“Kita diajarkan untuk mengingat pemikiran,
bukan manusia. Karena manusia bisa gagal. Ia bisa tertangkap. Ia bisa mati dan
terlupakan. Tapi 400 tahun kemudian, sebuah pemikiran masih bisa mengubah
dunia. Aku menyaksikan sejak awal akan kedahsyatan sebuah pemikiran. Aku
melihat bagaimana manusia membunuh dengan mengatasnamakan pemikiran, dan juga
mati karenanya. Tapi kau tak bisa mencium sebuah pemikiran, kau tak bisa
menyentuhnya, atau mendekapnya. Pemikiran tidak berdarah, ia tidak merasakan
sakit, ia tidak merasakan cinta.“
Disuarakan oleh
tokoh Evey (Natalie Portman), narasi di atas hadir sebagai pembuka film V
for Vendetta garapan sutradara James Mc Teigue tahun 2005. Aktor Hugo Weaving
yang memerankan tokoh sentral V tidak menampakan wajahnya sama sekali sepanjang
film berdurasi 132 menit ini, berbalut pakaian serba hitam dan bertopeng ala
Guy Fawkes ia berhasil menyampaikan cerita tentang pencarian “dewi keadilan
yang tengah berlibur”. Secara garis besar, film ini berkisah tentang
pencarian jati diri wanita muda Evey yang dipacu oleh pertemuan tanpa
sengajanya dengan tokoh V, pria bertopeng misterius yang lalu meledakan dua landmark
kota London dan mengambil alih British Television Network untuk menyebar pesan
revolusioner, ditengah tirani Konselor Sutler yang totaliter.
Sejak awal berbicara tentang “pemikiran”, film ini sangat lekat
membahas tentang aspek-aspek ideologi. Menurut Ajidarma dalam Diktat Kuliah
Kajian Sinema, sebagaimana dituliskan oleh Mega Subekti dalam esai “Kontesasi
Wacana Barat dan Timur dalam Film Sang Pencerah”, ideologi dalam sebuah
film sering dimaknai sebagai ruang rekonstruksi dan representasi realitas
sosial yang telah direkam melalui pendekatan realisme estetik. Sehingga V
for Vendetta dengan sinematografi apik dan tertata menggambarkan bagaimana
anarkisme kadang dibutuhkan demi tersulutnya revolusi, sehingga tercapailah
merdeka yang hakiki.
Terminologi anarkisme sendiri secara luas disalahpahami oleh kebanyakan
awam. Dalam tatar politik, anarkisme selalu disamakan dan disangkutpautkan
dengan chaos, sehingga para anarkis seakan dimaknai sebagai orang-orang
yang mendukung diberlakukannya lagi hukum rimba yang cenderung bar-bar. Seorang anarkis L. Susan Brown menyatakan
dalam buku The Politics of Individualism, “Meski pemahaman umum mengenai
anarkisme adalah suatu gerakan anti negara kekerasan dengan kekerasan,
anarkisme adalah suatu tradisi yang bernuansa lebih dalam daripada sekedar
perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah. Kaum anarkis menentang pemikiran
bahwa masyarakat memerlukan kekuasaan dan dominasi, dan malah membela
bentuk-bentuk organisasi sosial, politik, dan ekonomi yang anti hierarki dan
lebih kooperatif.”
Dalam pernyataan di atas dapat dimengerti bahwa anarki ada sebagai
reaksi kekerasan atas aksi yang juga merupakan kekerasan. Tokoh V di sini juga
berlaku demikian. Di bawah pemerintahan Konselor Sutler yang cenderung
menciptakan terror massa bagi rakyatnya sendiri, seorang misterius yang hanya
samar diceritakan asal usulnya hadir dengan wajah tertutup topeng. Meminjam
identitas Guy Fawkes, seorang yang dihukum gantung atas percobaannya meledakan gedung
parlemen pada 5 November 1605, V beranggapan bahwa “Rakyat tidak seharusnya
takut pada Pemerintah”. Tokoh V percaya bahwa “pemikiran” Guy Fawkes memang
benar adanya, bahwa meledakan gedung bukanlah hanya membuat bangunan kokoh
menjadi runtuh. Meledakan sebuah gedung adalah upaya menghancurkan simbol yang
dapat menuntun orang-orang pada perubahan mendasar tentang siapa sebenarnya
yang berkuasa dalam suatu negara.
Latar cerita dalam film adalah Inggris
Raya yang telah menyerahkan kebebasan dan hak-hak individualnya pada
pemerintahan totaliter dengan sebutan “Norse Fire”. Unsur Fasisme jelas
terlihat pada sisi ini. Fasisme sendiri adalah gerakan radikal ideologi nasionalis
otoriter politik. Para Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif
korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi. Mereka
menganjurkan pembentukan partai tunggal negara totaliter. Fasis meninggikan
kekerasan, perang, dan militerisme sebagai upaya untuk
memberikan perubahan positif dalam masyarakat. Estetika politiknya menggunakan
simbolisme romantis, mobilisasi massa, pandangan positif kekerasan, dan
kepemimpinan karismatik.
Semuanya seakan divisualisasikan dalam V for Vendetta. Unsur
otoriter dan militerisme terang-terangan diangkat dengan tatanan sinematografi
dramatis. Konselor Sutler juga digambarkan sebagai tokoh karismatik yang
menjadi penyelamat rakyat di tengah kerusuhan yang terjadi. Meski lalu
dijelaskan lagi bahwa Konselor Sutler lah yang bertanggung jawab atas
kerusuhan-kerusuhan itu. Perang, terror dan penyakit diciptakan oleh pemerintah sendiri demi
mengingatkan rakyat akan kebutuhan mereka pada pemerintah. Pandangan positif
kekerasan diterapkan atas nama ketertiban yang harus tercipta, dengan bumbu
romantisme bahwa pemerintah ada untuk menjaga rakyatnya dari segala keburukan
diluar partai tunggal tersebut.
Dalam menggancangkan politik “blame the victim”nya, pemerintah membuat
peran media begitu penting. Konsentrasi sinematografi film ini pun cenderung
terletak pada televisi, entah itu di rumah-rumah, di bar, bahkan di sebuah
panti jompo.
Hal ini sejalan juga dengan aksi tokoh V yang mengambil alih Britain
Television Network untuk mengudarakan video pidatonya di saluran darurat. Pergulatan
antara fasis dan anarkis ini dibuat seakan jadi sinetron yang tayang bergantian
dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kemenangan salah satu pihak pun dengan
nyaris puitis juga disampaikan lewat sisi sinematografi.
Dalam teknik pengambilan gambar, dikenal istilah high angle dan low
angle. Dimana kedua teknik itu digunakan para sinemaker untuk menyampaikan
dan menciptakan kesan yang sesuai dengan ide awal gagasannya. High angle
adalah teknik pengambilan gambar dari atas, sehingga menciptakan kesan ciut
pada objek gambar. Sebaliknya, low angle menciptakan kesan agung pada
objek gambarnya karena diambil dari sisi bawah. Teknik ini digunakan juga dalam
V for Vendetta, dalam usahanya mengisyaratkan kekuasaan yang berpindah
tangan.
Hampir sepanjang film berdurasi lebih dari 2 jam itu, Konselor Sutler
sering kali dimunculkan dalam televisi raksasa seperti pada gambar di atas.
Gambar di atas ini merupakan suasana “rapat” antara Sang Konselor Agung
dengan para kaki tangannya. Meski posisi atasan-bawahan jelas terjadi, teknik low
angle tidak dijadikan pilihan, dan sutradara memilih hanya menyorot objek
gambar dari sisi depan saja (datar).
Perbedaan muncul ketika film ini menampakan video pidato V yang
disiarkan di saluran darurat. Dengan telivisi yang ‘jauh’ lebih raksasa dan
terletak di pusat kota, teknik low angle digunakan. Kesan agung terlihat
sangat jelas, mengisyaratkan kekuasaan yang sudah berpindah tangan dari Sang
Konselor ke V. Bila kita lihat lebih teliti pada gambar, ironi jelas disuguhkan
pada scene ini. Tepat di samping televisi raksasa yang memutar pidato
revolusioner V, terdapat lambang partai “Norse Fire” pimpinan Sutler.
Perpindahan kekuasaan dari fasis ke anarkis lebih ditekankan pada
siaran pidato terakhir Konselor Sutler. Dengan televisi super raksasa yang
sama, teknik high angle “ekstrim” dipergunakan sebagai simbol kekalahan
besar-besaran.
Scene ini juga diparalelkan dengan scene televisi-televisi biasa di
tempat-tempat lain yang entah mengapa ditinggalkan dalam keadaan hidup meskipun
tidak ada satupun orang yang menonton. Simbolisme ini menyatakan bahwa suara
Sang Konselor Agung tidak lagi didengarkan oleh siapapun.
V for
Vendetta ditutup dengan nasib Konselor Sutler dan V
yang sama-sama tidak baik. Tapi seperti yang dikatakan oleh V menjelang
ajalnya, “Pemikirian itu anti-peluru” dan tetap hidup meski pemikirnya
telah mati. Kemenangan anarkis atas fasis yang disajikan dalam film bertumpu
lagi pada topeng yang digunakan oleh V. Alih-alih bersembunyi di balik
identitas Guy Fawkes, tokoh V merepresentasikan dirinya atas nama semua orang
yang menyadari akan ketidakberesan jalannya pemerintahan. Bahwa ketika ditanya
siapakah sebenarnya sosok V, Evey dengan tenang menjawab “Dia adalah ayahku,
dan ibuku, kakakku, temanku. Dia adalah aku, dan kamu.”
V adalah rakyat, dan
rakyat tidak seharusnya takut pada pemerintahnya.
Rakyat seharusnya merdeka.
Jatinangor, 23 Desember 2015
Ananda Bayu Pangestu
Ananda Bayu Pangestu