Jumat, 17 Januari 2014

Cokelat tua

Mereka bilang orang pasti berubah dari waktu ke waktu, tapi kini aku bernafas dan menjadi saksi hidup bahwa beberapa orang akan tetap sama dan diam pada tempatnya.
Hari itu aku bangun lebih pagi, duduk diam lebih lama sebelum akhirnya memijakan kaki di lantai yang dingin. Hujan membuat semua terasa beku, berjalan tanpa alas kaki membuat kita seakan bermain ice skating tanpa sepatu. Langkahku terhenti di depan jendela yang tirainya setengah terbuka, dan ku temukan cerita di sana.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri di bawah payung biru yang kau pegang di tangan kiri. Mengepit koran pagi. Lucu bagaimana namamu bukan jadi pertanyaan pertama yang lewat di kepalaku, melainkan nama harian pagi itu. Kompas, tribun, sapos, ataukah sekedar majalah bulanan yang sedang ingin kau baca pagi hari? Aku tidak tau pasti, kau berdiri terlalu jauh, di luar jangkauan mataku yang belum ditamengi dua lensa minus lima.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri menghadap jalanan seakan menunggu angkutan. Seakan kau tidak tahu bahwa tidak ada angkutan sepagi itu, ataukah kau memang orang baru? Lucu bagaimana aku memikirkan tentang trayek apa yang tengah kau tunggu, A, B, C, ataukah D, terlepas dari pertanyaan tentang tanggal berapa dan dimana kau dilahirkan. Mungkin karena aku tidak peduli soal masa yang sudah lewat, lebih tertarik pada hal yang belum terjadi dan belum tentu akan terjadi. Seperti halnya andai kita bertemu dalam satu angkutan, mungkin di trayek A, B, C, ataukah D, kau dan aku duduk berdampingan, bahu kita bersentuhan saking desak-desakan.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri di antara rerumputan dan kerikil yang setengah terendam air hujan. Kau memakai sepatu boot kebesaran, dan lucu bagaimana aku bertanya-tanya apakah hitam atau biru warna sepatu boot itu, terlepas dari pertanyaan apakah warna matamu. Bisa jadi hitam, cokelat, bahkan biru. Siapa tahu kau datang jauh dari benua sana, tapi aku tak terlalu peduli karena payung biru menutup wajahmu, jaket tebal juga menutup warna kulitmu.
Kau dan segelas kopi hangatmu, berdiri sendiri sedari 15 menit lalu. Lucu bagaimana aku berpikir bahwa hujan juga telah membekukanmu, seperti manusia purba yang terjebak dalam bongkahan es batu. Bagaimana aku berhayal keluar pintu rumah dan mendatangimu, menggeretmu masuk kedalam dan kusimpan di lemari pendinginku. Supaya kau tetap seperti itu meskipun hujan sudah tak lagi menyelimuti kota ini. Kau bisa kunikmati selalu seperti ini, dengan payung biru, koran pagi, sepatu boot dan segelas kopi. Tanpa harus ku ajak bicara dan kutanya siapa namamu, tanggal dan tempat kau dilahirkan, atau warna matamu sebenarnya--kuharap kau menutup mata ketika kau beku.
Lalu aku sadar akan sesuatu, mungkin apa yang kulihat hanyalah bayagan semu. Sebatas khayalan yang ingin ku lihat atau bahkan aku masih terlelap di dalam mimpiku. Tidak ada jamiman bahwa kau benar adanya, belum tentu kopi hangatlah yang mengisi gelas kertas ditanganmu itu. Imajinasi terlalu memengaruhiku. Tapi lalu kau menggerakkan tubuhmu, satu gerakan yang tertangkap mataku sebelum akhirnya bus besar menjadi tirai penutup panggung pementasan yang ku nikmati pagi itu. Lenyaplah sudah pikiranku tentang kau yang telah beku. Lenyaplah sudah pikiranku tentang kau, selepas bus itu pergi dengan serta membawamu. Lenyaplah sudah semuanya.
Hari ini aku bangun seperti biasa, tidak lebih pagi dan tidak duduk diam lebih lama. Tapi aku tetap biarkan tirai kamarku setengah terbuka, sehingga andai dunia sudah menjadi gila, akan ku temui lagi kau disana. Di seberang jalan dengan payung sedang menunggu angkutan. Namun kini tak lagi hujan, dan kalender kamar sudah kubuang karna tahunnya yang telah kadaluarsa. Tapi entah kenapa rasa itu tak jua kadaluarsa, rasa yang telah bertransformasi semenjak pertama kali aku sadar kau bukanlah sesuatu yang ingin kusimpan dalam keadaan beku. Aku ingin mengenalmu, bertanya siapa namamu, dan mencari tahu tanggal lahirmu, supaya aku bisa merayakan ulang tahunmu dan menemani setiap harimu setelah itu.
Aku tak pernah tahu mengapa, setiap bangun pagi aku selalu melirik ke arah jendela. Menunggu sesuatu setelah sekian lama, semenjak ku tangkap gerakan yang kau buat tepat sebelum bus itu membawamu entah kemana. Gerakan yang membuatku tidak punya pilihan lain kecuali tetap menunggu dan diam di tempatku, dan  berharap akan tiba suatu waktu dimana aku duduk di sampingmu dalam angkutan, dan bahu kita bersentuhan. Gerakan dimana kau mendangahkan kepala, dimana kau menampakkan mata.
Cokelat tua.
Hadiah untukmu,
Yang sudah terlelap namun tidak beku,
Yang sudah ku tau warna matanya bukan biru,
Yang tidak pernah bosan untuk kutunggu,
Yang selalu ingin lebih aku tahu.

4 komentar:

  1. Aku suka. Tulisanmu seperti potongan film di layar kaca, mereka semua adegan yang tertulis dengan jelasnya. Setiap huruf berbicara, membisikkan alunan kisah tanpa suara. Aku suka tulisanmu, tanpa kata-kata lain yang menjadikan alasannya. Hanya suka, itu saja.

    BalasHapus
  2. bagus nan. rangkaian kata-katanya puitis tapi bermakna :)

    BalasHapus