Ananda Bayu Pangestu
Rabu, 23 Desember 2015
Di Balik Senyuman Topeng Fawkes V for Vendetta: Kemelut Fasis dan Anarkis
Ananda Bayu Pangestu
Kamis, 17 Desember 2015
Jumat, 11 Desember 2015
Senin, 09 November 2015
Salam dari Semacam Kedai Kopi
Senin, 02 November 2015
Surat Kedua
Aku ingin sekali menanyakanmu sesuatu.
Saat ini. Bukan nanti-nanti.
Minggu, 01 November 2015
Yang Untukmu Itu
Barubereum, Kaki Gunung Manglayang, 25 Oktober 2015 |
Senin, 26 Oktober 2015
Soal Bahagia
Saya tidak berhak mengklaim bahwa mereka yang tidur di emperan toko kalah bahagia bahagia dari mereka yang nyenyak di ranjang empuk, setelah meminum beberapa buah pil tidur. Saya tidak berhak mengklaim bahwa mereka yang lahap makan dari tong-tong sampah kalah bahagia dari mereka yang 'jajan' dari piring-piring besar dengan secuil makanan di tengahnya. Saya juga tidak berhak mengklaim bahwa mereka yang mengakhiri nyawa sendiri kalah bahagia dari mereka yang pesakitan dan tinggal menunggu ajal. Bukankah itu menekankan bahwa kebahagiaan adalah satu hal yang tidak pernah disa diukur, atau dibanding-bandingkan?
Saya ingin suatu hari nanti menciptakan alat yang dapat mengukur kebahagiaan. Saya ingin sekali melihat seseorang tepat di mata dan mengucapkan "Kamu bahagia," dan "Kamu tidak." Semua akan lebih sederhana dan semua orang akan berhenti menerka-nerka. Apakah dia sudah cukup bahagia? Apakah selama ini ia pernah bahagia? Mata saya sembab karena terlalu banyak tidur dua hari kebelakang, apakah saya tidur karene lelah mencari kebahagiaan? Saya tidak tahu. Tidak ada yang pernah tahu.
Seorang dosen berkata semua hal ini adalah soal disorientasi masa depan, bahwa mereka yang telah memiliki segalanya pun akan jatuh di lubang terdalam jika menyadari bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah sia-sia, dan tanpa tujuan. Lalu mereka mulai mempertanyakan arti kebahagiaan itu sendiri, pada akhirnya. Mungkin memang seperti itu, mungkin mereka yang tidak bahagia adalah orang-orang yang membutuhkan ketenangan hakiki, atau apalah itu namanya.
Lebih sulit lagi apabila kita mencari kebahagiaan saat kita belum menemukan diri kita sendiri. Saya peringatkan bahwa tulisan ini akan mengerucut jadi curahan hati, kamu masih punya kesempatan untuk berhenti membaca, lalu berpindah laman. Kesalahan terbesar saya adalah mencari apa yang tidak pernah hilang, dan menyimpan apa yang tidak pernah saya temukan. Saya terlalu sibuk mencari, menggarisi titik-titik yang saya percaya akan membentuk sebuah kata bahagia. Sampai-sampai saya lupa bahwa tidak ada gunanya mencari apabila diri saya sendiri pun tidak punya cukup lahan untuk menyimpan hal-hal tadi. Diri saya sudah penuh dengan apa yang saya percayai adalah saya--sekumpulan kata-kata yang bermakna jauh dari positif. Lalu harus bagaimana? Nampaknya tulisan ini sudah bergeser fungsi, seperti yang sudah saya peringatkan tadi.
Pada akhirnya kebahagiaan masih jadi satu hal yang abstrak. Yang tidak sama seperti keyboard komputer jinjing ini. Pada akhirnya saya masihlah saya yang bertanya dan mencari, lalu menyerah lagi.
Jumat, 25 September 2015
Selepas Kebas
Minggu, 23 Agustus 2015
Surat Pertama
Aku menemuimu lagi kemarin malam.
Lucu karena di antara semua jarak dan waktu yang sengaja aku ciptakan, kamu tetap menemukan jalan pintasmu sendiri. Menyusup diam-diam, dari balik selimut tebal dan bantal empuk. Menyebrang dari pulau orang-orang terjaga, lalu bermalam mendirikan tenda di ranah abstrak bawah sadar seseorang.
Ranah abstrakku berupa kapal pesiar tadi malam. Aku sendiri belum pernah memijak kaki ke sana. Semua terasa baru dan asing, cuma kamu yang hadir dalam balutan rasa familiar. Aneh, karena beberapa waktu ke belakang, di tanah orang-orang terjaga, kamu sudah bermetamorfosa menjadi sosok yang tidak bisa lagi aku terjemahkan bahasanya.
Kamu hadir untuk pertama kalinya tadi malam. Jarak terdekat kulit kita bahkan belum pernah berhasil membawa mu meninggalkan pulau itu, pulau orang-orang terjaga. Tapi sekarang, tadi malam, kamu berhasil menampakkan raga.
Orang bilang, kerinduan bisa menciptakan fenomema tersebut. Meski entah kerinduan pihak pertama ataupun pihak kedua. Tapi bukankah sama saja? Rindu buatku bukanlah hal yang kompleks. Rindu ya rindu. Tinggal dinikmati. Hal tersulit yang harus dihadapi adalah bagaimana merelakan rindu itu sendiri. Rindu bukan hal yang dengan mudah hilang seiring kalender berganti tanggal. Kamu mengerti, kan?
Atas nama jarak dan waktu yang sengaja aku cipta,
Aku merindukanmu.
Entah kenapa.
Rabu, 19 Agustus 2015
Puisi Yang Katanya Soal Asa
Selasa, 28 Juli 2015
sudah lama sekali rasanya mencoba mengusir keinginan bodoh ini. jauh-jauh. sejauh-jauhnya. bahkan kemarin, saya terjaga semalaman berusaha mengumpulkan alasan tambahan supaya pikiran itu hilang dari benak. apa daya. sia-sia.
sudah lama sekali saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi. ini kah, itu kah. lelah dengan hanya menerka. sekali saja, sekali. sekali ini biar saya mencoba. biar saya buktikan sendiri.
malam ini saya bertaruh.
luka hati dan luka fisik, manakah yang lebih dulu sembuh?
Kamis, 16 Juli 2015
Reinkarnasi Arbor
Obrolan tentang Takjil dan Pulang
Minggu, 28 Juni 2015
Nyamuk
aku menampar mereka satu per satu
karena mereka ramai
dan aku sendiri
aku ingin berwarna seperti nyamuk
hitam dan putih, dua saja
nyamuk tidak mengenal biru, atau jingga, atau hijau, atau cokelat
mata mereka banyak, namun hanya fokus untuk sebuah lubang pori-pori
bagi segala yang hidup, segala yang mengeluarkan energi panas
tahukah kamu nyamuk adalah binatang kesayangan Budha?
ia bertelur dan menetas di dalam teratai Dewi Kwan Im
Dewi tercantik yang memiliki banyak nyamuk di kakinya
aku ingin datang kepadamu seperti seekor nyamuk kecil yang tersesat
hinggap di telinga dan membisikkan
"aku rindu"
lalu kau bebas menamparku dengan kedua telapak tanganmu
menyisakan darah merah yang esok akan kau cuci, lalu luntur
aku meluntur
Kamis, 11 Juni 2015
A Letter to a Poet
Jumat, 05 Juni 2015
and it wasn't above.
it was there right before my eyes.
but it hid in the dark.
that i could see those twinkling stars as clear as crystals.
but the star i sought wasn't one of them.
again, it hid in the dark.
i couldn't take the time to remember.
all is that it hid in the dark.
and is indeed unreachable.
Sabtu, 25 April 2015
Southern Cross of a Dying Rose
I remember one of the stories Veronika told me the other day. It was about one honorable King, one loving Queen, and one vicious Witch in a joyful kingdom. One day, the witch poisoned the kingdom well with madness, and everybody in the kingdom was gone mad, except the King and the Queen. The kingdom turned into a mess; chaos happened all over the place. The King was no longer capable of holding his throne, and then, the loving Queen said that it’d be best if they drink the water from Well of Madness just like everybody else. They finally drank it and turned as mad as the people they led, and The King continued to hold his kingdom in ‘peace’ until his very last breath. The story makes me think, what is madness? Isn’t it all about one’s perspective? I can be mad, as well as you, Veronika, The King, The Queen and everybody else. So when one tries to cut their arm, which I’ve done once, you don’t give them medicines and psychiatrist’s appointments. Because when you do, that one person is going to do the same thing over and over again until they actually dies, and when they dies, it’s their blood on your hands. I shared the thought with Veronika, we both totally agreed on this thing she also can relate to, because she once swallowed a handful of sleeping pills, and hoped for never being awakened no more. She lost it, everybody lost it.