Rabu, 31 Juli 2013

Hadiah dari Tempat Sampah


Saya takut dia cemburu. Begitu ucapnya dulu.
Hari itu. Hari dimana aku harus berlagak seperti pencuri, mengendap-ngendap, sembunyi-sembunyi, cuma demi memberi hadiah ulang tahun pada sahabatku sendiri. Dia. Yang kepalanya hampir selalu terhantup ketika melewati pintu kostanku.
Hari ini. Aku dapati tubuhnya di meja makan. Bundar, dengan kain taplak abu-abu bermotif kotak. Yang di desain khusus untuk diisi cuma 2 orang. Dengan sebotol minuman yang entah apa, mungkin anggur atau sejenisnya. Ia tuangkan minuman itu ke gelasnya, lanjut mengisi gelasku. Warnanya sedikit kekuningan, cairan yang mengisi kedua gelas tinggi di depan kami. Seketika aku meragu. Bukan karena khawatir minuman itu boleh ku minum atau tidak, melainkan, bukankah itu terlihat terlalu mahal?
“Cuma apple juice, kok.” Ucapnya sebagai antisipasi. Tidak mau aku keburu menimpalinya dengan pertanyaan itu ini.
Aku tersenyum kecut. Malu karena gerak-gerik yang ku sembunyikan akhirnya terbaca juga. Aku benar-benar tidak terbiasa dengan ini. Meskipun merayakan ulangtahun seorang teman sudah menjadi tradisi buatku, tapi aku tidak tau apa-apa soal yang satu ini. Bukan seperti ini tradisi yang biasa aku jalani. Bukan duduk berhadapan di meja makan restoran super mahal.
Pagi buta ponselku berbunyi. Namanya, nama orang yang ada dihadapanku saat ini, muncul disana. Pupil mataku bahkan belum siap menerima cahaya, sedangkan suara yang muncul dari ujung telepon sana sudah meledak-ledak, saking bersemangatnya. Baru-baru ini aku menyadari, sebenarnya ia bermaksud memarahi.
“Sudah lupa, ya, kalo punya sahabat?”
“Sahabat? Apa? Apanya? Ini jam berapa?” jawabku kembali bertanya, setengah melantur karena belum selesai mengumpulkan nyawa.
“Semalaman saya tungguin telepon kamu. Lupa kalau hari ini sahabat ganteng mu ini ulang tahun?”
Baru saat itu aku benar-benar terbangun dari tidur. Baru aku ingat hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-25. Dan semalam sudah kulewatkan moment selamat-ulang-tahun-semoga-panjang-umur di jam 00.00 tepat, yang tidak pernah absen kulakukan selama 3 tahun kebelakang.
“Saya gak mau tau. Nanti jam 8, kamu harus temani saya makan malam. Hitung-hitung pengganti ucapan selamat ulang tahun yang kamu lewatkan semalam.”
“Re, makan malam? Ini tanggal tua, saya belum gajian.”
“Saya yang traktir. Sudahlah, kamu tinggal bawa badan.”
“Re…”
“Apa?”
“Kenapa harus ngasih tau pagi buta begini? Toh baru ntar malam juga acaranya.” Aku menggerutu, tak rela tidurku diganggu.
Ia tidak menjawab.
“Re…”
“Apa??” suaranya kian meninggi.
“Selamat Ulang Tahun.”
            Sempat aku dengar suara tawa yang disembunyikan, sebelum akhirnya nada ‘tut’ panjang menutup pembicaraan.
            Aku tidak tau harus menjawab apa, bila ditanya siapa yang sudah berubah diantara aku dan Re selama hampir setengah tahun terakhir. Kalau kata hati bisa di-rontgen, mungkin akan terlihat sekumpuan kata-kata tidak beraturan yang intinya jelas terbaca. Aku lelah dijadikan tempat sampah.
            Namanya Rendra. Dan untuk beberapa alasan, aku berhenti di 2 huruf depannya saja. Re. Lebih enak di dengar. Lebih gampang ku ucapkan. Dan kalau boleh jujur, saat pertama kali aku berkenalan dengannya sekitar 4 tahun lalu, aku sempat ingin terbahak saking tidak percaya. Ia punya mata segaris dan kulit putih pucat. Badannya hampir bisa dibilang kerempeng dan tingginya hampir 2 meter. Saat itu syal merah marun dililit di lehernya, mungkin karena sedang sakit. Atau malah memang penyakitan.
            Terhitung 2 minggu lamanya aku penasaran bagaimana sosok Rendra, yang rutin 3 kali dalam sepekan diceritakan oleh sahabatku setiap pulang kerja. Sahabatku seorang perempuan mapan yang jarang menaksir orang. Dan sebagai sahabatnya, aku merasa berhak tau siapa laki-laki yang sudah berhasil merebut hatinya kali ini. Setelah 2 minggu menunggu janji temu kami bertiga, aku benar-benar kecewa.
Aku kira Rendra punya perawakan special. Misal, berbadan kekar, berambut tebal, punya kulit gelap eksotis yang menarik perhatian, dan yang paling penting, wujud Rendra di benakku bukan seorang keturunan Dayak-Tionghoa yang punya hobi memakai syal kemana-kemana.
Kami bercengkrama dengan segelas kopi di hadapan masing-masing sore itu. Aku menarik kata-kataku kembali, setelah hampir 2 jam kami bertiga saling bertukar cerita, aku temukan sosok lain dibalik perawakan kurus tinggi Rendra, sosok yang membuat sahabatku jatuh cinta. Dan semoga saja, aku tidak ikutan jatuh cinta juga.
Vega, itu dia. Sahabat yang menemani hidupku 7 tahun kebelakang itu jatuh hati pada Rendra setengah mati. Aku tidak tau mengapa perempuan seperti dia malah memilih tinggal di kost-kostan. Kami sempat menjadi teman sekamar. Belakangan, aku yakin itu memang sudah ditakdirkan. Tuhan mempertemukan ku dengan Rendra lewat sosok bernama Vega.
Vega sadar sejak awal. Bahwa aku dan Rendra punya hal yang lebih besar dari pertemanan. Kami berdua—aku dan Vega—sama-sama menganggap hal itu sebagai persahabatan. Bukan pertemanan, bukan juga percintaan. Setidaknya itulah yang kami berdua harapkan. Rendra tidak cukup berharga untuk dipertaruhkan dengan apa yang kami punya, begitu yang berusaha diyakini aku dan Vega.
 “Gimana? Lebih baik kan dari pada apple juice yang sering kamu beli di swalayan?” tanyanya dengan mata berbinar, menunggu jawaban.
Aku cuma tersenyum hangat, masih tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat ini.
“Untuk apa, Re?” tanyaku menimpalinya.
“Apple juice? Saya kira itu yang terbaik pengganti wine, atau mungkin—“
“Bukan, Re.” aku menyela. Menelan ludah lalu melanjutkan perkataanku. “Bukan cuma apple juice ini, Re. Semuanya. Telepon pagi buta, makan malam, restoran mahal, saya juga yakin itu apple juice bukan apple juice sembarangan.”
Ia cuma melongo, tidak mengerti apa yang baru saja aku katakan. Jangankan dia, aku saja ragu dengan apa yang baru saja keluar dari mulutku.
Aku melanjutkan. “Saya tau ini bukan makan malam biasa. Ada apa, Re?”
Ia diam sejenak, matanya kekiri dan kekanan. Entah mencoba mengingat, atau berusaha mengarang alasan. “Ini kan ulang tahun saya, kamu masih lupa?”
Aku tidak tau harus berkata apa. Aku tau betul apa yang terjadi saat ini. Tapi aku butuh penjelasan logis atas semua. Atas telepon pagi buta, makan malam, restoran mahal dan segalanya. Aku tau, dia tau, aku kecewa atas penjelasan itu.
“Ini kado mu, Re. Sekali lagi, selamat ulang tahun.” Aku tersenyum. Dengan terpaksa.
“Re…” lanjutku memanggil namanya. Masih terganggu oleh pertanyaan itu sedaari tadi.
“Kemana Vega? Saya sudah jarang ketemu dia sejak dia beli rumah di daerah Kemang. Sedang saya masih mendekam di kost-kostan.” Sedikit tawaku tumpah di ujung kalimat. “kalian sudah 3 tahun ya, gak kerasa deh sebegitu lamanya…”
Wajah Rendra lantas berubah. Matanya sempat terpejam dan sepertinya dia baru tersedak ludahnya sendiri.
“Saya putus, Din.”
Ada hening sejenak. Mulutku terbuka sekitar 1 cm lebarnya.
“Oh. Begitu.” Jawabku seadanya. Mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini. Mulai mengerti kenapa harus ada makan malam mewah dengan embel-embel gelas tinggi.
“Malam ini, saya mau rayain hal itu. Saya…” ia berfikir sejak. Mencari kata-kata yang tepat. “tobat.”
Aku terbahak mendengar kalimat itu. Tobat? Aku tidak yakin ia betul-betul mengerti apa arti tobat dalam kamus manusia. Tidak lama ia malah ikut tertawa. Jadilah kami berdua sepasang orang gila yang mengacau makan malam mahal, milik orang-orang normal.
“Hm… jadi siapa calon yang baru?” tanyaku padanya. Langsung menusuk dada.
“Gak ada.” bibirnya tersenyum mantap. Jawaban itu membuatku sedikit bergidik. Membuat rapuh seakan menelanjangi.
“Ohya? Saya males aja kalo harus sembunyi-sembunyi seperti dulu. Apa-apa harus diam-diam. Takut ketahuan. Kayak mau maling, tau gak?” sesaat aku baru sadar apa yang baru ku katakan. Aku meminta maaf dalam hati. Tidak ku sangka ini akan jadi curhat colongan.
“Untuk saat ini, saya mau fokus ke ‘kita’…” ucapnya pelan.
Aku semakin bergidik. Tubuhku serasa kejang seketika. Seperti tersetrum stop kontak listrik, singkat dan memacu jantung jadi lebih cepat. Mengagetkan. Perasaan tidak diundang. Mendengar hubungan cinta kedua sahabatku baru saja berakhir, jujur aku tidak tau harus bersimpati atau bahagia. Aku cuma berharap semoga pencahayaan restoran mahal ini tidak mengecewakan. Semoga saja ekspresi wajahku tersembunyikan.
Tau-tau senyumnya melebar. Menahan gelak tawa yang sudah menunggu di ujung lidah. Di belakang gigi. Ditutupi selapis daging bernama bibir. Aku tau ia cukup beradab untuk kasihan pada orang-orang di sekitar kami. Sudah cukup mereka rugi dengan membayar mahal demi makan malam. Jangan sampai 2 orang gila ini tertawa sesuka hati, dan merusak makan malam mereka yang mungkin amat berarti.
“Sebenernya, saya juga senang kok. Gak perlu sembunyi-sembunyi lagi setiap ngobrol sama kamu. Setiap saya butuh seorang temen, sahabat, kakak perempuan, atau bahkan psikiater. Kamu hadir dalam satu paket lengkap. Siapa lagi yang mau dengarin saya ngoceh kesana kemari kalo bukan kamu?”
Lagi-lagi, aku tidak tau harus bagaimana menanggapi. Aku mencerna kalimat panjang itu sekuat tenaga. Tapi yang kudapat tidak sesuai dengan apa yang ku harap.
“Din… Saya gak tau harus bilangnya bagaimana. Saya bingung. Tapi apa kamu percaya soal belahan jiwa? Saya ngerasa nemuin belahan jiwa saya di diri kamu. Perlu 4 tahun buat nyadarin itu.”
Aku belum menjawabnya sama sekali. Aku belum merasa itu perlu dikonfirmasi. Saat ini, aku sudah tau harus menjawab apa. Jika ditanya tentang siapa yang berubah diantara kami berdua. Aku dan Rendra. Selama sekitar setengah tahun terakhir ini. Aku akan jawab bahwa kami sama-sama sudah berbeda. Aku mencintai sosok Dayak-Tionghoa yang ku kenal pertama kali di coffee shop dekat kantor sekitar 4 tahun lalu. Sosok itu mencintai sahabatku, bukan mengajakku makan malam berdua dan berkata bahwa aku belahan jiwanya.
Sosok itu selalu bercerita tentang semua hal yang ia hadapi. Semua hal tentang pekerjaan sampai merk kaos kaki apa yang harus dibeli. Termasuk segala masalah cintanya dengan Vega. Dan aku dengan senang hati menjadi tempat sampahnya. Menampunya segala sesuatu yang ia tumpahkan tak peduli itu apa. Aku salah. Aku tidak pernah lelah menjadi apa yang ku sebut sebagai tempat sampah. Itu takdirku. Harus seperti itu.
Bukan kah mustahil tempat sampah menerima tampungan tempat sampah juga?  Ketika nanti ia mulai bercerita tentang aku. Pada diriku. 
Rendra masih menunggu jawaban. Dan tanganku malah meraih ponsel dengan spontan. Ku ketik sesuatu disana, lalu ku tekan tombol hijau. Tidak terlalu jelas, karna aku sendiri tidak terlalu mengerti apa yang mau ku sampaikan ini.
“Din…?” Suaranya kembali terdengar. Membuat aku gelagapan.
Aku merasa di sinilah saatnya. Ketika aku harus mulai menanggapi semua pernyataannya sedari tadi. Mengkorfimasi apapun itu yang ia ucapkan sejak awal ditungankannya minuman. Aku yakin harus seperti ini.
“Re… Saya pulang duluan ya. Maaf gak bisa temani kamu sampai selesai”
Ribuan kali kuucap maaf dalam hati. Entah untuk Rendra atau untuk diriku sendiri. Kuangat tubuhku yang berbalut gaun biru. Tersenyum sekali lagi dan mulai mencoba meneruskan kalimat yang belum sempat ku selesaikan. Dan menarik nafas dalam-dalam pun kurasa tak ada gunanya lagi.
“Kamu gak perlu khawatir kesepian. Saya sudah sms Vega untuk datang kesini. Saya bilang kamu mau ngomong sesuatu. Saya yakin kamu perlu itu...”
Kali ini Rendra yang membuka bibirnya selebar 1 cm. Aku bisa melihat kata-kata menggantung di ujung lidahnya. Tapi aku kenal tatapan itu. Tatapan bimbang, tatapan menunggu. Tatapan yang kini ku identifikasikan sebagai tanda rasa setuju.
“Re…” lanjutku lagi. “3 tahun cukup berharga buat di perjuangkan.” Sekali lagi kuucap maaf dalam hati.
Sedikit aku tundukan kepala. Tanda pamit, minta diri, atau apalah itu namanya. Ku intip tubuhnya yang diam dari ekor mata, berharap tubuh itu tetap diam. Sampai perempuan yang ku kirimi pesan akhirnya datang.
Sekali lagi maaf terucap dalam hati. Kali ini aku janji untuk yang terakhir kali. Berharap besok sudah akan aku temui lagi sosok Rendra yang aku cinta. Sosok Rendra yang mencintai Vega.
Cukup seperti itu. Sambil berulang kali ku camkan ini dalam hati; 
Aku bukan cenayang yang bisa melihat masa lalu dan masa depan seseorang. Namun aku cukup bisa melihat apa yang pantas kamu dapatkan. Aku bukan sesuatu yang kamu sebut sebagai belahan jiwa. Aku cuma sekotak kardus basah yang kamu simpan di sudut ruangan, yang bisa mengawasimu kapanpun aku mau, yang dengan setia menjadi tempat sampahmu.
Aku yakin akan tiba suatu waktu. Meski bukan hari ini, besok, ataupun besok lusa. Saat aku lelah dan berhenti mengirimimu hadiah-hadiah. Berhenti jadi tempat sampah yang menampung segala keluh kesah, soal kerja, saudara, orang tua, apalagi cinta.
Tapi sebelum suatu waktu itu tiba. Aku yakin kamu akan kembali melakukannya. Entah hari ini, besok, ataupun besok lusa. Aku yakin itu akan terjadi dalam waktu dekat. Ketika kamu harus menunduk sedikit dan halus berbisik. Memelankan suaramu.
Saya takut dia cemburu. Sama seperti dulu.


tulisan entah kapan, udah lama disimpen di laptop.

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar