Rabu, 03 Juni 2020

Memorabilia Sampah dan Sentimen Soal Rumah

Malam ini Saya sadar akan satu hal; jam meja yang Saya punya umurnya sudah lebih dari satu dekade. Entah 11 atau 12 tahun. Jelasnya jam itu adalah sebuah pemberian dari Mama ketika Saya masih duduk di bangku sekolah menengah. Bentuknya karakter Doraemon. Dulu, Saya suka sekali kucing biru itu.

Saya tidak baca komiknya. Menonton kartunnya di teve pun kalau kebetulan saja lewat di Minggu pagi. Kenapa bisa tergila-gila? Alasannya cuma dua; satu, waranya Biru; dua, bentuknya lucu karena bagian kepalanya besar sekali. Cuma itu. Saya pun agak bingung dengan cara berpikir Saya dulu. Betapa sederhananya.

Sentimen tentang jam meja ini lalu membuka pintu lain yang nampaknya membuat Saya berpikir lagi. Kali ini, sayangnya dengan cara yang tidak begitu sederhana.

September tahun ini, Saya genap berusia 24 tahun. Satu dekade ke belakang Saya habiskan dengan hidup berpindah-pindah; kurang lebih 11 kali, kalau tidak salah. Dari pulau ke pulau, kota ke kota, hingga kecamatan ke kecamatan. Setelah semua rumah dan kamar-kamar yang berganti itu, jam meja Saya masih saja si kucing biru berkepala besar ini. Hampir tidak masuk di akal, rasanya.

Lagi Saya pikir, tidak ada yang benar-benar masuk di akal tentang bagaimana Saya terikat dengan benda-benda mati. Saya masih menyimpan liontin yang Mama belikan dulu sekali di Citra Niaga. Umur Saya kira-kira masih 10 tahun waktu itu. Saya masih menyimpan boneka beruang berbaju merah oleh-oleh Papa sepulang perjalanannya dengan kereta api. Saya masih TK, mungkin usia 4 atau 5.

Liontin dan boneka--yang lalu Saya namai Bolo--itu hanya sebagian contoh dari sekian banyak benda non esensial yang tidak bisa Saya tinggalkan begitu saja. Entah kenapa. Semua akan jauh lebih berterima jika setidaknya Saya terus hidup di satu rumah yang sama selama dua dekade ke belakang. 

Tapi, tidak. Tidak ada rumah abadi untuk semua memorabilia ini.
Pun, tidak pernah ada rumah untuk benar-benar Saya tinggali.

Lucu bagaimana kata "tinggal" jauh sekali berubah makna barang hanya diganti imbuhannya saja. Lucu juga bagaimana kata itu mungkin saja berkaitan dengan motif di balik keterikatan Saya dengan benda-benda mati ini. 

Barangkali, kalau saja Saya punya rumah untuk benar-benar saya tinggali, Saya bisa meninggalkan semua memorabilia ini di sana. Menyimpannya di satu tempat kemana Saya selalu kembali, kemana Saya selalu pulang. 

Tapi, tidak. Tidak ada rumah abadi untuk semua memorabilia ini.
Apalagi, rumah untuk benar-benar Saya tinggali.


memorabilia /me·mo·ra·bi·lia/
n. sesuatu atau peristiwa yang patut dikenang


Kalau benda-benda mati ini menawarkan ilusi tentang rumah yang sekian lama Saya cari pada benda-benda hidup,

punya kuasa apa, Saya,
untuk menelantarkannya?




Setitik rasa familier,
An

Jumat, 29 Juni 2018

Lelayu

Tujuh hari ini aku bersahabat 
dengan teh hangat.

Pun kuminta, Gal
dekapmu terlalu jauh untuk aku terima.

Lagi darah di nadiku membeku
dan kulitku membiru seperti Nebula.

Cuma Sosro.
Cuma Sosro bentuk derma dari Semesta.
Sepuluh jariku memeluk erat cangkir itu
sementara kebul uapnya mengaburkan lensa.
Lalu yang bisa kulihat hanya bayang sosokmu
misuh-misuh melepas kacamata
mengutuk kopi panas yang baru kau seruput di meja kita.
Rokok dan kopi. Jam tiga pagi.

Waktu itu udara mohon kita untuk saling peluk
atau sekedar genggam tangan.
Telapakku selalu lebih dingin.
Dengan bangganya kau bilang
"aku dikirim jauh-jauh dari Asgard
Odin minta aku pertaruhkan nyawa
buat jaga imbangnya suhu tubuhmu".
Perapian hatiku disulut tawamu renyah
dan seketika itu, Gal
aku menghangat.

Tapi itu delapan hari lalu.
Pagi ini ya cuma Sosro.

Cuma Sosro
dan air panas dispensermu.
Sanak famili yang datang
ikut mengirimmu doa seminggu ini
kusuguhkan mereka Sosro juga.

Moga pun, Gal
pesamnya merangkul kau.

                                                   Tidur pulas
                           bilang Odin misimu gentas.

Minggu, 17 Juni 2018

Yang ingin diikat di tulang belikat

jangan pergi malam ini
kasurku yang pas buat berdua minta kita rebah
sembari kusambung titik bintang dari selatan ke utara

ada juga rasa yang bibir kita coba terka
sekian puntung hingga kau mulai lupa
sampai aku mulai iya

jangan pergi malam ini
biar aku susuri dulu rasi di matamu itu
menghafalkan setapakku pulang nanti

sebab besok, sayang
matahari tetap datang.


untuk Sal,
pun belikatnya tak lagi punya tempat

Jumat, 05 Januari 2018

Kafein.

Satu atau dua?
Satu seperempat.
Kenapa tidak satu saja?
Kurang.

Dia hanya satu?
Dia lebih suka susu.
Banci.
Kenapa tidak pahit saja sekalian? Macho, kan?
Saya tidak macho.
Dia tidak banci.

Dingin?
Panas.
Ini siang bolong.
Lalu?
Dingin saja, supaya segar.
Panas saja.
Kenapa?
Kamu sudah menyegarkan.


Punya saya tetap dingin, ya. Kamu harus coba.

Jumat, 27 Oktober 2017

Saya dan Identitas

Pada suatu waktu di Kamis malam, tanggal 26 September 1996, saya dilahirkan. Bayi perempuan yang lalu dinamai dengan nama mirip laki-laki ini tumbuh menjadi sosok yang tidak berbadan apik, tidak berkulit cerah, dan tidak berambut “seperti dari salon.” Saya anak ketiga dari tiga bersaudara, dan entah karena orang tua saya yang mungkin sudah bosan memotret anak-anak, atau hanya bentuk saya saja yang kurang menarik untuk diabadikan, sulit untuk saya menemukan potret-potret diri ketika balita di album-album keluarga. Bentuk balita yang saya miliki adalah kulit (sangat) gelap dan rambut ikal menempel pada kulit kepala, seperti orang-orang timur. Guyonan yang paling sering Ibu saya lontarkan hingga saat ini adalah bahwa dulu sekali seorang suster tanpa sengaja menukar bayi perempuannya.

Seiring waktu berjalan, saya mulai meyakini bahwa guyonan itu memanglah sekedar guyonan belaka. Di usia saya yang memasuki kepala dua, orang-orang mulai berbicara tentang wajah saya yang entah bagaimana mengingatkan mereka pada Ibu saya—yang berarti dulu sekali tidak ada cerita soal tukar-menukar bayi. Tapi bukankah sesuatu yang menyebalkan ketika seseorang, dan bukan hanya sekali kejadian, bertanya “Mama kamu putih, Papa kamu ya tidak hitam juga. Kamu anak siapa?” Lebih menyebalkannya lagi ketika pertanyaan itu bertransformasi menjadi kalimat tanya berbasis lelucon sehari-hari. Seorang Dosen pernah berkata bahwa tubuh sebagai identitas yang paling kasat mata justru kadang menimbulkan kesan ambigu. Saya mengerti benar perkataannya itu.

Ibu saya seorang Sunda sementara Ayah saya seorang Jawa, keduanya sama-sama tulen. Ketika seseorang menanyakan apa suku saya, saya ingin sekali dengan mudah menjawab “Saya orang Jawa”, karena sepengetahuan saya anak perempuan mewarisi suku Ayahnya. Tapi saya tidak bisa berbahasa Jawa, karena semenjak kecil saya hidup di lingkungan yang mayoritas penduduknya bersuku dan berbahasa Banjar. Saya juga ingin sekali menjawab “Saya orang Sunda”. Tapi orang-orang Sunda terkenal dengan kulit yang saya tidak punya. Belum lagi mata bulat dan hidung mancung ini membuat beberapa orang bertanya “Kamu keturunan India, ya?” Pertanyaan tentang suku dan asal-muasal akhirnya hanya saya jawab dengan rangkaian senyum kecil, meninggalkannya seperti itu, tetap ambigu.

Kembali pada pertanyaan “Kamu anak siapa?”, tiga kata itu menghantarkan saya pada masalah yang lebih menyebalkan lagi. Saya mengerti ketika pertanyaan itu dilontarkan si penanya bermaksud mempermasalahkan warna kulit saya yang cenderung gelap. Ibu saya punya kulit putih yang bahkan terlihat seperti Cina, sementara rona kulit saya adalah skala paling bawah penggaris pengukur warna kulit milik produk-produk pemutih wajah. Tapi di situ lah letak kekonyolannya; tidak ada yang salah dengan berkulit gelap, permasalahan muncul ketika kita hidup di tempat yang secara sadar ataupun tidak sadar menganut paham “putih=cantik” dan sebaliknya. Paham ini berlaku sampai ke titik paling dasar sehingga kita tidak sempat menyadarinya. Contoh paling sederhana bisa kita temukan di upacara-upacara bendera, ketika ada perwakilan murid perempuan yang akan dipanggil ke depan untuk semacam penyerahan simbolis, maka yang dipilih selalu murid perempuan berparas cantik, dan cantik berarti berkulit putih. Dari hal-hal semacam itulah bibit diskriminasi tak kasat mata tercipta, dan bentuknya semakin serius dalam beberapa kasus yang selama ini saya hadapi.

Perlakuan berbeda itu membuat perempuan dalam berbagai kesempatan berusaha memutihkan diri baik secara fisik maupun digital, untuk mengurangi kesenjangan antara putih dan tidak putih yang ciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Produk kosmetik pemutih wajah laku keras, sekeras frekuensi pengunduhan aplikasi penyunting gambar di berbagai gadget. Saya sendiri merasakan dorongan ini, dorongan untuk “memutihkan.” Tapi setiap kali saya melihat potret diri yang sudah disulap sedemikan rupa sehingga terlihat lebih cerah, rasanya seakan menatap pada sosok yang tidak pernah saya kenali. Dan secuil hati saya merasa kehilangan identitas kala itu terjadi.  

Pergulatan saya tentang tubuh tidak berhenti sampai di situ. Saya memiliki tubuh yang orang bilang mirip “papan penggilasan”, papan untuk ibu-ibu biasanya mencuci baju, tipis dan rata. Sementara saya tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang percaya bahwa pembeda paling konkret antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk tubuh. Di mana perempuan harus “memiliki” dada dan bokong sementara laki-laki dapat tenang dengan berbadan rata. Bukankah dengan pandangan seperti itu saya berhak menuntut bahwa laki-laki harus berbadan kekar dan berdada bidang seperti binaragawan? Hal yang lebih sulit untuk saya terima adalah bagaimana pandangan ini digunakan bukan hanya di kepala-kepala orang dewasa, melainkan juga di kepala-kepala anak ingusan. Dulu sekali seorang teman perempuan pernah berkata dengan santainya, “Cepet dibesarin itu dada, kalo udah SMP masih gak punya dada nanti malu!” Kalimat itu begitu membekas di benak saya hingga saat ini, kami masih duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar waktu itu.

Saya ingat bagian paling menyebalkan dari bersekolah adalah pelajaran olahraga. Saya terpaksa menggunakan kaos yang dimasukan ke celana training demi mengikuti mata pelajaran tersebut, sementara kaos yang dimasukan ke celana training membuat bentuk tubuh rata saya menjadi lebih tidak berbentuk lagi.  Saya ingat berusaha mengeluarkan ujung kaos dari celana itu kapanpun ada kesempatan, demi menutupi bentuk tubuh yang sangat tidak “perempuan” itu.

Apa yang salah dengan seorang perempuan berbadan rata? Apakah dengan lekuk tubuh yang tidak terlalu mencolok lalu seorang perempuan tidak bisa mengandung dan melahirkan anak-anak pintar yang begitu dibutuhkan di masyarakat ini? Anak-anak pintar yang tidak berpikir bahwa dada dan bokong besar adalah modal utama seorang perempuan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa seksualitas yang ada pada tubuh perempuan seringkali dijadikan patokan. Bukan hanya oleh kaum laki-laki, melainkan juga oleh kaum perempuan itu sendiri. Perempuan yang memiliki postur tubuh ideal akan berjalan penuh percaya diri, meyakini bahwa orang lain akan melihat dia seperti dia melihat relfeksi tubuhnya di cermin; sempurna. Sebagai dampak dari kepercayaan ini, pakaian-pakaian dalam “istimewa” mulai beredar di pasaran. Membuat para perempuan memilih pakaian dalam sedemikian rupa sehingga dada dan bokong mereka tampak terangkat, menyumpal anggota-anggota tubuh yang seharusnya apa adanya itu dengan buntalan-buntalan busa dan mungkin silikon juga.

Pandangan akan seksualitas dan kecantikan yang wajib dimiliki setiap perempuan begitu merasuk pada diri saya, sampai akhirnya saya menyadari bahwa saya akan tetap hidup meski tanpa postur ideal dan kulit putih sekalipun. Saya akan tetap memiliki teman untuk bertukar pikiran dan saya akan tetap menjalin romantisme biarpun tubuh saya rata dan gelap seperti papan penggilasan. Semua orang akan mengenali saya sebagai saya, meski saya mengaku Jawa, Sunda, atau India sekalipun. Ada perbedaan besar antara tidak berusaha memperbaiki dan tidak berusaha merubah. Di sini saya tidak akan berusaha merubah diri saya menjadi layaknya bintang-bintang iklan sabun yang hampir selalu dijadikan kiblat kecantikan, namun saya terus berusaha untuk memperbaiki tubuh semampu saya sebagai seorang perempuan normal. Dan pada akhirnya, saya berdiri di hadapan cermin bukan hanya untuk membayangkan bagaimana orang lain melihat diri saya, namun juga untuk berdamai dengan tubuh sebagai identitas paling konkret yang saya miliki. 

Terlepas keliru-tidaknya label yang disematkan si suster pada bayi perempuan itu bertahun lalu.

Senin, 02 Oktober 2017

09.24
All the mirrors we refuse to look into, we break,
Till they cut our veins open and let our genes out,
And in that very moment we realize,
There's no escape from what we are.

Jumat, 29 September 2017

21.58
The raindrops finally sound like a ticking clock.
Yet your scent stays like a hurricane.