Minggu, 02 Februari 2014

Konsistensi; lucu tanpa melucu.

Kapan saya mau berhenti diremehkan seperti ini? Saya sudah kelewat sabar rasanya. Tapi sabar tidak akan bisa membuat beliau sadar akan siapa saya dan apa yang telah saya perbuat. Saya dibesarkan oleh beliau yang punya prinsip "kalau mau jadi, jadi yang nomor satu, karena tidak ada yang peduli pada yg nomor dua, tiga, dan seterusnya."
Tapi dengan berat hati saya bilang bahwa saya bukan anak malaikat. Yang turun dari langit diantar cahaya dan diberkati dengan seluruh kesempurnaan sehingga selalu bisa jadi nomor satu tanpa harus merasakan gagal terlebih dahulu. Saya muak dengan ini semua. Tidak kah beliau seharusnya bangga pada saya? Atau setidaknya sedikitlah berpura-pura bangga.
Mungkin beliau memang lupa siapa saya dan apa yang sudah saya lakukan.
Mungkin beliau tidak ingat bahwa saya ini satu-satunya yang tidak merepotkan.
Yang dulunya diterima di SMA negeri nomor 1 bahkan sebelum lulus SMP, beliau bahkan tidak tahu bahwa saya mendaftar, saya lakukan semua sendiri dan beliau tidak tahu apa-apa sampai saya akhirnya saya berkata bahwa saya sudah diterima. Sementara bertahun-tahun sebelum itu, saya masih ingat betul bagaimana beliau sekeras-kerasnya berusaha untuk sekedar mencarikan SMA negeri untuk kakak-kakak saya, yang akhirnya tetap saja berakhir di SMK dan SMA swasta.
Mungkin beliau tidak ingat bahwa saya ini satu-satunya yang tidak merepotkan.
Yang akhirnya mewujudkan impian beliau yang sempat dua kali kandas di tangan kakak-kakak saya. Saya berhasil masuk perguruan tinggi negeri, dengan usaha saya sendiri. Sementara saya ingat bertahun-tahun sebelumnya beliau setengah mati hanya untuk mencarikan kakak-kakak saya perguruan tinggi, bahkan hanya swasta bukan negeri. Saya ingat betul ketika beliau harus membayar mahal sekali demi jalur mandiri, dan membuat sertifikat-sertifikat palsu demi menunjukan betapa emas anaknya yang satu ini, saya ingat betul ketika beliau mengeluarkan biaya ekstra untuk bimbingan belajar mahal yang nyatanya tidak juga membuahkan hasil, untuk kakak saya.
Sementara saya yang mungkin dilupakan ini hanya bermodal tekad dan satu buku tebal berharga tak lebih dari 100 ribu rupiah, belum lagi ditambah dengan tekanan mental yang diciptakan beliau karena hasil ujian nasional saya tidak begitu baik. Padahal beliau tahu sejak awal IPA bukanlah apa yang saya inginkan, saya hanya menuruti beliau dan akhirnya saya lah satu-satunya orang yang didakwa atas apa yang beliau pilihkan sebelumnya.
Bukankah begitu tidak adil semua ini? Tapi saya tidak naif dan berteriak-teriak mencari mana itu yang namanya adil. Saya cukup mengerti beliau yang memang tidak bisa menerima yang bukan nomor satu, kecuali kakak-kakak saya yang tidak henti dibanggakannya itu. Rasanya tak pernah ada harganya segala apa yang saya lakukan di mata beliau. Semua tak lebih dari sampah yang hanya patut ditertawakan. Seakan saya ini adalah lelucon terbesar dalam hidup beliau yang serba nomor satu itu.
Bukan mau saya hidup seperti ini; tidak ada anak yang memilih orang tua, juga sebaliknya. Jadi anggap saja kami terjebak dalam satu hal tidak masuk akal bernama takdir. Dan dalam hal tak masuk akal itu ada konsistensi dimana saya adalah pelawak dan beliau adalah penonton. Yang setia tertawa tanpa harus saya melucu terlebih dahulu, niscaya saya akan menjadi pelawak nomor satu.
Dan bila saat ini saya kembali ditertawakan, saya tidak lagi peduli. Bukan mau saya terjebak di suatu waktu dimana ada perubahan yang menjengkelkan. Saya benci berulang kali menjelaskan, seakan-akan yang saya ucapkan hanya omong kosong pembelaan diri. Ingin rasanya menghadapkan beliau pada yang memang berwenang, supaya jelas semua tanpa saya bersusah payah seakan mencari alibi.
Silahkan bandinkan saya dengan siapapun, saya tidak peduli lagi. Itu sudah menjadi bagian dari konsistensi hal yang tidak masuk akal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar