Matahari hilang sebelum waktunya. Awan hitam
menghalang, membuat perasaan makin tidak tenang. Bagaimana tidak, hari ini
malam serasa datang lebih awal. Aku belum sudi mengakhiri hari bahagia ini.
Entah kali keberapa mataku melirik jam di tangan. Rasanya aku mulai mirip orang
kesetanan.
Seseorang di depanku seperti
menyadari akan hal itu. Mata cokelat mudanya tampak melempar tatapan aku-mohon-jangan-minta-pulang-sekarang.
Lalu tatapan itu segera disempurnakan dengan satu kalimat, yang dimaksudkan
untuk menenangkan.
“Masih jam 5, Ve. Bapakmu gak bakal
ngunci pager rumah, kok.” Ucapnya sambil menyiritkan mata.
“Saya tau, tapi ini mau hujan.
Pulang sekarang aja ya, please.”
Itu jurus terjitu yang bisa ku
lakukan. Membesarkan mata sambil sedikit berkaca-kaca. Mirip anak kucing
memelas yang mati-matian meminta makan. Selalu berhasil meluluhkan perasaan.
Terutama, dia. Orang yang menemani hari-hariku hampir 3 tahun kebelakang.
“Saya tau kamu ini perempuan. Tapi
kamu sudah SMA, Ve. Kelas 3. Bapak manapun bakal beri sedikit kelonggaran soal
jam sama anaknya.”
“Kamu enak, laki-laki. Bisa ngomong
seperti itu. Nah, saya? Mungkin bapak saya baru bakal ngelepas kalo saya sudah
nikah. Sudah punya suami. Ada yang tanggung jawab.” Protesku tidak terima.
Jurus kali ini memang tidak begitu
manjur. Harus dibumbui sedikit curhatan dulu baru bisa bekerja. Dia mengantarku
pulang beberapa menit kemudian. Setelah sebelumnya meminta mas-mas mengantar
bill makan siang kami yang kesorean. Seperti biasa, dia yang membayar. Namanya Regie
Saputra. Menyedihkan. Gie, seperti itu aku memanggilnya.
***
Seperti dugaan. Bapak sudah stand by di depan pagar ketika aku
sampai. Kaosnya putih oblong, celananya biru dongker dengan 2 saku di
masing-masing sisinya. Bapak pegang selang, seperti mau menyiram tanaman luar.
Baru-baru aku khawatir. Takut selang itu digunakan bapak mencekik Gie yang
mengantarku pulang. Selayaknya telepati, aku seperti bisa mendengar pikiran
Gie. Dia ketakutan setengah mati. Kami sama-sama menahan nafas, dan melepasnya
ketika Bapak tiba-tiba tersenyum ikhlas. Bapak menyuruh Gie singgah sebentar,
katanya, beliau masih mau menyiram tanaman.
Gie satu-satunya kebebasan yang
Bapak berikan. Cuma sama keturunan Banjar-Sunda itu aku dibolehkannya keliaran.
Itupun masih tetap dibatasi jam malam. Bapak cukup mengenal baik keluarga Gie.
Begitu juga sebaliknya. Baru-baru ini Bapak tau, kalau aku dan Gie sudah
berteman sejak lama. Kadang ketika saling bertemu, Bapak senang berbicara soal
perjodohan. Aku percaya itu cuma iseng-isengan.
Aku harus menyeduh teh sampai 3
kali, membuka 2 bungkus kue marrie, dan memilihkan acara tv, untuk acara
mengobrol senja Bapak dengan remaja pria yang semoga saja tidak dianggap
sebagai calon menantunya.
Cepat-cepat aku menyela. “Sudah mau maghrib, loh,
Pak. Kasian Gie ditunggu dirumahnya.”
Gie cuma senyum-senyum sendiri. Ia jelas mengerti
kalau aku baru saja mengusirnya dari sini. Bapak juga ikut senyum-senyum
setelah itu. Aku mulai takut kalau mereka sudah benar-benar lupa keberadaanku.
“Nah. Mending kamu maghrib-an disini aja, Gie. Gak
baik jalan maghrib-maghrib. Pamali!” akhirnya kekolotan Bapak keluar juga.
Entah maksudnya apa, tapi mereka berdua malah tertawa-tawa.
Gie tidak mengiyakan saran Bapak, tapi tidak juga ia
menolak. Kami bertiga sama-sama tau apa jawabannya tanpa harus dia berucap.
“Dia anak baik, Ve. Bapak sudah minta dia untuk
jagain kamu.” Begitu kata Bapak. Setelah mengantar Gie ke pagar depan dan
melihatnya pulang. Sambil mengacak-ngacak rambutku, seakan aku ini anak SD
kelas 1.
Seandainya Bapak tau yang sebenarnya. Aku yakin
Bapak akan mati-matian menjauhkanku dari sosok yang disebutnya calon mantu itu.
Kalau ditanya soal penyebab pertengkaranku dengan Bapak setiap malam minggu
tiba, aku dengan bangga akan menyebut nama Gie sebagai satu-satunya manusia
yang bertanggung jawab atas itu semua. Tapi aku tak pernah bilang, Bapak yang
rajin baca koran, tidak cukup rajin untuk menanyakan.
Aku mengenal Gie di kelas 1 SMA. Dia memilih duduk
denganku saat itu. Aku ingin percaya kalau dia memilih bangkuku diantara 20
buah lainnya, bukan karena aku satu-satunya yang masih duduk sendiri sedang
bangku lain sudah terisi. Ia datang ‘agak’ terlambat. Jam depalan. Padahal, panitia
MOS menyuruh datang jam enam.
Hari itu tanggal 24 Juli 2010, dan esoknya, aku
bukan lagi orang yang sama. Manusia tanpa rencana itu mengubah hidupku
sepenuhnya. Ah, tidak. Bukan sepenuhnya, cuma tiga per empatnya saja.
Satu yang ku pelajari dari Gie, jangan pernah
melakukan apa yang ia sarankan. Kenapa? Karna Gie bahkan tidak punya saran
untuk dirinya sendiri. Ia orang terkacau yang pernah aku temui. Dan sialnya,
sama seperti Gie yang tidak pernah menolak apa yang aku pinta, aku juga selalu
mengiyakan apapun maunya.
Aku punya hidup konstan yang penuh peraturan. Semua
sudah dijadwalkan. Bagun pagi jam 5 kurang 5, mandi lalu sarapan, berangkat
sekolah jam 7 kurang 20. Belajar. Istirahat. Belajar. Istirahat lagi. Belajar
lagi-lagi. Langsung pulang saat bel sekolah berbunyi. Dan seterusnya, sampai
bangun jam 5 kurang 5 lagi. Sejak Gie ada, hidup konstan yang sudah ku
pertahankan hampir 15 tahun lamanya, akhirnya cuma sisa kenangan saja.
“Kamu satu-satunya anak 15 tahun tanpa malam minggu,
yang pernah jadi teman saya.” Begitu ucapnya dulu ketika awal bertemu. Aku
berusaha mati-matian menyangkal ucapannya itu. Dia membuatku merasa seperti remaja
tanpa kehidupan remaja. Atau malah orang tua yang terjebak dalam tubuh kecil 157
cm tingginya.
Setiap saran yang Gie berikan aku lakukan, semua
berakhir cepat dengan cara yang hampir sama. Nyaris gagal. Lumayan gagal. Gagal. Dan yang
tersering, gagal total. Klise saja. Tidak ada yang jauh berbeda.
Logikaku bekerja. Logikaku mengatakan bahwa aku
harus cepat-cepat pergi dari Gie. Dan selama 2,5 tahun, tubuhku berhasil
menggagalkan niat logikaku. Kadang aku berpikir bahwa Gie benar dalam satu hal,
satu-satunya hal dalam 17 tahun hidupnya itu. Aku memang remaja tanpa kehidupan
remaja. Aku takut waktu akan berjalan cepat. Dan tau-tau saja umurku sudah 20
tahun tanpa punya satupun kenangan masa remaja. Aku takut tidak punya apa-apa
untuk ku ceritakan ke anak-anakku nanti. Tidak punya hal yang bisa ditertawakan
ataupun ditangisi.
Jadi aku mulai mengikuti cara hidupnya yang tanpa
rencana. Tanpa berpikir lama-lama dan menimbang satu per satu resikonya.
Mengendap-endap tiap malam minggu tiba. Tidak langsung pulang ketika bel
sekolah berteriak-teriak mengusir setiap orang. Lebih sering makan diluar, dan
macam-macam hal kecil lainnya. Yang jelas membunuh setiap jadwal kegiatan yang
sudah kusiapkan. Dan membuat Bapak lebih sering marah-marah karena pulangku
telat. Kadang aku harus berbohong pada Bapak, dan menangis semalaman karena
menyesal. Aku ingin hidup sebagai remaja. Tapi bukan seperti ini caranya.
Dan dalam hati, aku masih bertanya-tanya apa itu
kehidupan remaja, sampai detik ini. Bahkan ketika Bapak sudah berani mengundang
Gie masuk ke dalam rumah, aku masih juga belum mengerti.
Ponselku berdering tepat pukul 9 malam. Tanpa nama.
Orang iseng macam apa yang menelponku sebegini malamnya. Saat kuangkat,
terdengar suara yang serasa mengiris telinga saking kencangnya. “Ve!!”.
Ternyata itu Gie. Aku tersenyum dalam hati.
“Tebak, Ve!!” suara itu menggebu-gebu seperti orang
yang mengucapkannya sudah siap meledak dengan C-4.
“Kamu ketemu Pak Slamet di diskotik?” tebakku
seadanya.
“Bukan!” suara itu terdengar gemas. 2 tahun lebih mengenalku
belum juga ia sadar kalau aku tidak suka tebak-tebakan. “Lisa, Ve! Saya nembak
dia barusan. Dia terima!” lalu terdengar suara tawanya kegirangan. Sepertinya
ia benar-benar bahagia malam ini.
“Wih, asik pacar baru. Kapan traktirannya, Gie?
Pajak Baru Jadian…” jawabku menyaingi tawanya.
“Ah, kamu ini, Ve. Gak perlu tunggu saya jadian sama
cewek, baru saya mau traktir kamu makan.” Ucapnya sambil tetap tertawa. Ia
benar juga, hampir setiap hari makan siangku ditanggung olehnya. Ditambah lagi,
orang itu siap sedia mengantarkan makanan ke rumahku saat ku bilang aku sedang
butuh camilan. Meskipun tengah malam.
“Eh, Ve.” Lanjutnya menyebut namaku. “Kamu kapan
punya pacarnya?”
Aku mati kutu saat itu juga. Aku benci kalau harus
berhadapan dengan pertanyaan konyol itu. Aku lebih suka kebebasan menjalin
hubungan dengan siapa saja. Status ‘berpacaran’ akan membuat orang terikat dan
seakan ber-label. Seperti tempat-tempat tertentu yang sudah dikencingi dan
ditandai, tidak ada anjing lain yang boleh mendekati tempat itu. Mereka
berkedok ‘pacar’ agar bisa berduaan. Berciuman. Pegang-pegangan. Yang cuma
digebu nafsu tanpa malu-malu. Padahal belum tentu ‘pacar’ mereka itu yang akan
jadi pendamping hidup mereka sampai mati nanti. Aku tidak mau punya label. Aku
tidak mau jadi tempat anjing-anjing untuk kencing.
Aku memang berbeda dengan Gie. Dan ini cuma satu
dari sekian puluh ribu perbedaan kami. Selama 2 tahun terakhir aku sudah dengar
puluhan nama dari bibirnya. Nama-nama yang punya nama belakang ‘Sayang’. Sheera
Sayang. Dewi Sayang. Rossa Sayang. Chika Sayang. Dan sekarang orang bernama
belakang ‘Sayang’ itu adalah Lisa. Mereka semua pada umumnya terlihat sama.
Kulit putih, badan biola, punya rambut panjang setidaknya di bawah bahu, rajin
ke salon tiap hari minggu. Sedangkan aku, Gie cuma pernah mendengar satu nama
dari bibirku. Namanya sendiri. Tentu saja bukan dirinya, tapi mereka punya nama
yang sama.
“Kamu satu-satunya anak 15 tahun yang naksir sama
orang mati, yang pernah jadi teman saya”. Begitu ucapnya dulu, ketika pertama
kali aku cerita siapa orang yang aku suka. Dia seorang aktifis mahasiswa di era
Pak Karno dulu. Dia dan aku sama-sama memiliki satu kesamaan. Kita sama-sama
tidak tau apa itu cinta. Namanya Soe Hok Gie, seorang keturunan Cina. Karna itu
ketika orang memanggil seorang Regie Saputra sebagai Putra, aku lebih memilih
memanggilnya dengan nama Gie.
Soe Hok Gie mati muda. Dan sampai sekarang, seorang
Regie Saputra masih tidak bisa mengerti bahwa meskipun seseorang sudah mati,
pesona tetap bisa hidup abadi.
“Kamu masih nge-stuck
sama Gie-Yang-Sudah-Mati itu, ya? Seandainya kamu ngerti, Ve. Orang mati gak
bisa kamu jadikan pacar. Masih mending nempel poster artis di kamar dan
berharap suatu saat nanti kamu bisa jadi gebetan artis itu. Setidaknya mereka
masih hidup. Masih ada harapan. Nah kamu, sekali nempel poster, poster orang
mati” cerocos Gie membabi buta. Melihat aku yang tidak bereaksi apa-apa atas
pertanyaannya.
“Gie! Saya gak pernah bilang pengen Gie-Yang-Sudah-Mati
jadi pacar saya. Saya cuma pernah bilang kalau seandainya sosok seperti dia
masih ada sampai sekarang, saya akan jatuh cinta padanya.”
“Ve…”
“Apa?”
“Kamu memang beda, ya. Karna itu saya gak pernah
bisa jauh dari kamu. Gak peduli berapapun cewek yang saya taksir, tapi nama
Silvana Vega selalu punya tempat paling lebar di hati saya.”
“Gie…”
“Apa?”
“Gombalmu jelek. Harus latihan lagi supaya bisa buat
Lisa terlena.”
Ia tertawa keras sampai kujauhkan ponselku dari
telinga. Bagaimana ia bisa tertawa sebegitu kerasnya, padahal aku sama sekali
tidak bercanda. Hampir satu jam kami bertelponan, ia membuat laporan lisan
lengkap soal pacarnya. Baru-baru aku tau kalau Lisa sudah menaksirnya semenjak
dulu, dan betapa cemburunya gadis itu dengan diriku.
“Ve, besok malam saya boleh main ke rumah, ya? Sekalian
nganter kain oleh-oleh Papa buat Bapak
kamu.”
“Wih, dari mana lagi sekarang? Lombok?”
“Bukan. Toraja. Lombok bukan tempat kain, Ve.”
“Oh” jawabku seadanya. Aku memang tidak punya bakat
tebak-tebakan.
“Jam 8, ya?”
“Hm..” aku berpikir dulu. Mencoba mengulur waktu.
“Oke.”
Tiba-tiba terdengar suara ‘tut’ panjang. Ia menutup
duluan. Mungkin ia terlalu bahagia malam ini, sampai-sampai lupa mengucapkanku
selamat malam.
***
Aku menunggu cemas di balik pagar.
Jarum panjang jam sudah melewati angka 4 ketika jarum pendeknya tepat diangka
8. Kemana Gie? Aku takut sesuatu menimpanya di perjalanan. Seperti tabrakan
atau masuk ke sungai dan tidak pernah ditemukan. Terlebih langitnya seperti
sedang dalam sesi pemotretan. Kilat. Cahaya flash
dimana-mana.
Tak lama kemudian cemasku teredam.
Lega rasanya mengetahui ia tidak tabrakan atau masuk dalam sungai dan tidak
pernah ditemukan. Rupanya cemas itu tidak hilang, hanya bertransformasi jadi
kekesalan.
“Kemana aja? Malam mingguan dulu
sama Lisa?”
“Enggak. Cuma ngantar dia ke rumah
sakit jenguk om-nya.”
“Oh. Rumah sakit mana? Paris van
Java?” tanyaku menyiritkan mata. Sarkasme itu kadang memang menyenangkan.
“Ve… Santo Yusup. Om-nya sakit.
Beneran.”
Kesalku mereda, entah karena Gie
sendiri, atau langit yang terlalu capek pemotretan, keringatnya jatuh
dimana-mana sekarang.
Langit belum berhenti menjatuhkan
keringatnya sampai jam 11 malam. Bapak belum mengijinkan Gie pulang karena
takut terjadi apa-apa di jalan. Jalanan malam berbahaya, terlebih ketika hujan.
Aku takut keadaannya akan lebih buruk, dan, ya, Bapak mengambil telepon dan
berkata bahwa Gie malam ini akan menginap di rumahnya. di rumahku. Disini.
Ini malam minggu. Lisa, pacarnya,
hanya diantar menjenguk keluarga. Sedang aku, kini ia bermalam di rumahku. Atas
seijin Bapakku. Kalau tau, Lisa pasti sudah gosong terbakar cemburu. Tapi aku
tidak melihat Gie memegang ponsel semenjak datang, tidak ada telepon atau sms,
bahkan untuk mengecek saja ia terlihat tidak berminat.
Gie tidur di sofa, aku bekali dia
dengan sebuah bantal dan selimut tua. Rumah jarang kedatangan tamu menginap.
Aku keluar kamar saat jam sudah menunjukan pukul 12, memastikan ia baik-baik
saja. Rupanya ia belum tertidur saat itu, ia tengah mengamati foto-foto
keluarga yang terpampang di dinding-dinding ruang tamu.
“Gie, yang itu jelek semua. Coba
liat yang ini.” ucapku sambil menyodorkan album foto berwarna ungu muda.
Gie cuma manggut-manggut saja.
Bibirnya mulai tersenyum ketika ia buka lembar pertama. Album ungu muda itu
mahakarya yang kubuat selama 2 tahun kebelakang. Album yang merekam bagaimana hidupku menjadi
lebih berwarna sejak tanggal dimana ia duduk di sampingku. Menjadi teman
dekatku.
Bapak sudah tidur lelap di kamarnya.
Kadang kami harus membekap mulut agar tidak tertawa terlalu keras, karna
sebagian besar dari foto-foto ini terlihat begitu menggelikan dan sebagian lagi
memuakkan.
“Keren, Ve. Niat banget kamu bikin
album ini jadi kayak bentuk puzzle.”
“Habis, Saya suka puzzle. Asik.
Bikin penasaran, tapi gak kayak tebak-tebakan. Kita sudah tau semua jawabannya,
tinggal kita rangkai aja sendiri. dan akhirnya selalu bener kan?”
Sekali lagi ia membekap mulutnya
agar tidak tertawa. “Berarti kamu punya
puzzle kan? Ambil deh, kita rangkai bareng. Saya gak bisa tidur, kali aja kalo
bosan main puzzle jadi ngantuk.”
Ku sikut bahunya sambil merengut.
Dasar tidak tau diri. “Ada sih, hadiah dari Bapak waktu Saya umur 7 tahun. Tapi
ada bagian yang hilang. Saya males mainin lagi sejak itu. Toh gambarnya gak
akan pernah jadi, gak akan pernah sempurna.”
Gie terdiam sejenak, tatapannya melemah
seakan aku baru berkata hal-hal menyentuh hati. “Sudah lah. Ambil aja, kasian
puzzle kamu dinganggurkan bertaun-taun.”
Dan seperti biasanya, aku melakukan
yang ia pinta.
Kami merangkai puzzle itu selama
hampir setengah jam, dengan ukuran 0.5 x 0.5 meter dan warna yang beraneka
ragam, jujur ini cukup melelahkan. Jam 1 kurang 5, semua potongan puzzle sudah
terpasang. Tapi seperti yang ku katakan sebelumnya, tidak akan pernah sempurna.
“Liat kan… gambarnya gak bakal jadi,
Gie. Percuma.”
Sebenarnya puzzle ini memiliki
gambar yang begitu mengagumkan. Menurutku. Melihatkan pemandangan animasi
sebuah taman dengan sekelompok anak-anak yang bertebaran dimana-mana. Tapi
sayang ada bagian yang hilang. Bagian itu seharusnya bergambar badan seorang
anak laki-laki yang sedang memegang balon. Di sampingnya terduduk seorang anak
perempuan di kursi taman. Bagian itu, adalah bagian favoritku.
Kadang aku menafsirkan gambar itu
sebagai sebuah kehidupan remaja. Ceria. Suka duka. Teman-teman dan sebagainya.
Aku adalah sosok anak perempuan yang duduk di kursi taman. Yang diam, sedang
teman-teman lain sedang sibuk bermain-main. Cuma si pemegang balon yang
menemaninya saat itu. Yang menemaniku saat itu. Tapi sayang, bahkan sebagian
dari si pemegang balon pun sekarang sudah hilang. Anak perempuan itu kesepian,
meskipun berada di tengah taman yang ramai. Seperti aku, yang merasa tidak
pernah benar-benar punya kehidupan remaja, dan tidak pernah tau apa artinya.
Gie tiba-tiba berdiri. Mencari
kertas dan merobeknya menjadi potongan kecil. Lalu ia menggambarkan bentuk hati
disana. Dengan spidol kecil berwarna merah, yang biasa digunakan Bapak mencatat
nomor telepon. Ia menempelkan potongan kertas itu ke bagian puzzle yang hilang.
Sejenak aku tidak mengerti apa yang ia lakukan. Sampai bibirnya tersenyum dan
berkata; “Liat kan… gambarnya sekarang sudah jadi. Coba perhatiin deh, ini
bagian dada cowok yang bawa balon kan? Gak penting apa yang keliatan di
luarnya. Yang penting dalemnya, Ve. Hatinya.”
Aku tertegun sejenak. Merekam kalimat
itu di otak dan menyambungkan semua detail hal. Merangkainya seperti puzzle.
Dimana aku sudah tau jawabannya dan tinggal kurangkaikan saja. Dan akhirnya
selalu benar. Selalu sempurna. Ya, gambar itu sekarang sudah jadi. Tidak ada
lagi bagian yang hilang dari si pemegang balon. Gadis kecil yang duduk di kursi
taman tidak lagi kesepian. Aku tidak perlu lagi bertanya-tanya apa itu
kehidupan remaja. Puzzle ini sudah terlengkapi. Hidupku sudah terlengkapi.
potongan puzzle terakhir.
Ucapku dalam hati.
“Potongan puzzle terakhir” Ucapku lagi, kali ini bukan cuma dalam hati, kali ini kutujukan untuk
Gie.
Gie tidak
menjawab. Bibirnya tersenyum hangat.
“Gie, mulai sekarang saya akan berhenti nyari apa itu
kehidupan remaja. Saya sudah punya hidup saya sendiri. Saya cuma perlu mimpi.
Dan saya baru sadar saya sudah punya itu sejak 2 tahun lalu. Gie, kamu ngebuat saya hidup dalam mimpi, terlepas seperti apa saya di kehidupan nyata. Album ungu muda itu buktinya. Saya mau hidup seperti itu sampai
mati.” Aku tersenyum ringan. Senyum ringan yang dalam. Namun senyumku itu
dibalas dengan senyuman kita-lagi-ngomongin-apa-?. Rasanya ingin kulayangkan
tinjuku ini tepat ke wajahnya. Mematahkan tulang hidungnya, dan membuat ia
mimisan 3 hari 3 malam. Tapi aku percaya, ia mengerti betul apa yang aku kata.
“By the way, sampai kapan kita akan
tetap bicara pakai ‘Saya’? ‘Saya’ itu kaku. Saya sudah hadiahin kamu mimpi, loh…”
“’Saya’ itu romantis, Gie... Sampai
tua. Sampai rambut hitam saya putih rontok dan mata cokelatmu berubah jadi
abu-abu. Sampai kita punya anak cucu. Cicit kalau perlu.”
“Kita? Anak?” tatapannya berubah
serius. Perpaduan terkejut dan berharap sekaligus.
“Anak kita masing-masing, Gie!”
nadaku meninggi. Berusaha mengkonfirmasi. “Jangan harap saya mau nikah sama
kamu, Gie. Enak saja. Kamu pikir saya mau gantungin masa depan saya sama orang
kayak kamu? Iyuh…” alih-alih melempar tatapan se-illfeel mungkin, kedua
tangannya malah memelukku tiba-tiba. Erat. Sampai sesak rasanya. Baru-baru aku
sadar sesak bukan karena pelukkannya. Air mataku pecah tiba-tiba. Aku tidak suka.
“Gie… saya gak mau jadi istri kamu.
Saya gak mau ngandung anak-anak kamu. Saya jamin itu. Tapi saya mau meluk
anak-anak kamu. Seperti ini. saya pengen gendong bayi-bayi kamu yang
lucu-lucu. Saya pengen jadi tante mereka kalau perlu. Toh saya ini…”
suaraku tertahan. Tak tau apa yang harus kukatakan.
“Sahabat abadi Bapak mereka sampai
mati.” Ucapnya melanjutkan.
Gie ikut menangis. Entah menangis atau sekedar pilek karena sempat kehujanan. Tapi aku tidak peduli lagi. Sempurna sudah
puzzle yang ia lengkapi dengan sepotong kertas tadi. Warnanya memang berbeda.
Tapi maknanya tetap sama. Air mata sudah
meleburkan perbedaan warna puzzle-nya.
Sama halnya seperti kami berdua.
“Ve, gimana kalau saya mati sebelum
sempat jadikan kamu tante anak-anak saya?” pertanyaan itu keluar tiba-tiba dari
mulutnya.
Rupanya Gie belum juga percaya soal
teori ‘orang mati dan pesona’ yang sejak dulu kukatakan berulang kali padanya. Bahwa
manusia memang mati, tapi pesonanya tetap bisa hidup abadi.
“Gak apa, Gie” ucapku pelan.
“Kamu tetap jadi pencipta mimpi saya.”
Selamanya.
Lalu aku bertanya-tanya sudah berapa kali kusebut namanya dalam percakapan kami.
Gie.