Pada suatu waktu di Kamis malam,
tanggal 26 September 1996, saya dilahirkan. Bayi perempuan yang lalu dinamai
dengan nama mirip laki-laki ini tumbuh menjadi sosok yang tidak berbadan apik,
tidak berkulit cerah, dan tidak berambut “seperti dari salon.” Saya anak ketiga
dari tiga bersaudara, dan entah karena orang tua saya yang mungkin sudah bosan
memotret anak-anak, atau hanya bentuk saya saja yang kurang menarik untuk
diabadikan, sulit untuk saya menemukan potret-potret diri ketika balita di
album-album keluarga. Bentuk balita yang saya miliki adalah kulit (sangat)
gelap dan rambut ikal menempel pada kulit kepala, seperti orang-orang timur. Guyonan
yang paling sering Ibu saya lontarkan hingga saat ini adalah bahwa dulu sekali
seorang suster tanpa sengaja menukar bayi perempuannya.
Seiring waktu berjalan, saya
mulai meyakini bahwa guyonan itu memanglah sekedar guyonan belaka. Di usia saya
yang memasuki kepala dua, orang-orang mulai berbicara tentang wajah saya yang entah
bagaimana mengingatkan mereka pada Ibu saya—yang berarti dulu sekali tidak ada
cerita soal tukar-menukar bayi. Tapi bukankah sesuatu yang menyebalkan ketika
seseorang, dan bukan hanya sekali kejadian, bertanya “Mama kamu putih, Papa
kamu ya tidak hitam juga. Kamu anak siapa?” Lebih menyebalkannya lagi ketika
pertanyaan itu bertransformasi menjadi kalimat tanya berbasis lelucon
sehari-hari. Seorang Dosen pernah berkata bahwa tubuh sebagai identitas yang
paling kasat mata justru kadang menimbulkan kesan ambigu. Saya mengerti benar
perkataannya itu.
Ibu saya seorang Sunda sementara
Ayah saya seorang Jawa, keduanya sama-sama tulen. Ketika seseorang menanyakan
apa suku saya, saya ingin sekali dengan mudah menjawab “Saya orang Jawa”,
karena sepengetahuan saya anak perempuan mewarisi suku Ayahnya. Tapi saya tidak
bisa berbahasa Jawa, karena semenjak kecil saya hidup di lingkungan yang
mayoritas penduduknya bersuku dan berbahasa Banjar. Saya juga ingin sekali menjawab
“Saya orang Sunda”. Tapi orang-orang Sunda terkenal dengan kulit yang saya
tidak punya. Belum lagi mata bulat dan hidung mancung ini membuat beberapa
orang bertanya “Kamu keturunan India, ya?” Pertanyaan tentang suku dan asal-muasal
akhirnya hanya saya jawab dengan rangkaian senyum kecil, meninggalkannya
seperti itu, tetap ambigu.
Kembali pada pertanyaan “Kamu
anak siapa?”, tiga kata itu menghantarkan saya pada masalah yang lebih
menyebalkan lagi. Saya mengerti ketika pertanyaan itu dilontarkan si penanya
bermaksud mempermasalahkan warna kulit saya yang cenderung gelap. Ibu saya
punya kulit putih yang bahkan terlihat seperti Cina, sementara rona kulit saya
adalah skala paling bawah penggaris pengukur warna kulit milik produk-produk
pemutih wajah. Tapi di situ lah letak kekonyolannya; tidak ada yang salah
dengan berkulit gelap, permasalahan muncul ketika kita hidup di tempat yang
secara sadar ataupun tidak sadar menganut paham “putih=cantik” dan sebaliknya.
Paham ini berlaku sampai ke titik paling dasar sehingga kita tidak sempat
menyadarinya. Contoh paling sederhana bisa kita temukan di upacara-upacara
bendera, ketika ada perwakilan murid perempuan yang akan dipanggil ke depan
untuk semacam penyerahan simbolis, maka yang dipilih selalu murid perempuan
berparas cantik, dan cantik berarti berkulit putih. Dari hal-hal semacam itulah
bibit diskriminasi tak kasat mata tercipta, dan bentuknya semakin serius dalam
beberapa kasus yang selama ini saya hadapi.
Perlakuan berbeda itu membuat
perempuan dalam berbagai kesempatan berusaha memutihkan diri baik secara fisik
maupun digital, untuk mengurangi kesenjangan antara putih dan tidak putih yang
ciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Produk kosmetik pemutih wajah laku keras,
sekeras frekuensi pengunduhan aplikasi penyunting gambar di berbagai gadget. Saya sendiri merasakan dorongan
ini, dorongan untuk “memutihkan.” Tapi setiap kali saya melihat potret diri
yang sudah disulap sedemikan rupa sehingga terlihat lebih cerah, rasanya seakan
menatap pada sosok yang tidak pernah saya kenali. Dan secuil hati saya merasa
kehilangan identitas kala itu terjadi.
Pergulatan saya tentang tubuh
tidak berhenti sampai di situ. Saya memiliki tubuh yang orang bilang mirip “papan
penggilasan”, papan untuk ibu-ibu biasanya mencuci baju, tipis dan rata.
Sementara saya tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang percaya bahwa pembeda
paling konkret antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk tubuh. Di mana
perempuan harus “memiliki” dada dan bokong sementara laki-laki dapat tenang
dengan berbadan rata. Bukankah dengan pandangan seperti itu saya berhak
menuntut bahwa laki-laki harus berbadan kekar dan berdada bidang seperti
binaragawan? Hal yang lebih sulit untuk saya terima adalah bagaimana pandangan
ini digunakan bukan hanya di kepala-kepala orang dewasa, melainkan juga di
kepala-kepala anak ingusan. Dulu sekali seorang teman perempuan pernah berkata
dengan santainya, “Cepet dibesarin itu dada, kalo udah SMP masih gak punya dada
nanti malu!” Kalimat itu begitu membekas di benak saya hingga saat ini, kami
masih duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar waktu itu.
Saya ingat bagian paling
menyebalkan dari bersekolah adalah pelajaran olahraga. Saya terpaksa
menggunakan kaos yang dimasukan ke celana training
demi mengikuti mata pelajaran tersebut, sementara kaos yang dimasukan ke celana
training membuat bentuk tubuh rata
saya menjadi lebih tidak berbentuk lagi.
Saya ingat berusaha mengeluarkan ujung kaos dari celana itu kapanpun ada
kesempatan, demi menutupi bentuk tubuh yang sangat tidak “perempuan” itu.
Apa yang salah dengan seorang
perempuan berbadan rata? Apakah dengan lekuk tubuh yang tidak terlalu mencolok
lalu seorang perempuan tidak bisa mengandung dan melahirkan anak-anak pintar
yang begitu dibutuhkan di masyarakat ini? Anak-anak pintar yang tidak berpikir
bahwa dada dan bokong besar adalah modal utama seorang perempuan. Memang tidak
bisa dipungkiri bahwa seksualitas yang ada pada tubuh perempuan seringkali
dijadikan patokan. Bukan hanya oleh kaum laki-laki, melainkan juga oleh kaum
perempuan itu sendiri. Perempuan yang memiliki postur tubuh ideal akan berjalan
penuh percaya diri, meyakini bahwa orang lain akan melihat dia seperti dia
melihat relfeksi tubuhnya di cermin; sempurna. Sebagai dampak dari kepercayaan
ini, pakaian-pakaian dalam “istimewa” mulai beredar di pasaran. Membuat para
perempuan memilih pakaian dalam sedemikian rupa sehingga dada dan bokong mereka
tampak terangkat, menyumpal anggota-anggota tubuh yang seharusnya apa adanya
itu dengan buntalan-buntalan busa dan mungkin silikon juga.
Pandangan akan seksualitas dan
kecantikan yang wajib dimiliki setiap perempuan begitu merasuk pada diri saya,
sampai akhirnya saya menyadari bahwa saya akan tetap hidup meski tanpa postur ideal
dan kulit putih sekalipun. Saya akan tetap memiliki teman untuk bertukar
pikiran dan saya akan tetap menjalin romantisme biarpun tubuh saya rata dan
gelap seperti papan penggilasan. Semua orang akan mengenali saya sebagai saya,
meski saya mengaku Jawa, Sunda, atau India sekalipun. Ada perbedaan besar
antara tidak berusaha memperbaiki dan tidak berusaha merubah. Di sini saya
tidak akan berusaha merubah diri saya menjadi layaknya bintang-bintang iklan
sabun yang hampir selalu dijadikan kiblat kecantikan, namun saya terus berusaha
untuk memperbaiki tubuh semampu saya sebagai seorang perempuan normal. Dan pada
akhirnya, saya berdiri di hadapan cermin bukan hanya untuk membayangkan
bagaimana orang lain melihat diri saya, namun juga untuk berdamai dengan tubuh
sebagai identitas paling konkret yang saya miliki.
Terlepas keliru-tidaknya
label yang disematkan si suster pada bayi perempuan itu bertahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar