Saya
takut dia cemburu. Begitu ucapnya
dulu.
Hari itu. Hari dimana aku harus berlagak
seperti pencuri, mengendap-ngendap, sembunyi-sembunyi, cuma demi memberi hadiah
ulang tahun pada sahabatku sendiri. Dia. Yang kepalanya hampir selalu terhantup
ketika melewati pintu kostanku.
Hari ini. Aku dapati tubuhnya di meja
makan. Bundar, dengan kain taplak abu-abu bermotif kotak. Yang di desain khusus
untuk diisi cuma 2 orang. Dengan sebotol minuman yang entah apa, mungkin anggur
atau sejenisnya. Ia tuangkan minuman itu ke gelasnya, lanjut mengisi gelasku.
Warnanya sedikit kekuningan, cairan yang mengisi kedua gelas tinggi di depan
kami. Seketika aku meragu. Bukan karena khawatir minuman itu boleh ku minum
atau tidak, melainkan, bukankah itu terlihat terlalu mahal?
“Cuma apple juice, kok.” Ucapnya sebagai
antisipasi. Tidak mau aku keburu menimpalinya dengan pertanyaan itu ini.
Aku tersenyum kecut. Malu karena
gerak-gerik yang ku sembunyikan akhirnya terbaca juga. Aku benar-benar tidak
terbiasa dengan ini. Meskipun merayakan ulangtahun seorang teman sudah menjadi
tradisi buatku, tapi aku tidak tau apa-apa soal yang satu ini. Bukan seperti
ini tradisi yang biasa aku jalani. Bukan duduk berhadapan di meja makan
restoran super mahal.
Pagi buta ponselku berbunyi. Namanya,
nama orang yang ada dihadapanku saat ini, muncul disana. Pupil mataku bahkan
belum siap menerima cahaya, sedangkan suara yang muncul dari ujung telepon sana
sudah meledak-ledak, saking bersemangatnya. Baru-baru ini aku menyadari, sebenarnya
ia bermaksud memarahi.
“Sudah lupa, ya, kalo punya sahabat?”
“Sahabat? Apa? Apanya? Ini jam berapa?”
jawabku kembali bertanya, setengah melantur karena belum selesai mengumpulkan
nyawa.
“Semalaman saya tungguin telepon kamu. Lupa
kalau hari ini sahabat ganteng mu ini ulang tahun?”
Baru saat itu aku benar-benar terbangun
dari tidur. Baru aku ingat hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-25. Dan
semalam sudah kulewatkan moment selamat-ulang-tahun-semoga-panjang-umur di jam
00.00 tepat, yang tidak pernah absen kulakukan selama 3 tahun kebelakang.
“Saya gak mau tau. Nanti jam 8, kamu
harus temani saya makan malam. Hitung-hitung pengganti ucapan selamat ulang
tahun yang kamu lewatkan semalam.”
“Re, makan malam? Ini tanggal tua, saya belum
gajian.”
“Saya yang traktir. Sudahlah, kamu
tinggal bawa badan.”
“Re…”
“Apa?”
“Kenapa harus ngasih tau pagi buta
begini? Toh baru ntar malam juga acaranya.” Aku menggerutu, tak rela tidurku
diganggu.
Ia tidak menjawab.
“Re…”
“Apa??” suaranya kian meninggi.
“Selamat Ulang Tahun.”
Sempat
aku dengar suara tawa yang disembunyikan, sebelum akhirnya nada ‘tut’ panjang
menutup pembicaraan.
Aku
tidak tau harus menjawab apa, bila ditanya siapa yang sudah berubah diantara
aku dan Re selama hampir setengah tahun terakhir. Kalau kata hati bisa di-rontgen, mungkin akan terlihat sekumpuan
kata-kata tidak beraturan yang intinya jelas terbaca. Aku lelah dijadikan
tempat sampah.
Namanya
Rendra. Dan untuk beberapa alasan, aku berhenti di 2 huruf depannya saja. Re.
Lebih enak di dengar. Lebih gampang ku ucapkan. Dan kalau boleh jujur, saat
pertama kali aku berkenalan dengannya sekitar 4 tahun lalu, aku sempat ingin
terbahak saking tidak percaya. Ia punya mata segaris dan kulit putih pucat.
Badannya hampir bisa dibilang kerempeng dan tingginya hampir 2 meter. Saat itu
syal merah marun dililit di lehernya, mungkin karena sedang sakit. Atau malah
memang penyakitan.
Terhitung
2 minggu lamanya aku penasaran bagaimana sosok Rendra, yang rutin 3 kali dalam
sepekan diceritakan oleh sahabatku setiap pulang kerja. Sahabatku seorang
perempuan mapan yang jarang menaksir orang. Dan sebagai sahabatnya, aku merasa
berhak tau siapa laki-laki yang sudah berhasil merebut hatinya kali ini.
Setelah 2 minggu menunggu janji temu kami bertiga, aku benar-benar kecewa.
Aku kira Rendra punya perawakan special.
Misal, berbadan kekar, berambut tebal, punya kulit gelap eksotis yang menarik
perhatian, dan yang paling penting, wujud Rendra di benakku bukan seorang
keturunan Dayak-Tionghoa yang punya hobi memakai syal kemana-kemana.
Kami bercengkrama dengan segelas kopi di
hadapan masing-masing sore itu. Aku menarik kata-kataku kembali, setelah hampir
2 jam kami bertiga saling bertukar cerita, aku temukan sosok lain dibalik
perawakan kurus tinggi Rendra, sosok yang membuat sahabatku jatuh cinta. Dan
semoga saja, aku tidak ikutan jatuh cinta juga.
Vega, itu dia. Sahabat yang menemani
hidupku 7 tahun kebelakang itu jatuh hati pada Rendra setengah mati. Aku tidak
tau mengapa perempuan seperti dia malah memilih tinggal di kost-kostan. Kami
sempat menjadi teman sekamar. Belakangan, aku yakin itu memang sudah
ditakdirkan. Tuhan mempertemukan ku dengan Rendra lewat sosok bernama Vega.
Vega sadar sejak awal. Bahwa aku dan
Rendra punya hal yang lebih besar dari pertemanan. Kami berdua—aku dan
Vega—sama-sama menganggap hal itu sebagai persahabatan. Bukan pertemanan, bukan
juga percintaan. Setidaknya itulah yang kami berdua harapkan. Rendra tidak
cukup berharga untuk dipertaruhkan dengan apa yang kami punya, begitu yang
berusaha diyakini aku dan Vega.
“Gimana?
Lebih baik kan dari pada apple juice yang sering kamu beli di swalayan?” tanyanya
dengan mata berbinar, menunggu jawaban.
Aku cuma tersenyum hangat, masih tidak
begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat ini.
“Untuk apa, Re?” tanyaku menimpalinya.
“Apple juice? Saya kira itu yang terbaik
pengganti wine, atau mungkin—“
“Bukan, Re.” aku menyela. Menelan ludah
lalu melanjutkan perkataanku. “Bukan cuma apple juice ini, Re. Semuanya.
Telepon pagi buta, makan malam, restoran mahal, saya juga yakin itu apple juice
bukan apple juice sembarangan.”
Ia cuma melongo, tidak mengerti apa yang
baru saja aku katakan. Jangankan dia, aku saja ragu dengan apa yang baru saja
keluar dari mulutku.
Aku melanjutkan. “Saya tau ini bukan
makan malam biasa. Ada apa, Re?”
Ia diam sejenak, matanya kekiri dan
kekanan. Entah mencoba mengingat, atau berusaha mengarang alasan. “Ini kan
ulang tahun saya, kamu masih lupa?”
Aku tidak tau harus berkata apa. Aku tau
betul apa yang terjadi saat ini. Tapi aku butuh penjelasan logis atas semua.
Atas telepon pagi buta, makan malam, restoran mahal dan segalanya. Aku tau, dia
tau, aku kecewa atas penjelasan itu.
“Ini kado mu, Re. Sekali lagi, selamat
ulang tahun.” Aku tersenyum. Dengan terpaksa.
“Re…” lanjutku memanggil namanya. Masih
terganggu oleh pertanyaan itu sedaari tadi.
“Kemana Vega? Saya sudah jarang ketemu
dia sejak dia beli rumah di daerah Kemang. Sedang saya masih mendekam di
kost-kostan.” Sedikit tawaku tumpah di ujung kalimat. “kalian sudah 3 tahun ya,
gak kerasa deh sebegitu lamanya…”
Wajah Rendra lantas berubah. Matanya
sempat terpejam dan sepertinya dia baru tersedak ludahnya sendiri.
“Saya putus, Din.”
Ada hening sejenak. Mulutku terbuka
sekitar 1 cm lebarnya.
“Oh. Begitu.” Jawabku seadanya. Mulai
mengerti kemana arah pembicaraan ini. Mulai mengerti kenapa harus ada makan
malam mewah dengan embel-embel gelas tinggi.
“Malam ini, saya mau rayain hal itu.
Saya…” ia berfikir sejak. Mencari kata-kata yang tepat. “tobat.”
Aku terbahak mendengar kalimat itu.
Tobat? Aku tidak yakin ia betul-betul mengerti apa arti tobat dalam kamus
manusia. Tidak lama ia malah ikut tertawa. Jadilah kami berdua sepasang orang
gila yang mengacau makan malam mahal, milik orang-orang normal.
“Hm… jadi siapa calon yang baru?”
tanyaku padanya. Langsung menusuk dada.
“Gak ada.” bibirnya tersenyum mantap.
Jawaban itu membuatku sedikit bergidik. Membuat rapuh seakan menelanjangi.
“Ohya? Saya males aja kalo harus
sembunyi-sembunyi seperti dulu. Apa-apa harus diam-diam. Takut ketahuan. Kayak
mau maling, tau gak?” sesaat aku baru sadar apa yang baru ku katakan. Aku
meminta maaf dalam hati. Tidak ku sangka ini akan jadi curhat colongan.
“Untuk saat ini, saya mau fokus ke
‘kita’…” ucapnya pelan.
Aku semakin bergidik. Tubuhku serasa
kejang seketika. Seperti tersetrum stop kontak listrik, singkat dan memacu
jantung jadi lebih cepat. Mengagetkan. Perasaan tidak diundang. Mendengar
hubungan cinta kedua sahabatku baru saja berakhir, jujur aku tidak tau harus
bersimpati atau bahagia. Aku cuma berharap semoga pencahayaan restoran mahal
ini tidak mengecewakan. Semoga saja ekspresi wajahku tersembunyikan.
Tau-tau senyumnya melebar. Menahan gelak
tawa yang sudah menunggu di ujung lidah. Di belakang gigi. Ditutupi selapis
daging bernama bibir. Aku tau ia cukup beradab untuk kasihan pada orang-orang
di sekitar kami. Sudah cukup mereka rugi dengan membayar mahal demi makan
malam. Jangan sampai 2 orang gila ini tertawa sesuka hati, dan merusak makan
malam mereka yang mungkin amat berarti.
“Sebenernya, saya juga senang kok. Gak
perlu sembunyi-sembunyi lagi setiap ngobrol sama kamu. Setiap saya butuh
seorang temen, sahabat, kakak perempuan, atau bahkan psikiater. Kamu hadir
dalam satu paket lengkap. Siapa lagi yang mau dengarin saya ngoceh kesana
kemari kalo bukan kamu?”
Lagi-lagi, aku tidak tau harus bagaimana
menanggapi. Aku mencerna kalimat panjang itu sekuat tenaga. Tapi yang kudapat
tidak sesuai dengan apa yang ku harap.
“Din… Saya gak tau harus bilangnya bagaimana.
Saya bingung. Tapi apa kamu percaya soal belahan jiwa? Saya ngerasa nemuin
belahan jiwa saya di diri kamu. Perlu 4 tahun buat nyadarin itu.”
Aku belum menjawabnya sama sekali. Aku
belum merasa itu perlu dikonfirmasi. Saat ini, aku sudah tau harus menjawab
apa. Jika ditanya tentang siapa yang berubah diantara kami berdua. Aku dan
Rendra. Selama sekitar setengah tahun terakhir ini. Aku akan jawab bahwa kami
sama-sama sudah berbeda. Aku mencintai sosok Dayak-Tionghoa yang ku kenal
pertama kali di coffee shop dekat kantor sekitar 4 tahun lalu. Sosok itu
mencintai sahabatku, bukan mengajakku makan malam berdua dan berkata bahwa aku
belahan jiwanya.
Sosok itu selalu bercerita tentang semua
hal yang ia hadapi. Semua hal tentang pekerjaan sampai merk kaos kaki apa yang
harus dibeli. Termasuk segala masalah cintanya dengan Vega. Dan aku dengan
senang hati menjadi tempat sampahnya. Menampunya segala sesuatu yang ia
tumpahkan tak peduli itu apa. Aku salah. Aku tidak pernah lelah menjadi apa
yang ku sebut sebagai tempat sampah. Itu takdirku. Harus seperti itu.
Bukan kah mustahil tempat sampah
menerima tampungan tempat sampah juga?
Ketika nanti ia mulai bercerita tentang aku. Pada diriku.
Rendra masih menunggu jawaban. Dan
tanganku malah meraih ponsel dengan spontan. Ku ketik sesuatu disana, lalu ku
tekan tombol hijau. Tidak terlalu jelas, karna aku sendiri tidak terlalu
mengerti apa yang mau ku sampaikan ini.
“Din…?” Suaranya kembali terdengar. Membuat
aku gelagapan.
Aku merasa di sinilah saatnya. Ketika
aku harus mulai menanggapi semua pernyataannya sedari tadi. Mengkorfimasi
apapun itu yang ia ucapkan sejak awal ditungankannya minuman. Aku yakin harus
seperti ini.
“Re… Saya pulang duluan ya. Maaf gak
bisa temani kamu sampai selesai”
Ribuan kali kuucap maaf dalam hati.
Entah untuk Rendra atau untuk diriku sendiri. Kuangat tubuhku yang berbalut
gaun biru. Tersenyum sekali lagi dan mulai mencoba meneruskan kalimat yang
belum sempat ku selesaikan. Dan menarik nafas dalam-dalam pun kurasa tak ada
gunanya lagi.
“Kamu gak perlu khawatir kesepian. Saya
sudah sms Vega untuk datang kesini. Saya bilang kamu mau ngomong sesuatu. Saya
yakin kamu perlu itu...”
Kali ini Rendra yang membuka bibirnya
selebar 1 cm. Aku bisa melihat kata-kata menggantung di ujung lidahnya. Tapi aku
kenal tatapan itu. Tatapan bimbang, tatapan menunggu. Tatapan yang kini ku
identifikasikan sebagai tanda rasa setuju.
“Re…” lanjutku lagi. “3 tahun cukup
berharga buat di perjuangkan.” Sekali lagi kuucap maaf dalam hati.
Sedikit aku tundukan kepala. Tanda pamit,
minta diri, atau apalah itu namanya. Ku intip tubuhnya yang diam dari ekor
mata, berharap tubuh itu tetap diam. Sampai perempuan yang ku kirimi pesan
akhirnya datang.
Sekali lagi maaf terucap dalam hati.
Kali ini aku janji untuk yang terakhir kali. Berharap besok sudah akan aku
temui lagi sosok Rendra yang aku cinta. Sosok Rendra yang mencintai Vega.
Cukup seperti itu. Sambil berulang kali
ku camkan ini dalam hati;
Aku bukan
cenayang yang bisa melihat masa lalu dan masa depan seseorang. Namun aku cukup
bisa melihat apa yang pantas kamu dapatkan. Aku bukan sesuatu yang kamu sebut
sebagai belahan jiwa. Aku cuma sekotak kardus basah yang kamu simpan di sudut
ruangan, yang bisa mengawasimu kapanpun aku mau, yang dengan setia menjadi
tempat sampahmu.
Aku
yakin akan tiba suatu waktu. Meski bukan hari ini, besok, ataupun besok lusa.
Saat aku lelah dan berhenti mengirimimu hadiah-hadiah. Berhenti jadi tempat
sampah yang menampung segala keluh kesah, soal kerja, saudara, orang tua,
apalagi cinta.
Tapi
sebelum suatu waktu itu tiba. Aku yakin kamu akan kembali melakukannya. Entah
hari ini, besok, ataupun besok lusa. Aku yakin itu akan terjadi dalam waktu
dekat. Ketika kamu harus menunduk sedikit dan halus berbisik. Memelankan
suaramu.
Saya takut dia cemburu. Sama seperti dulu.
tulisan entah kapan, udah lama disimpen di laptop.