Jumat, 26 Desember 2014

Nahkoda, Jangkar dan Dermaga

             Pernah aku membaca kisah tentang kutukan Narcissus yang mati akibat jatuh cinta pada diri sendiri, dulu sekali. Menemukan refleksi diri pada permukaan kolam, berusaha menggapai apa yang dicinta namun berakhir tenggelam. Genangan kopi dalam cangkirmu mengingatkanku akan kisah itu, dan menghabiskan waktu pagi bersamamu disini membuat aku berpikir ulang; Narcissus mungkin saja memang salah karena jatuh cinta pada sosok yang tidak lain adalah dirinya sendiri, namun andai kata ada seseorang yang jatuh cinta, bukan pada dirinya sendiri tapi bukan juga pada orang lain yang pantasnya ia cintai.
Apakah seseorang itu patut disalahkan atas jatuh cinta ke orang yang salah?
Aku memutar otak untuk sekedar mencari tahu apa sajakah jawaban-jawaban yang mungkin masuk di akal, dan jujur saja rasanya begitu tidak menyenangkan. Aku lebih memilih bernasib sial seperti Narcissus ketimbang membakar pikiran dengan pertanyaan tadi, aku akan lebih memilih tenggelam dalam kopimu yang menggenang sampai mati.
Kamu bertanggung jawab atas penderitaan kecilku ini. Atas mengapa kamu mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh sepeninggal laki-laki yang kamu temui pagi ini, laki-laki yang dengan segala kemisteriusannya menyapamu dari kejauhan, mendatangimu sampai ke meja dan berbicara denganmu hampir setengah jam lamanya.
Diantara potongan-potongan pai kecil kesukaanku dan secangkir kopi hangat favoritmu, pertanyaan-pertanyaan itu mulai menguak ke permukaan. Dimana kata-kata nahkoda, jangkar dan dermaga terdengar berulang-ulang, sampai kuping ini bosan rasanya mendengar. Pertanyaan-pertanyaan mu sungguh menyita perhatian, aku bisa saja berkhayal bahwa tempat ini adalah dermaga yang penuh dengan kapal-kapal, sehingga pertanyaan-pertanyaanmu terdengar sedikit lebih masuk akal. Tapi tidak, aku tidak bisa. Dermaga tidak punya meja cantik seperti ini. Dermaga tidak punya ornament dinding yang penuh ukiran-ukiran kecil. Dermaga tidak punya lampu hias, tidak punya gelas-gelas, dan pastinya tidak menyajikan menu sarapan pas. Ini adalah sebuah kedai pai kecil, yang letaknya hampir di tengah kota dan termakan gedung-gedung pencakar langit kokoh dengan segala kemoderenannya, jauh dari besi-besi karatan tempat kapal biasa bersandar. Tempat dimana pertanyaan-pertanyaanmu itu jelas mengusik perhatian.
Kamu tahu apa yang dilakukan kapal saat berlabuh di dermaga?
Itu pertanyaan pertamamu. Seandainya saja kamu sadar betapa konyolnya pertanyaan itu terdengar. Selain karena kalimat itu tidak wajar ditanyakan di tengah-tengah sarapan, siapa yang peduli dengan kapal yang berlabuh? Kecuali mereka orang-orang yang punya kepentingan dengan berlabuhnya kapal. Tapi aku bukan seorang turis penumpang, aku bukan seorang kuli angkat barang, dan pastinya aku bukan anak buah kapal. Aku tidak punya sedikitpun alasan untuk menerima pertanyaan konyolmu itu. Namun dengan segala hormat yang tersisa, aku memutuskan untuk menjawabmu. “Menurunkan jangkar”. Jawaban yang sangat singkat apabila dibandingkan dengan untaian kata yang berputar di kepalaku. Untaian kata yang lebih mirip roll film super panjang yang terus berputar, membosankan sekaligus memancing penasaran.
Lucu bagaimana rasa penasaranku mulai bertanya-tanya siapakah laki-laki yang berbicara padamu tadi. Karena intuisi yang aku punya mulai berkata bahwa dia lah seseorang yang patut aku salahkan atas penderitaan kecilku ini. Mungkin terlalu berlebihan bila kukatakan kamu tidak lagi ada disini. Bahwa laki-laki tadi sudah pergi membawa tiga per empat dirimu dan hanya menyisakan satu per empat untuk duduk disini bersamaku, meminum secangkir kopi sambil bertanya tentang hal-hal yang nampaknya tidak butuh jawaban sama sekali.
Pikiran tentang siapa laki-laki itu terus mengganggu pikiranku. Terbayang lagi badan tingginya, kemeja birunya, aroma musk semerbaknya, dan tangannya yang mendarat di bahu kursimu. Aku sadar aku merasa bersyukur karena meja ini memang didesain khusus untuk dua orang. Sehingga memaksa ia tetap berdiri disana selama ia berbicara denganmu. Tidak ikut duduk disini bersamamu, ikut duduk di sini bersamaku.
Rasanya percuma aku ingat-ingat lagi detail pembicaraan kalian, tidak ada satupun yang aku mengerti karena nampaknya itu hanya membicarakan tentang hal terjadi jauh di masa lalu, sedang aku baru mengenalmu tidak lebih dari 4 tahun kebelakang. Satu-satunya yang bisa aku tangkap dari setengah jam pembicaraan kalian hanyalah bau kecanggungan, semerbak memenuhi ruangan seperti membuka rice cooker berisi nasi basi tiga hari. Kecanggungan yang terlalu kental membuat aku percaya, mungkin saja ia seseorang yang dulu pernah membawakanmu bunga, membelikanmu cincin, atau mengundangmu makan malam bersama ayah-bundanya.
Kamu tahu apa guna jangkar itu?
Lanjutan tanyamu. Yang membuat aku yakin kamu tidak puas atas jawaban terakhirku meski kamu tersenyum manis untuk itu. Kamu tidak akan mengerti perasaanku hari ini, Tuhan punya rencana yang terlalu aneh karena membuat aksiku menelponmu pagi buta mengajak sarapan bersama berujung dengan kelas khursus dasar perkapalan yang malah sedikit berbau filosofis di setiap katanya. Jelas kubilang filosofis, karena dari caramu berkata aku tidak yakin maksudmu sama.
Aku sengaja membuat jeda dalam pembicaraan ini. Melirik kanan-kiri mencari keberadaan pelayan kedai lalu memanggilnya untuk sebuah pesanan ekstra. Secangkir kopi hangat, persis seperti apa yang tengah kamu nikmati saat ini. Nafasku mendadak berat, berharap kamu tangkap pesan yang sangat ingin aku sampaikan; kopi membantuku lepas dari ketegangan.   
Suaramu mulai terdengar lagi setelah pelayan kedai pergi, tidak terkesan kesal meski aku baru saja mengabaikan pertanyaan konyolmu tentang jangkar tadi. Bukankah semua orang harusnya tahu jangkar berfungsi sebagai pemberat? Supaya kapal tetap diam pada tempatnya. Aku mulai berpikir bahwa kamu tengah mempermainkanku, menganggapku tidak cukup berpengetahuan untuk mengerti akan hal semacam itu. Dan akhirnya, aku yang tetap diam penuh kesengajaan membuatmu berusaha menjawab pertanyaanmu sendiri—yang membuatmu terlihat bahkan lebih konyol lagi.
 Ketika sebuah kapal memutuskan untuk berlabuh. Ia akan menjatuhkan jangkar. Jangkar membuat kapal tetap berada di tempatnya. Bisa dibilang, jangkar adalah penahan dan pengikat. Aku pikir seorang nahkoda tidak akan sembarangan menjatuhkan jangkar. Ia tahu betul kenapa dan kapan jangkar itu harus diturunkan.
Begitu kira-kira jelasmu, aku tidak hafal betul tiap katanya karena kalimatmu yang patah-patah. Meskipun kamu dengan mantap mengatakannya, aku cukup bisa melihat apa yang ada di balik itu semua; gadis gagap yang tengah berusaha mendeskripsikan fakta bahwa alien itu nyata. Begitu kira-kira.
Aku memutuskan untuk mengikuti permainan kecilmu, karena aku tahu tidak ikut andil di dalamnya hanya akan memperburuk keadaan. Aku bertanya bagaimana jadinya bila kapal harus pergi. Tidak peduli betapa bodohnya pertanyaan itu terdengar, kamu malah tersenyum dan mulai menjawabnya dengan penuh antusias.
Jangkar akan ditarik kembali. Tapi jangkar itu bukan benda yang terbuat dari gabus kardus teve, dan tidak bisa ditarik secepat kamu membalikan telapak tangan apalagi mengedipkan mata. Butuh waktu.
Suaramu jelas terdengar lebih yakin kali ini. Berbeda dengan sebelumnya yang terdengar begitu tidak benar dan mencurigakan. Jadi kuputuskan untuk lanjut bertanya, pertanyaan yang tak kalah bodohnya; bila kapalnya tidak punya cukup waktu, bagaimana?
Aku sedikit terkejut dengan tanggapanmu atas pertanyaan itu. Bukan masalah apa yang kamu ucapkan, melainkan bagaimana caramu mengucapkannya. Emosi dalam penyampaianmu, benar-benar di angka nol. Nol berarti tanpa emosi, dan tanpa emosi membuatmu terdengar seperti orang yang tidak mau hidup tapi tidak bisa mati. Begitu menyeramkan sekaligus menggiurkan di waktu yang sama. Seandainya aku bisa merekam momen itu, dimana kamu berkata dengan penuh kekosongan rasa;
Nahkoda akan melepas jangkarnya. Begitu saja. Ditinggalkan.
Aku terdiam beberapa saat. Sementara kamu meneguk lagi kopimu yang sudah tidak terlalu hangat. Bagaimana kamu mendadak berubah dingin, seperti es krim dalam kulkas di sudut ruangan, yang sudah membeku entah untuk waktu berapa lama. Kopi hangat tidak bisa mencairkanmu, sama halnya seperti aku yang juga terpaku di sini, tidak bisa berkata apalagi berbuat sesuatu, untuk menghangatkan beku-mu.
Sementara kamu menyeruput lagi cangkir kopimu, aku mengutuk siapapun itu laki-laki yang sudah membawa tiga per empat jiwamu pergi, dan membuat satu per empat sisanya beku seperti es batu disini. Melihatmu yang sudah mirip manusia purba dalam bongkahan es, bawah sadarku terpacu untuk meraih jemarimu di sudut lain meja. Secepat itu pula kamu tiba-tiba tersedak parah dan menarik tanganmu untuk segera ditempatkan tepat membekap mulut. Jelas kedinginan akut.
Siapapun laki-laki itu, tidak diragukan lagi, ia bertanggung jawab atas semua ini. Atas menculik tiga per empat jiwamu ketika aku butuh sepenuhnya untuk merayakan sebuah hari bahagia.
Selamat Ulang Tahun, Meira.
Tidakkah kamu ingat itu? Bukankah aku sudah menandai kalendermu? Bagaimana bisa kamu tidak ingat tentang hari ini, hari dimana tepat 24 tahun lalu kamu mulai bernafas dari hidungmu sendiri, dimana kamu menangis untuk yang pertama kali, dan dimana kamu juga melupakan semua hal yang sudah pernah kamu tanda tangani.
Ya, aku pernah membaca sebuah buku dulu sekali, jauh sebelum aku membaca tentang Narcissus kita yang patut dikasihani. Buku itu membuat  aku percaya bahwa sebelum roh dihembuskan ke sebuah janin di perut seorang ibu, roh itu sudah menandatangani sebuah kontrak hidup. Dimana semua sudah tertulis dan tidak bisa diganggu-gugat lagi. Namun ketika bayi yang sudah di-roh-i itu terlahir ke dunia, ia lupa. Ia lupa tentang semua poin kontrak yang sudah ia baca dan ia tanda tangani itu. Sehingga ketika ia tumbuh dan beranjak dewasa, ia akan sering mengartikan suatu hal sebagai sebuah kebetulan. Padahal kebetulan yang ia maksud sudah pernah ia baca dan setujui sebelumnya, lama sebelum ia mengenal a b c d itu apa. Tapi tentu saja, ia lupa.
Kamu lupa hari ini, Meira. Tapi aku yakin kamu tidak melupakan laki-laki tadi. Kamu tidak melupakan hari dimana mungkin saja ia membawakanmu bunga, membelikanmu cincin, atau mengundangmu makan malam bersama ayah-bundanya. Tidak seperti aku yang lupa, bahwa dulu aku sudah menandatangani kontrak dimana aku harus bertanya-tanya, siapakah laki-laki itu dan mengapa bisa ia merenggut kamu yang aku tahu.
Aku tahu benar kamu memang masih disini, masih berusaha menghabiskan secangkir kopi yang pasti mulai terasa pahit berlebihan dan tidak karuan, sepahit pembicaraan kita pagi ini, sepahit bola mata yang lebih sering kamu pejamkan sejak bertemu laki-laki tadi. Tapi aku juga tahu bahwa tiga per empat jiwa mu itu masih mengambang tinggi, dan jelas bukan di langit-langit kedai ini. Meski aku bisa melihatmu tepat di hadapanku, meski kenyataannya tubuh kita hanya berjarak hitungan jengkal. Entah kenapa rasanya sulit sekali kamu untuk ditemui.
Seakan aku berada di kejauhan, mengamatimu dari ketinggian mercusuar. Kamu nampak dibalut gaun selutut, berdiri di tepi dermaga dengan topi yang berusaha kamu jaga dari hembusan angin laut. Menunggu, ataukah mengantar sesuatu, aku tidak tahu. Kamu hanya berdiri diam disana. Tanpa tas atau barang bawaan, sehingga aku tahu pergi bukanlah niatanmu. Mungkin kamu menunggu seseorang kembali pulang, menunggu berlabuhnya kapal.
Sementara kamu berdiri diam disana, aku berpikir tidakkah lucu bagaimana aku bisa duduk disini, bersamamu, dengan lutut kita yang nyaris bersentuhan, mendengarkan pertanyaan dan jawaban tentang nahkoda, jangkar juga dermaga. Aku tidak akan menutup mata dan berkata bahwa kejadian hari ini adalah sebuah kebetulan. Aku hanya lupa, Meira. Aku lupa pernah menandatangani ini semua. Untuk duduk disini bersamamu, menghabiskan sepotong pai dan secangkir kopi, mendapatimu hadir tanpa jiwa yang lengkap karena seorang laki-laki telah merenggutnya pergi.
Tidak ada yang namanya ‘kebetulan’, Meira. Kita hanya lupa. Semua terjadi dengan tujuan. Semua. Entah itu mengapa nyamuk diciptakan, ataupun mengapa aku bisa duduk di sini bersamamu menghabiskan sepotong pai dan secangkir kopi, mengapa kamu bisa bertemu seorang laki-laki yang seharusnya sudah jadi fosil dalam ruang terkunci sudut hati, mengapa ia bisa muncul lagi di hadapanmu pagi ini. Kamu yang tengah duduk di hadapanku, di sini, bersamaku. Bukankah itu lucu?
Aku mengerti, bahwa kamu tidak akan mengerti letak kelucuannya. Karena bahkan kamu tidak ada disini. tiga per empat jiwamu itu masih berdiri di sana, di tepi dermaga dengan gaun biru muda dan topi yang masih berusaha kamu jaga. Apa yang kamu lakukan disana? Siapakah yang kamu tunggu, Meira?
Lalu aku putuskan untuk memecah keheningan sejak suara terakhirmu, yang tidak berperasaan itu. Aku bertanya tentang kemungkinan kecil yang terdengar sedikit tidak mungkin. Tentang kesalahan yang bisa saja dilakukan seorang nahkoda biarpun sangat kecil kemungkinannya. Bukankah nahkoda juga manusia, Meira? Bagaimana kalau ia keliru? Bagaimana kalau ia berlabuh di dermaga yang salah?
Lagi, aku terpana. Bukan masalah apa yang kamu ucapkan, bukan juga bagaimana caramu mengucapkannya. Kamu bahkan tidak—belum—berkata apa-apa. Kamu hanya diam, dengan sorot mata yang penuh akan rasa. Berbanding terbalik dengan jawaban terakhirmu sebelumnya. Sarat akan rasa membuatmu jauh lebih menyeramkan ketimbang tanpa rasa sama sekali, ternyata. Bagaimana tidak? Sorot mata itu jelas merefleksikan amarah hendak membunuh orang, kasih sayang tulus serta kepolosan, dan seorang gadis kecil yang meringkuk menangis ketakutan. Sekaligus, dalam satu waktu yang bersamaan.
Apa kamu bisa menyalahkan diri mu atas jatuh cinta ke orang yang salah?
Itu bahkan bukan sebuah jawaban, Meira. Itu pertanyaan. Dan itulah pertanyaan yang membuat aku merasa lebih baik bertukar nasib dengan Narcissus saja. Mengapa kamu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan seperti itu? Bukankah kita tengah bicara tentang nahkoda, jangkar dan dermaga?
Kenapa matamu mulai berair, Meira? Aku yakin kamu tidak sedang kelilipan, dan cukup yakin tidak ada yang sedang memotong bawang. Kamu menangis, Meira. Kristal bening berjatuhan dari kelopak matamu. Kenapa? Kenapa aku hanya diam, Meira? Aku tidak tahu harus berbuat apa. Kamu menangis, Meira. Jangan buat aku menangis juga.
Aku benci bagaimana rasa panik membuatku lari kesana kemari dalam pikiran. Sementara di kehidupan nyata aku hanya duduk diam tanpa tahu harus berbuat apa. Aku merasa seperti pengecut, Meira. Aku tidak berani menenangkanmu yang makin mengisak di tengah-tengah kedai pai yang ramai.
Tapi tangisanmu membuat aku mengerti, Meira. Butiran kristal bening itu membuatku akhirnya mengerti. Bukankah itu hebat? Aku menemukan benang yang menghubungkan ini semua; nahkoda, jangkar, dermaga, dan orang misterius yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Meskipun setiap partikel dalam tubuhku menolak untuk percaya, tapi aku tahu.
Kamu sudah jatuh cinta, Meira. Kamu masih jatuh cinta.
Aku benci mendapati kenyataan bahwa sesorang yang mungkin saja pernah membawakanmu bunga, membelikanmu cincin, atau mengundangmu makan malam bersama ayah-bundanya itu sudah membujukmu untuk menjatuhkan hati, menjatuhkan diri ke kolam dalam dimana kamu kamu tahu kamu tidak bisa berenang. Bukankah kamu bisa mati tenggelam, Meira? Tapi tidak apa, aku yakin kamu sudah menyetujui itu semua. Kamu sudah menandatangani semua poin kontrak hidupmu. Termasuk untuk jatuh cinta, sepaket dengan segala sakit hatinya.
Aku tidak lagi bertanya-tanya siapakah dia. Tangisanmu menjelaskan itu semua. Dia pastilah seseorang yang hebat hingga bisa membuat kamu yang kuat menjadi terisak kehabisan nafas, aku percaya dia juga yang mengenalkanmu pada semua omong kosong ini, tentang nahkoda, jangkar, dan dermaga. Persis seperti apa yang baru saja kamu lakukan padaku pagi ini. Apakah itu kebetulan, Meira? Aku tidak tahu, tapi bila memang itu sebuah kebetulan, maka itu adalah kebetulan yang manis sekali.
Memang seperti itu cinta, Meira. Manis. Dan pastinya kamu tahu manis berlebihan akan membunuhmu perlahan-lahan. Apakah sekarang kamu juga berpikir lebih baik terkutuk layaknya Narcissus?
Echo, tahukah kamu tentang gadis itu? Mungkin ia adalah kamu, mungkin ia juga rasakan apa yang kini kamu rasa. Ia adalah gadis yang malang karena jatuh cinta pada Narcissus, Meira. Ia biarkan dirinya terperangkap dalam rasa yang ia ciptakan sendiri, begitu lama hingga yang tersisa dari dirinya hanyalah bisikan-bisikan yang kadang terdengar orang. Dewi Nemesis menghukum Narcissus atas hal itu, atas mengabaikan cinta Echo yang tulus sekian lamanya.
Aku rasa memang seperti itulah cinta, Meira. Penuh pengabaian dan karma. Tapi tetap saja, sekarang aku percaya, Echo tidak bisa disalahkan atas jatuh cinta pada Narcissus, Narcissus tidak dapat disalahkan atas jatuh cinta pada dirinya sendiri. Kamu, Meira, tidak bisa menyalahkan dirimu sendiri atas jatuh cinta pada laki-laki itu. Bukankah nahkoda tidak pernah keliru? Bukankah nahkoda tidak akan sembarangan menjatuhkan jangkar? Ia tahu betul kenapa dan kapan jangkar itu harus diturunkan.
“Selamat Ulang Tahun, Meira.” Kali ini kuucapkan bukan hanya dalam hati saja. Aku tidak khawatir lagi akan tiga per empat jiwamu yang pergi; aku akan menjemputnya sendiri.
Percayakah kamu? Aku akan mendatangimu kesana, Meira, menemanimu yang tengah sendiri memegangi topi di sisi dermaga. Aku akan turun dari mercusuar tempatku mengamatimu, tempatku menunggu kamu menarik balik jangkar yang telah kamu jatuhkan entah untuk waktu berapa lama itu.
Aku akan mendatangimu, Meira, dengan kotak kecil berpita biru yang kusembunyikan di balik saku jas-ku. Tepat setelah kamu lupa semua tentang nahkoda, jangkar dan dermaga. Aku akan berdiri di belakangmu, mengeluarkan kotak berpita biruku sambil meminta kamu sejenak pejamkan mata. Aku akan berbisik pelan dari belakang helai rambutmu, membawakanmu kabar bahwa kapalnya sudah bersandar, sambil mengalungkanmu sebuah liontin jangkar.
Aku adalah nahkoda, Meira. Nahkoda tidak pernah salah.
Kapalku berlabuh sudah.


Untuk semua dermaga,
 yang masih menunggu kapalnya


2/08/14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar