Pernah aku membaca kisah tentang kutukan Narcissus
yang mati akibat jatuh cinta pada diri sendiri, dulu sekali. Menemukan refleksi
diri pada permukaan kolam, berusaha menggapai apa yang dicinta namun berakhir
tenggelam. Genangan kopi dalam cangkirmu mengingatkanku akan kisah itu, dan
menghabiskan waktu pagi bersamamu disini membuat aku berpikir ulang; Narcissus
mungkin saja memang salah karena jatuh cinta pada sosok yang tidak lain adalah
dirinya sendiri, namun andai kata ada seseorang yang jatuh cinta, bukan pada
dirinya sendiri tapi bukan juga pada orang lain yang pantasnya ia cintai.
Apakah seseorang itu patut disalahkan atas jatuh
cinta ke orang yang salah?
Aku memutar otak untuk sekedar mencari tahu apa
sajakah jawaban-jawaban yang mungkin masuk di akal, dan jujur saja rasanya
begitu tidak menyenangkan. Aku lebih memilih bernasib sial seperti Narcissus
ketimbang membakar pikiran dengan pertanyaan tadi, aku akan lebih memilih
tenggelam dalam kopimu yang menggenang sampai mati.
Kamu bertanggung jawab atas penderitaan kecilku ini.
Atas mengapa kamu mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh sepeninggal
laki-laki yang kamu temui pagi ini, laki-laki yang dengan segala
kemisteriusannya menyapamu dari kejauhan, mendatangimu sampai ke meja dan
berbicara denganmu hampir setengah jam lamanya.
Diantara potongan-potongan pai kecil kesukaanku dan
secangkir kopi hangat favoritmu, pertanyaan-pertanyaan itu mulai menguak ke
permukaan. Dimana kata-kata nahkoda, jangkar dan dermaga terdengar
berulang-ulang, sampai kuping ini bosan rasanya mendengar.
Pertanyaan-pertanyaan mu sungguh menyita perhatian, aku bisa saja berkhayal
bahwa tempat ini adalah dermaga yang penuh dengan kapal-kapal, sehingga
pertanyaan-pertanyaanmu terdengar sedikit lebih masuk akal. Tapi tidak, aku
tidak bisa. Dermaga tidak punya meja cantik seperti ini. Dermaga tidak punya
ornament dinding yang penuh ukiran-ukiran kecil. Dermaga tidak punya lampu
hias, tidak punya gelas-gelas, dan pastinya tidak menyajikan menu sarapan pas.
Ini adalah sebuah kedai pai kecil, yang letaknya hampir di tengah kota dan termakan
gedung-gedung pencakar langit kokoh dengan segala kemoderenannya, jauh dari besi-besi
karatan tempat kapal biasa bersandar. Tempat dimana pertanyaan-pertanyaanmu itu
jelas mengusik perhatian.
Kamu tahu apa
yang dilakukan kapal saat berlabuh di dermaga?
Itu pertanyaan pertamamu. Seandainya saja kamu sadar
betapa konyolnya pertanyaan itu terdengar. Selain karena kalimat itu tidak
wajar ditanyakan di tengah-tengah sarapan, siapa yang peduli dengan kapal yang
berlabuh? Kecuali mereka orang-orang yang punya kepentingan dengan berlabuhnya
kapal. Tapi aku bukan seorang turis penumpang, aku bukan seorang kuli angkat
barang, dan pastinya aku bukan anak buah kapal. Aku tidak punya sedikitpun
alasan untuk menerima pertanyaan konyolmu itu. Namun dengan segala hormat yang
tersisa, aku memutuskan untuk menjawabmu. “Menurunkan
jangkar”. Jawaban yang sangat singkat apabila dibandingkan dengan untaian
kata yang berputar di kepalaku. Untaian kata yang lebih mirip roll film super
panjang yang terus berputar, membosankan sekaligus memancing penasaran.
Lucu bagaimana rasa penasaranku mulai bertanya-tanya
siapakah laki-laki yang berbicara padamu tadi. Karena intuisi yang aku punya
mulai berkata bahwa dia lah seseorang yang patut aku salahkan atas penderitaan
kecilku ini. Mungkin terlalu berlebihan bila kukatakan kamu tidak lagi ada disini.
Bahwa laki-laki tadi sudah pergi membawa tiga per empat dirimu dan hanya
menyisakan satu per empat untuk duduk disini bersamaku, meminum secangkir kopi
sambil bertanya tentang hal-hal yang nampaknya tidak butuh jawaban sama sekali.
Pikiran tentang siapa laki-laki itu terus mengganggu
pikiranku. Terbayang lagi badan tingginya, kemeja birunya, aroma musk semerbaknya, dan tangannya yang
mendarat di bahu kursimu. Aku sadar aku merasa bersyukur karena meja ini memang
didesain khusus untuk dua orang. Sehingga memaksa ia tetap berdiri disana
selama ia berbicara denganmu. Tidak ikut duduk disini bersamamu, ikut duduk di
sini bersamaku.
Rasanya percuma aku ingat-ingat lagi detail
pembicaraan kalian, tidak ada satupun yang aku mengerti karena nampaknya itu hanya
membicarakan tentang hal terjadi jauh di masa lalu, sedang aku baru mengenalmu
tidak lebih dari 4 tahun kebelakang. Satu-satunya yang bisa aku tangkap dari
setengah jam pembicaraan kalian hanyalah bau kecanggungan, semerbak memenuhi
ruangan seperti membuka rice cooker
berisi nasi basi tiga hari. Kecanggungan yang terlalu kental membuat aku
percaya, mungkin saja ia seseorang yang dulu pernah membawakanmu bunga,
membelikanmu cincin, atau mengundangmu makan malam bersama ayah-bundanya.
Kamu tahu apa
guna jangkar itu?
Lanjutan tanyamu. Yang membuat aku yakin kamu tidak
puas atas jawaban terakhirku meski kamu tersenyum manis untuk itu. Kamu tidak
akan mengerti perasaanku hari ini, Tuhan punya rencana yang terlalu aneh karena
membuat aksiku menelponmu pagi buta mengajak sarapan bersama berujung dengan
kelas khursus dasar perkapalan yang malah sedikit berbau filosofis di setiap
katanya. Jelas kubilang filosofis, karena dari caramu berkata aku tidak yakin
maksudmu sama.
Aku sengaja membuat jeda dalam pembicaraan ini.
Melirik kanan-kiri mencari keberadaan pelayan kedai lalu memanggilnya untuk
sebuah pesanan ekstra. Secangkir kopi hangat, persis seperti apa yang tengah
kamu nikmati saat ini. Nafasku mendadak berat, berharap kamu tangkap pesan yang
sangat ingin aku sampaikan; kopi membantuku lepas dari ketegangan.
Suaramu mulai terdengar lagi setelah pelayan kedai
pergi, tidak terkesan kesal meski aku baru saja mengabaikan pertanyaan konyolmu
tentang jangkar tadi. Bukankah semua orang harusnya tahu jangkar berfungsi
sebagai pemberat? Supaya kapal tetap diam pada tempatnya. Aku mulai berpikir
bahwa kamu tengah mempermainkanku, menganggapku tidak cukup berpengetahuan
untuk mengerti akan hal semacam itu. Dan akhirnya, aku yang tetap diam penuh
kesengajaan membuatmu berusaha menjawab pertanyaanmu sendiri—yang membuatmu
terlihat bahkan lebih konyol lagi.
Ketika sebuah kapal memutuskan untuk
berlabuh. Ia akan menjatuhkan jangkar. Jangkar membuat kapal tetap berada di
tempatnya. Bisa dibilang, jangkar adalah penahan dan pengikat. Aku pikir
seorang nahkoda tidak akan sembarangan menjatuhkan jangkar. Ia tahu betul
kenapa dan kapan jangkar itu harus diturunkan.
Begitu kira-kira jelasmu, aku tidak hafal betul tiap
katanya karena kalimatmu yang patah-patah. Meskipun kamu dengan mantap
mengatakannya, aku cukup bisa melihat apa yang ada di balik itu semua; gadis
gagap yang tengah berusaha mendeskripsikan fakta bahwa alien itu nyata. Begitu
kira-kira.
Aku memutuskan untuk mengikuti permainan kecilmu,
karena aku tahu tidak ikut andil di dalamnya hanya akan memperburuk keadaan.
Aku bertanya bagaimana jadinya bila kapal harus pergi. Tidak peduli betapa
bodohnya pertanyaan itu terdengar, kamu malah tersenyum dan mulai menjawabnya
dengan penuh antusias.
Jangkar akan
ditarik kembali. Tapi jangkar itu bukan benda yang terbuat dari gabus kardus
teve, dan tidak bisa ditarik secepat kamu membalikan telapak tangan apalagi
mengedipkan mata. Butuh waktu.
Suaramu jelas terdengar lebih yakin kali ini.
Berbeda dengan sebelumnya yang terdengar begitu tidak benar dan mencurigakan.
Jadi kuputuskan untuk lanjut bertanya, pertanyaan yang tak kalah bodohnya; bila
kapalnya tidak punya cukup waktu, bagaimana?
Aku sedikit terkejut dengan tanggapanmu atas
pertanyaan itu. Bukan masalah apa yang kamu ucapkan, melainkan bagaimana caramu
mengucapkannya. Emosi dalam penyampaianmu, benar-benar di angka nol. Nol
berarti tanpa emosi, dan tanpa emosi membuatmu terdengar seperti orang yang
tidak mau hidup tapi tidak bisa mati. Begitu menyeramkan sekaligus menggiurkan
di waktu yang sama. Seandainya aku bisa merekam momen itu, dimana kamu berkata
dengan penuh kekosongan rasa;
Nahkoda akan
melepas jangkarnya. Begitu saja. Ditinggalkan.
Aku terdiam beberapa saat. Sementara kamu meneguk
lagi kopimu yang sudah tidak terlalu hangat. Bagaimana kamu mendadak berubah
dingin, seperti es krim dalam kulkas di sudut ruangan, yang sudah membeku entah
untuk waktu berapa lama. Kopi hangat tidak bisa mencairkanmu, sama halnya
seperti aku yang juga terpaku di sini, tidak bisa berkata apalagi berbuat
sesuatu, untuk menghangatkan beku-mu.
Sementara kamu menyeruput lagi cangkir kopimu, aku
mengutuk siapapun itu laki-laki yang sudah membawa tiga per empat jiwamu pergi,
dan membuat satu per empat sisanya beku seperti es batu disini. Melihatmu yang
sudah mirip manusia purba dalam bongkahan es, bawah sadarku terpacu untuk
meraih jemarimu di sudut lain meja. Secepat itu pula kamu tiba-tiba tersedak
parah dan menarik tanganmu untuk segera ditempatkan tepat membekap mulut. Jelas
kedinginan akut.
Siapapun laki-laki itu, tidak diragukan lagi, ia
bertanggung jawab atas semua ini. Atas menculik tiga per empat jiwamu ketika
aku butuh sepenuhnya untuk merayakan sebuah hari bahagia.
Selamat Ulang Tahun, Meira.
Tidakkah kamu ingat itu? Bukankah aku sudah menandai
kalendermu? Bagaimana bisa kamu tidak ingat tentang hari ini, hari dimana tepat
24 tahun lalu kamu mulai bernafas dari hidungmu sendiri, dimana kamu menangis
untuk yang pertama kali, dan dimana kamu juga melupakan semua hal yang sudah
pernah kamu tanda tangani.
Ya, aku pernah membaca sebuah buku dulu sekali, jauh
sebelum aku membaca tentang Narcissus kita yang patut dikasihani. Buku itu
membuat aku percaya bahwa sebelum roh
dihembuskan ke sebuah janin di perut seorang ibu, roh itu sudah menandatangani
sebuah kontrak hidup. Dimana semua sudah tertulis dan tidak bisa diganggu-gugat
lagi. Namun ketika bayi yang sudah di-roh-i itu terlahir ke dunia, ia lupa. Ia
lupa tentang semua poin kontrak yang sudah ia baca dan ia tanda tangani itu.
Sehingga ketika ia tumbuh dan beranjak dewasa, ia akan sering mengartikan suatu
hal sebagai sebuah kebetulan. Padahal kebetulan yang ia maksud sudah pernah ia
baca dan setujui sebelumnya, lama sebelum ia mengenal a b c d itu apa. Tapi
tentu saja, ia lupa.
Kamu lupa hari ini, Meira. Tapi aku yakin kamu tidak
melupakan laki-laki tadi. Kamu tidak melupakan hari dimana mungkin saja ia
membawakanmu bunga, membelikanmu cincin, atau mengundangmu makan malam bersama
ayah-bundanya. Tidak seperti aku yang lupa, bahwa dulu aku sudah menandatangani
kontrak dimana aku harus bertanya-tanya, siapakah laki-laki itu dan mengapa
bisa ia merenggut kamu yang aku tahu.
Aku tahu benar kamu memang masih disini, masih
berusaha menghabiskan secangkir kopi yang pasti mulai terasa pahit berlebihan dan
tidak karuan, sepahit pembicaraan kita pagi ini, sepahit bola mata yang lebih
sering kamu pejamkan sejak bertemu laki-laki tadi. Tapi aku juga tahu bahwa tiga
per empat jiwa mu itu masih mengambang tinggi, dan jelas bukan di langit-langit
kedai ini. Meski aku bisa melihatmu tepat di hadapanku, meski kenyataannya
tubuh kita hanya berjarak hitungan jengkal. Entah kenapa rasanya sulit sekali kamu
untuk ditemui.
Seakan aku berada di kejauhan, mengamatimu dari
ketinggian mercusuar. Kamu nampak dibalut gaun selutut, berdiri di tepi dermaga
dengan topi yang berusaha kamu jaga dari hembusan angin laut. Menunggu, ataukah
mengantar sesuatu, aku tidak tahu. Kamu hanya berdiri diam disana. Tanpa tas
atau barang bawaan, sehingga aku tahu pergi bukanlah niatanmu. Mungkin kamu
menunggu seseorang kembali pulang, menunggu berlabuhnya kapal.
Sementara kamu berdiri diam disana, aku berpikir
tidakkah lucu bagaimana aku bisa duduk disini, bersamamu, dengan lutut kita yang
nyaris bersentuhan, mendengarkan pertanyaan dan jawaban tentang nahkoda,
jangkar juga dermaga. Aku tidak akan menutup mata dan berkata bahwa kejadian
hari ini adalah sebuah kebetulan. Aku hanya lupa, Meira. Aku lupa pernah
menandatangani ini semua. Untuk duduk disini bersamamu, menghabiskan sepotong
pai dan secangkir kopi, mendapatimu hadir tanpa jiwa yang lengkap karena
seorang laki-laki telah merenggutnya pergi.
Tidak ada yang namanya ‘kebetulan’, Meira. Kita hanya
lupa. Semua terjadi dengan tujuan. Semua. Entah itu mengapa nyamuk diciptakan,
ataupun mengapa aku bisa duduk di sini bersamamu menghabiskan sepotong pai dan
secangkir kopi, mengapa kamu bisa bertemu seorang laki-laki yang seharusnya
sudah jadi fosil dalam ruang terkunci sudut hati, mengapa ia bisa muncul lagi di
hadapanmu pagi ini. Kamu yang tengah duduk di hadapanku, di sini, bersamaku.
Bukankah itu lucu?
Aku mengerti, bahwa kamu tidak akan mengerti letak
kelucuannya. Karena bahkan kamu tidak ada disini. tiga per empat jiwamu itu
masih berdiri di sana, di tepi dermaga dengan gaun biru muda dan topi yang
masih berusaha kamu jaga. Apa yang kamu lakukan disana? Siapakah yang kamu
tunggu, Meira?
Lalu aku putuskan untuk memecah keheningan sejak
suara terakhirmu, yang tidak berperasaan itu. Aku bertanya tentang kemungkinan
kecil yang terdengar sedikit tidak mungkin. Tentang kesalahan yang bisa saja
dilakukan seorang nahkoda biarpun sangat kecil kemungkinannya. Bukankah nahkoda
juga manusia, Meira? Bagaimana kalau ia keliru? Bagaimana kalau ia berlabuh di
dermaga yang salah?
Lagi, aku terpana. Bukan masalah apa yang kamu
ucapkan, bukan juga bagaimana caramu mengucapkannya. Kamu bahkan
tidak—belum—berkata apa-apa. Kamu hanya diam, dengan sorot mata yang penuh akan
rasa. Berbanding terbalik dengan jawaban terakhirmu sebelumnya. Sarat akan rasa
membuatmu jauh lebih menyeramkan ketimbang tanpa rasa sama sekali, ternyata.
Bagaimana tidak? Sorot mata itu jelas merefleksikan amarah hendak membunuh
orang, kasih sayang tulus serta kepolosan, dan seorang gadis kecil yang
meringkuk menangis ketakutan. Sekaligus, dalam satu waktu yang bersamaan.
Apa kamu bisa
menyalahkan diri mu atas jatuh cinta ke orang yang salah?
Itu bahkan bukan sebuah jawaban, Meira. Itu
pertanyaan. Dan itulah pertanyaan yang membuat aku merasa lebih baik bertukar
nasib dengan Narcissus saja. Mengapa kamu menjawab pertanyaanku dengan
pertanyaan seperti itu? Bukankah kita tengah bicara tentang nahkoda, jangkar
dan dermaga?
Kenapa matamu mulai berair, Meira? Aku yakin kamu
tidak sedang kelilipan, dan cukup yakin tidak ada yang sedang memotong bawang.
Kamu menangis, Meira. Kristal bening berjatuhan dari kelopak matamu. Kenapa?
Kenapa aku hanya diam, Meira? Aku tidak tahu harus berbuat apa. Kamu menangis,
Meira. Jangan buat aku menangis juga.
Aku benci bagaimana rasa panik membuatku lari kesana
kemari dalam pikiran. Sementara di kehidupan nyata aku hanya duduk diam tanpa
tahu harus berbuat apa. Aku merasa seperti pengecut, Meira. Aku tidak berani
menenangkanmu yang makin mengisak di tengah-tengah kedai pai yang ramai.
Tapi tangisanmu membuat aku mengerti, Meira. Butiran
kristal bening itu membuatku akhirnya mengerti. Bukankah itu hebat? Aku
menemukan benang yang menghubungkan ini semua; nahkoda, jangkar, dermaga, dan
orang misterius yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Meskipun setiap partikel
dalam tubuhku menolak untuk percaya, tapi aku tahu.
Kamu sudah jatuh cinta, Meira. Kamu masih jatuh
cinta.
Aku benci mendapati kenyataan bahwa sesorang yang
mungkin saja pernah membawakanmu bunga, membelikanmu cincin, atau mengundangmu
makan malam bersama ayah-bundanya itu sudah membujukmu untuk menjatuhkan hati,
menjatuhkan diri ke kolam dalam dimana kamu kamu tahu kamu tidak bisa berenang.
Bukankah kamu bisa mati tenggelam, Meira? Tapi tidak apa, aku yakin kamu sudah
menyetujui itu semua. Kamu sudah menandatangani semua poin kontrak hidupmu.
Termasuk untuk jatuh cinta, sepaket dengan segala sakit hatinya.
Aku tidak lagi bertanya-tanya siapakah dia.
Tangisanmu menjelaskan itu semua. Dia pastilah seseorang yang hebat hingga bisa
membuat kamu yang kuat menjadi terisak kehabisan nafas, aku percaya dia juga
yang mengenalkanmu pada semua omong kosong ini, tentang nahkoda, jangkar, dan
dermaga. Persis seperti apa yang baru saja kamu lakukan padaku pagi ini. Apakah
itu kebetulan, Meira? Aku tidak tahu, tapi bila memang itu sebuah kebetulan, maka
itu adalah kebetulan yang manis sekali.
Memang seperti itu cinta, Meira. Manis. Dan pastinya
kamu tahu manis berlebihan akan membunuhmu perlahan-lahan. Apakah sekarang kamu
juga berpikir lebih baik terkutuk layaknya Narcissus?
Echo, tahukah kamu tentang gadis itu? Mungkin ia
adalah kamu, mungkin ia juga rasakan apa yang kini kamu rasa. Ia adalah gadis
yang malang karena jatuh cinta pada Narcissus, Meira. Ia biarkan dirinya
terperangkap dalam rasa yang ia ciptakan sendiri, begitu lama hingga yang
tersisa dari dirinya hanyalah bisikan-bisikan yang kadang terdengar orang. Dewi
Nemesis menghukum Narcissus atas hal itu, atas mengabaikan cinta Echo yang
tulus sekian lamanya.
Aku rasa memang seperti itulah cinta, Meira. Penuh
pengabaian dan karma. Tapi tetap saja, sekarang aku percaya, Echo tidak bisa
disalahkan atas jatuh cinta pada Narcissus, Narcissus tidak dapat disalahkan
atas jatuh cinta pada dirinya sendiri. Kamu, Meira, tidak bisa menyalahkan
dirimu sendiri atas jatuh cinta pada laki-laki itu. Bukankah nahkoda tidak
pernah keliru? Bukankah nahkoda tidak akan sembarangan menjatuhkan jangkar? Ia
tahu betul kenapa dan kapan jangkar itu harus diturunkan.
“Selamat Ulang Tahun, Meira.” Kali ini kuucapkan
bukan hanya dalam hati saja. Aku tidak khawatir lagi akan tiga per empat jiwamu
yang pergi; aku akan menjemputnya sendiri.
Percayakah kamu? Aku akan mendatangimu kesana,
Meira, menemanimu yang tengah sendiri memegangi topi di sisi dermaga. Aku akan
turun dari mercusuar tempatku mengamatimu, tempatku menunggu kamu menarik balik
jangkar yang telah kamu jatuhkan entah untuk waktu berapa lama itu.
Aku akan mendatangimu, Meira, dengan kotak kecil
berpita biru yang kusembunyikan di balik saku jas-ku. Tepat setelah kamu lupa
semua tentang nahkoda, jangkar dan dermaga. Aku akan berdiri di belakangmu,
mengeluarkan kotak berpita biruku sambil meminta kamu sejenak pejamkan mata. Aku
akan berbisik pelan dari belakang helai rambutmu, membawakanmu kabar bahwa
kapalnya sudah bersandar, sambil mengalungkanmu sebuah liontin jangkar.
Aku adalah nahkoda, Meira. Nahkoda tidak pernah
salah.
Kapalku berlabuh sudah.
Untuk
semua dermaga,
yang masih menunggu kapalnya
2/08/14