia benar-benar bahagia malam ini.
“Wih, asik pacar baru. Kapan traktirannya, Gie? Pajak Baru Jadian…” jawabku menyaingi tawanya.
“Ah, kamu ini, Ve. Gak perlu tunggu saya jadian sama cewek, baru saya mau traktir kamu makan.” Ucapnya sambil tetap tertawa. Ia benar juga, hampir setiap hari makan siangku ditanggung olehnya. Ditambah lagi, orang itu siap sedia mengantarkan makanan ke rumahku saat ku bilang aku sedang butuh camilan. Meskipun tengah malam.
“Eh, Ve.” Lanjutnya menyebut namaku. “Kamu kapan punya pacarnya?”
Aku mati kutu saat itu juga. Aku benci kalau harus berhadapan dengan pertanyaan konyol itu. Aku lebih suka kebebasan menjalin hubungan dengan siapa saja. Status ‘berpacaran’ akan membuat orang terikat dan seakan ber-label. Seperti tempat-tempat tertentu yang sudah dikencingi dan ditandai, tidak ada anjing lain yang boleh mendekati tempat itu. Mereka berkedok ‘pacar’ agar bisa berduaan. Berciuman. Pegang-pegangan. Yang cuma digebu nafsu tanpa malu-malu. Padahal belum tentu ‘pacar’ mereka itu yang akan jadi pendamping hidup mereka sampai mati nanti. Aku tidak mau punya label. Aku tidak mau jadi tempat anjing-anjing untuk kencing.
Aku memang berbeda dengan Gie. Dan ini cuma satu dari sekian puluh ribu perbedaan kami. Selama 2 tahun terakhir aku sudah dengar puluhan nama dari bibirnya. Nama-nama yang punya nama belakang ‘Sayang’. Sheera Sayang. Dewi Sayang. Rossa Sayang. Chika Sayang. Dan sekarang orang bernama belakang ‘Sayang’ itu adalah Lisa. Mereka semua pada umumnya terlihat sama. Kulit putih, badan biola, punya rambut panjang setidaknya di bawah bahu, rajin ke salon tiap hari minggu. Sedangkan aku, Gie cuma pernah mendengar satu nama dari bibirku. Namanya sendiri. Tentu saja bukan dirinya, tapi mereka punya nama yang sama.
“Kamu satu-satunya anak 15 tahun yang naksir sama orang mati, yang pernah jadi teman saya”. Begitu ucapnya dulu, ketika pertama kali aku cerita siapa orang yang aku suka. Dia seorang aktifis mahasiswa di era Pak Karno dulu. Dia dan aku sama-sama memiliki satu kesamaan. Kita sama-sama tidak tau apa itu cinta. Namanya Soe Hok Gie, seorang keturunan Cina. Karna itu ketika orang memanggil seorang Regie Saputra sebagai Putra, aku lebih memilih memanggilnya dengan nama Gie.
Soe Hok Gie mati muda. Dan sampai sekarang, seorang Regie Saputra masih tidak bisa mengerti bahwa meskipun seseorang sudah mati, pesona tetap bisa hidup abadi.
“Kamu masih nge-stuck sama Gie-Yang-Sudah-Mati itu, ya? Seandainya kamu ngerti, Ve. Orang mati gak bisa kamu jadikan pacar. Masih mending nempel poster artis di kamar dan berharap suatu saat nanti kamu bisa jadi gebetan artis itu. Setidaknya mereka masih hidup. Masih ada harapan. Nah kamu, sekali nempel poster, poster orang mati” cerocos Gie membabi buta. Melihat aku yang tidak bereaksi apa-apa atas pertanyaannya.
“Gie! Saya gak pernah bilang pengen Gie-Yang-Sudah-Mati jadi pacar saya. Saya cuma pernah bilang kalau seandainya sosok seperti dia masih ada sampai sekarang, saya akan jatuh cinta padanya.”
“Ve…”
“Apa?”
“Kamu memang beda, ya. Karna itu saya gak pernah bisa jauh dari kamu. Gak peduli berapapun cewek yang saya taksir, tapi nama Silvana Vega selalu punya tempat paling lebar di hati saya.”
“Gie…”
“Apa?”
“Gombalmu jelek. Harus latihan lagi supaya bisa buat Lisa terlena.”
Ia tertawa keras sampai kujauhkan ponselku dari telinga. Bagaimana ia bisa tertawa sebegitu kerasnya, padahal aku sama sekali tidak bercanda. Hampir satu jam kami bertelponan, ia membuat laporan lisan lengkap soal pacarnya. Baru-baru aku tau kalau Lisa sudah menaksirnya semenjak dulu, dan betapa cemburunya gadis itu dengan diriku.
“Ve, besok malam saya boleh main ke rumah, ya? Sekalian nganter kain  oleh-oleh Papa buat Bapak kamu.”
“Wih, dari mana lagi sekarang? Lombok?”
“Bukan. Toraja. Lombok bukan tempat kain, Ve.”
“Oh” jawabku seadanya. Aku memang tidak punya bakat tebak-tebakan.
“Jam 8, ya?”
“Hm..” aku berpikir dulu. Mencoba mengulur waktu. “Oke.”
Tiba-tiba terdengar suara ‘tut’ panjang. Ia menutup duluan. Mungkin ia terlalu bahagia malam ini, sampai-sampai lupa mengucapkanku selamat malam.
***
            Aku menunggu cemas di balik pagar. Jarum panjang jam sudah melewati angka 4 ketika jarum pendeknya tepat diangka 8. Kemana Gie? Aku takut sesuatu menimpanya di perjalanan. Seperti tabrakan atau masuk ke sungai dan tidak pernah ditemukan. Terlebih langitnya seperti sedang dalam sesi pemotretan. Kilat. Cahaya flash dimana-mana.
            Tak lama kemudian cemasku teredam. Lega rasanya mengetahui ia tidak tabrakan atau masuk dalam sungai dan tidak pernah ditemukan. Rupanya cemas itu tidak hilang, hanya bertransformasi jadi kekesalan.
            “Kemana aja? Malam mingguan dulu sama Lisa?”
            “Enggak. Cuma ngantar dia ke rumah sakit jenguk om-nya.”
            “Oh. Rumah sakit mana? Paris van Java?” tanyaku menyiritkan mata. Sarkasme itu kadang memang menyenangkan.
            “Ve… Santo Yusup. Om-nya sakit. Beneran.”
            Kesalku mereda, entah karena Gie sendiri, atau langit yang terlalu capek pemotretan, keringatnya jatuh dimana-mana sekarang.
            Langit belum berhenti menjatuhkan keringatnya sampai jam 11 malam. Bapak belum mengijinkan Gie pulang karena takut terjadi apa-apa di jalan. Jalanan malam berbahaya, terlebih ketika hujan. Aku takut keadaannya akan lebih buruk, dan, ya, Bapak mengambil telepon dan berkata bahwa Gie malam ini akan menginap di rumahnya. di rumahku. Disini.
            Ini malam minggu. Lisa, pacarnya, hanya diantar menjenguk keluarga. Sedang aku, kini ia bermalam di rumahku. Atas seijin Bapakku. Kalau tau, Lisa pasti sudah gosong terbakar cemburu. Tapi aku tidak melihat Gie memegang ponsel semenjak datang, tidak ada telepon atau sms, bahkan untuk mengecek saja ia terlihat tidak berminat.
            Gie tidur di sofa, aku bekali dia dengan sebuah bantal dan selimut tua. Rumah jarang kedatangan tamu menginap. Aku keluar kamar saat jam sudah menunjukan pukul 12, memastikan ia baik-baik saja. Rupanya ia belum tertidur saat itu, ia tengah mengamati foto-foto keluarga yang terpampang di dinding-dinding ruang tamu.
            “Gie, yang itu jelek semua. Coba liat yang ini.” ucapku sambil menyodorkan album foto berwarna ungu muda.
            Gie cuma manggut-manggut saja. Bibirnya mulai tersenyum ketika ia buka lembar pertama. Album ungu muda itu mahakarya yang kubuat selama 2 tahun kebelakang.  Album yang merekam bagaimana hidupku menjadi lebih berwarna sejak tanggal dimana ia duduk di sampingku. Menjadi teman dekatku.
            Bapak sudah tidur lelap di kamarnya. Kadang kami harus membekap mulut agar tidak tertawa terlalu keras, karna sebagian besar dari foto-foto ini terlihat begitu menggelikan dan sebagian lagi memuakkan.
            “Keren, Ve. Niat banget kamu bikin album ini jadi kayak bentuk puzzle.”
            “Habis, Saya suka puzzle. Asik. Bikin penasaran, tapi gak kayak tebak-tebakan. Kita sudah tau semua jawabannya, tinggal kita rangkai aja sendiri. dan akhirnya selalu bener kan?”
            Sekali lagi ia membekap mulutnya agar tidak tertawa. “Berarti kamu  punya puzzle kan? Ambil deh, kita rangkai bareng. Saya gak bisa tidur, kali aja kalo bosan main puzzle jadi ngantuk.”
            Ku sikut bahunya sambil merengut. Dasar tidak tau diri. “Ada sih, hadiah dari Bapak waktu Saya umur 7 tahun. Tapi ada bagian yang hilang. Saya males mainin lagi sejak itu. Toh gambarnya gak akan pernah jadi, gak akan pernah sempurna.”
            Gie terdiam sejenak, tatapannya melemah seakan aku baru berkata hal-hal menyentuh hati. “Sudah lah. Ambil aja, kasian puzzle kamu dinganggurkan bertaun-taun.”
            Dan seperti biasanya, aku melakukan yang ia pinta.
            Kami merangkai puzzle itu selama hampir setengah jam, dengan ukuran 0.5 x 0.5 meter dan warna yang beraneka ragam, jujur ini cukup melelahkan. Jam 1 kurang 5, semua potongan puzzle sudah terpasang. Tapi seperti yang ku katakan sebelumnya, tidak akan pernah sempurna.
            “Liat kan… gambarnya gak bakal jadi, Gie. Percuma.”
            Sebenarnya puzzle ini memiliki gambar yang begitu mengagumkan. Menurutku. Melihatkan pemandangan animasi sebuah taman dengan sekelompok anak-anak yang bertebaran dimana-mana. Tapi sayang ada bagian yang hilang. Bagian itu seharusnya bergambar badan seorang anak laki-laki yang sedang memegang balon. Di sampingnya terduduk seorang anak perempuan di kursi taman. Bagian itu, adalah bagian favoritku.
            Kadang aku menafsirkan gambar itu sebagai sebuah kehidupan remaja. Ceria. Suka duka. Teman-teman dan sebagainya. Aku adalah sosok anak perempuan yang duduk di kursi taman. Yang diam, sedang teman-teman lain sedang sibuk bermain-main. Cuma si pemegang balon yang menemaninya saat itu. Yang menemaniku saat itu. Tapi sayang, bahkan sebagian dari si pemegang balon pun sekarang sudah hilang. Anak perempuan itu kesepian, meskipun berada di tengah taman yang ramai. Seperti aku, yang merasa tidak pernah benar-benar punya kehidupan remaja, dan tidak pernah tau apa artinya.
            Gie tiba-tiba berdiri. Mencari kertas dan merobeknya menjadi potongan kecil. Lalu ia menggambarkan bentuk hati disana. Dengan spidol kecil berwarna merah, yang biasa digunakan Bapak mencatat nomor telepon. Ia menempelkan potongan kertas itu ke bagian puzzle yang hilang. Sejenak aku tidak mengerti apa yang ia lakukan. Sampai bibirnya tersenyum dan berkata; “Liat kan… gambarnya sekarang sudah jadi. Coba perhatiin deh, ini bagian dada cowok yang bawa balon kan? Gak penting apa yang keliatan di luarnya. Yang penting dalemnya, Ve. Hatinya.”
            Aku tertegun sejenak. Merekam kalimat itu di otak dan menyambungkan semua detail hal. Merangkainya seperti puzzle. Dimana aku sudah tau jawabannya dan tinggal kurangkaikan saja. Dan akhirnya selalu benar. Selalu sempurna. Ya, gambar itu sekarang sudah jadi. Tidak ada lagi bagian yang hilang dari si pemegang balon. Gadis kecil yang duduk di kursi taman tidak lagi kesepian. Aku tidak perlu lagi bertanya-tanya apa itu kehidupan remaja. Puzzle ini sudah terlengkapi. Hidupku sudah terlengkapi.
            potongan puzzle terakhir. Ucapku dalam hati.
            “Potongan puzzle terakhir” Ucapku lagi, kali ini bukan cuma dalam hati, kali ini kutujukan untuk Gie.
            Gie tidak menjawab. Bibirnya tersenyum hangat.
“Gie, mulai sekarang saya akan berhenti nyari apa itu kehidupan remaja. Saya sudah punya hidup saya sendiri. Saya cuma perlu mimpi. Dan saya baru sadar saya sudah punya itu sejak 2 tahun lalu. Gie, kamu ngebuat saya hidup dalam mimpi, terlepas seperti apa saya di kehidupan nyata. Album ungu muda itu buktinya. Saya mau hidup seperti itu sampai mati.” Aku tersenyum ringan. Senyum ringan yang dalam. Namun senyumku itu dibalas dengan senyuman kita-lagi-ngomongin-apa-?. Rasanya ingin kulayangkan tinjuku ini tepat ke wajahnya. Mematahkan tulang hidungnya, dan membuat ia mimisan 3 hari 3 malam. Tapi aku percaya, ia mengerti betul apa yang aku kata.
“By the way, sampai kapan kita akan tetap bicara pakai ‘Saya’? ‘Saya’ itu kaku. Saya sudah hadiahin kamu mimpi, loh…”
“’Saya’ itu romantis, Gie... Sampai tua. Sampai rambut hitam saya putih rontok dan mata cokelatmu berubah jadi abu-abu. Sampai kita punya anak cucu. Cicit kalau perlu.”
“Kita? Anak?” tatapannya berubah serius. Perpaduan terkejut dan berharap sekaligus.
“Anak kita masing-masing, Gie!” nadaku meninggi. Berusaha mengkonfirmasi. “Jangan harap saya mau nikah sama kamu, Gie. Enak saja. Kamu pikir saya mau gantungin masa depan saya sama orang kayak kamu? Iyuh…” alih-alih melempar tatapan se-illfeel mungkin, kedua tangannya malah memelukku tiba-tiba. Erat. Sampai sesak rasanya. Baru-baru aku sadar sesak bukan karena pelukkannya. Air mataku pecah tiba-tiba. Aku tidak suka.
“Gie… saya gak mau jadi istri kamu. Saya gak mau ngandung anak-anak kamu. Saya jamin itu. Tapi saya mau meluk anak-anak kamu. Seperti ini. saya pengen gendong bayi-bayi kamu yang lucu-lucu. Saya pengen jadi tante mereka kalau perlu. Toh saya ini…” suaraku tertahan. Tak tau apa yang harus kukatakan. 
“Sahabat abadi Bapak mereka sampai mati.”  Ucapnya melanjutkan.
Gie ikut menangis. Entah menangis atau sekedar pilek karena sempat kehujanan. Tapi aku tidak peduli lagi. Sempurna sudah puzzle yang ia lengkapi dengan sepotong kertas tadi. Warnanya memang berbeda. Tapi maknanya tetap sama. Air mata sudah meleburkan perbedaan warna puzzle-nya.
Sama halnya seperti kami berdua.
“Ve, gimana kalau saya mati sebelum sempat jadikan kamu tante anak-anak saya?” pertanyaan itu keluar tiba-tiba dari mulutnya.
Rupanya Gie belum juga percaya soal teori ‘orang mati dan pesona’ yang sejak dulu kukatakan berulang kali padanya. Bahwa manusia memang mati, tapi pesonanya tetap bisa hidup abadi.
“Gak apa, Gie” ucapku pelan.
“Kamu tetap jadi pencipta mimpi saya.”
Selamanya.

Lalu aku bertanya-tanya sudah berapa kali kusebut namanya dalam percakapan kami.
Gie.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar