Jumat, 27 Oktober 2017

Saya dan Identitas

Pada suatu waktu di Kamis malam, tanggal 26 September 1996, saya dilahirkan. Bayi perempuan yang lalu dinamai dengan nama mirip laki-laki ini tumbuh menjadi sosok yang tidak berbadan apik, tidak berkulit cerah, dan tidak berambut “seperti dari salon.” Saya anak ketiga dari tiga bersaudara, dan entah karena orang tua saya yang mungkin sudah bosan memotret anak-anak, atau hanya bentuk saya saja yang kurang menarik untuk diabadikan, sulit untuk saya menemukan potret-potret diri ketika balita di album-album keluarga. Bentuk balita yang saya miliki adalah kulit (sangat) gelap dan rambut ikal menempel pada kulit kepala, seperti orang-orang timur. Guyonan yang paling sering Ibu saya lontarkan hingga saat ini adalah bahwa dulu sekali seorang suster tanpa sengaja menukar bayi perempuannya.

Seiring waktu berjalan, saya mulai meyakini bahwa guyonan itu memanglah sekedar guyonan belaka. Di usia saya yang memasuki kepala dua, orang-orang mulai berbicara tentang wajah saya yang entah bagaimana mengingatkan mereka pada Ibu saya—yang berarti dulu sekali tidak ada cerita soal tukar-menukar bayi. Tapi bukankah sesuatu yang menyebalkan ketika seseorang, dan bukan hanya sekali kejadian, bertanya “Mama kamu putih, Papa kamu ya tidak hitam juga. Kamu anak siapa?” Lebih menyebalkannya lagi ketika pertanyaan itu bertransformasi menjadi kalimat tanya berbasis lelucon sehari-hari. Seorang Dosen pernah berkata bahwa tubuh sebagai identitas yang paling kasat mata justru kadang menimbulkan kesan ambigu. Saya mengerti benar perkataannya itu.

Ibu saya seorang Sunda sementara Ayah saya seorang Jawa, keduanya sama-sama tulen. Ketika seseorang menanyakan apa suku saya, saya ingin sekali dengan mudah menjawab “Saya orang Jawa”, karena sepengetahuan saya anak perempuan mewarisi suku Ayahnya. Tapi saya tidak bisa berbahasa Jawa, karena semenjak kecil saya hidup di lingkungan yang mayoritas penduduknya bersuku dan berbahasa Banjar. Saya juga ingin sekali menjawab “Saya orang Sunda”. Tapi orang-orang Sunda terkenal dengan kulit yang saya tidak punya. Belum lagi mata bulat dan hidung mancung ini membuat beberapa orang bertanya “Kamu keturunan India, ya?” Pertanyaan tentang suku dan asal-muasal akhirnya hanya saya jawab dengan rangkaian senyum kecil, meninggalkannya seperti itu, tetap ambigu.

Kembali pada pertanyaan “Kamu anak siapa?”, tiga kata itu menghantarkan saya pada masalah yang lebih menyebalkan lagi. Saya mengerti ketika pertanyaan itu dilontarkan si penanya bermaksud mempermasalahkan warna kulit saya yang cenderung gelap. Ibu saya punya kulit putih yang bahkan terlihat seperti Cina, sementara rona kulit saya adalah skala paling bawah penggaris pengukur warna kulit milik produk-produk pemutih wajah. Tapi di situ lah letak kekonyolannya; tidak ada yang salah dengan berkulit gelap, permasalahan muncul ketika kita hidup di tempat yang secara sadar ataupun tidak sadar menganut paham “putih=cantik” dan sebaliknya. Paham ini berlaku sampai ke titik paling dasar sehingga kita tidak sempat menyadarinya. Contoh paling sederhana bisa kita temukan di upacara-upacara bendera, ketika ada perwakilan murid perempuan yang akan dipanggil ke depan untuk semacam penyerahan simbolis, maka yang dipilih selalu murid perempuan berparas cantik, dan cantik berarti berkulit putih. Dari hal-hal semacam itulah bibit diskriminasi tak kasat mata tercipta, dan bentuknya semakin serius dalam beberapa kasus yang selama ini saya hadapi.

Perlakuan berbeda itu membuat perempuan dalam berbagai kesempatan berusaha memutihkan diri baik secara fisik maupun digital, untuk mengurangi kesenjangan antara putih dan tidak putih yang ciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Produk kosmetik pemutih wajah laku keras, sekeras frekuensi pengunduhan aplikasi penyunting gambar di berbagai gadget. Saya sendiri merasakan dorongan ini, dorongan untuk “memutihkan.” Tapi setiap kali saya melihat potret diri yang sudah disulap sedemikan rupa sehingga terlihat lebih cerah, rasanya seakan menatap pada sosok yang tidak pernah saya kenali. Dan secuil hati saya merasa kehilangan identitas kala itu terjadi.  

Pergulatan saya tentang tubuh tidak berhenti sampai di situ. Saya memiliki tubuh yang orang bilang mirip “papan penggilasan”, papan untuk ibu-ibu biasanya mencuci baju, tipis dan rata. Sementara saya tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang percaya bahwa pembeda paling konkret antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk tubuh. Di mana perempuan harus “memiliki” dada dan bokong sementara laki-laki dapat tenang dengan berbadan rata. Bukankah dengan pandangan seperti itu saya berhak menuntut bahwa laki-laki harus berbadan kekar dan berdada bidang seperti binaragawan? Hal yang lebih sulit untuk saya terima adalah bagaimana pandangan ini digunakan bukan hanya di kepala-kepala orang dewasa, melainkan juga di kepala-kepala anak ingusan. Dulu sekali seorang teman perempuan pernah berkata dengan santainya, “Cepet dibesarin itu dada, kalo udah SMP masih gak punya dada nanti malu!” Kalimat itu begitu membekas di benak saya hingga saat ini, kami masih duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar waktu itu.

Saya ingat bagian paling menyebalkan dari bersekolah adalah pelajaran olahraga. Saya terpaksa menggunakan kaos yang dimasukan ke celana training demi mengikuti mata pelajaran tersebut, sementara kaos yang dimasukan ke celana training membuat bentuk tubuh rata saya menjadi lebih tidak berbentuk lagi.  Saya ingat berusaha mengeluarkan ujung kaos dari celana itu kapanpun ada kesempatan, demi menutupi bentuk tubuh yang sangat tidak “perempuan” itu.

Apa yang salah dengan seorang perempuan berbadan rata? Apakah dengan lekuk tubuh yang tidak terlalu mencolok lalu seorang perempuan tidak bisa mengandung dan melahirkan anak-anak pintar yang begitu dibutuhkan di masyarakat ini? Anak-anak pintar yang tidak berpikir bahwa dada dan bokong besar adalah modal utama seorang perempuan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa seksualitas yang ada pada tubuh perempuan seringkali dijadikan patokan. Bukan hanya oleh kaum laki-laki, melainkan juga oleh kaum perempuan itu sendiri. Perempuan yang memiliki postur tubuh ideal akan berjalan penuh percaya diri, meyakini bahwa orang lain akan melihat dia seperti dia melihat relfeksi tubuhnya di cermin; sempurna. Sebagai dampak dari kepercayaan ini, pakaian-pakaian dalam “istimewa” mulai beredar di pasaran. Membuat para perempuan memilih pakaian dalam sedemikian rupa sehingga dada dan bokong mereka tampak terangkat, menyumpal anggota-anggota tubuh yang seharusnya apa adanya itu dengan buntalan-buntalan busa dan mungkin silikon juga.

Pandangan akan seksualitas dan kecantikan yang wajib dimiliki setiap perempuan begitu merasuk pada diri saya, sampai akhirnya saya menyadari bahwa saya akan tetap hidup meski tanpa postur ideal dan kulit putih sekalipun. Saya akan tetap memiliki teman untuk bertukar pikiran dan saya akan tetap menjalin romantisme biarpun tubuh saya rata dan gelap seperti papan penggilasan. Semua orang akan mengenali saya sebagai saya, meski saya mengaku Jawa, Sunda, atau India sekalipun. Ada perbedaan besar antara tidak berusaha memperbaiki dan tidak berusaha merubah. Di sini saya tidak akan berusaha merubah diri saya menjadi layaknya bintang-bintang iklan sabun yang hampir selalu dijadikan kiblat kecantikan, namun saya terus berusaha untuk memperbaiki tubuh semampu saya sebagai seorang perempuan normal. Dan pada akhirnya, saya berdiri di hadapan cermin bukan hanya untuk membayangkan bagaimana orang lain melihat diri saya, namun juga untuk berdamai dengan tubuh sebagai identitas paling konkret yang saya miliki. 

Terlepas keliru-tidaknya label yang disematkan si suster pada bayi perempuan itu bertahun lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar