Malam ini Saya sadar akan satu hal; jam meja yang Saya punya umurnya sudah lebih dari satu dekade. Entah 11 atau 12 tahun. Jelasnya jam itu adalah sebuah pemberian dari Mama ketika Saya masih duduk di bangku sekolah menengah. Bentuknya karakter Doraemon. Dulu, Saya suka sekali kucing biru itu.
Saya tidak baca komiknya. Menonton kartunnya di teve pun kalau kebetulan saja lewat di Minggu pagi. Kenapa bisa tergila-gila? Alasannya cuma dua; satu, waranya Biru; dua, bentuknya lucu karena bagian kepalanya besar sekali. Cuma itu. Saya pun agak bingung dengan cara berpikir Saya dulu. Betapa sederhananya.
Sentimen tentang jam meja ini lalu membuka pintu lain yang nampaknya membuat Saya berpikir lagi. Kali ini, sayangnya dengan cara yang tidak begitu sederhana.
September tahun ini, Saya genap berusia 24 tahun. Satu dekade ke belakang Saya habiskan dengan hidup berpindah-pindah; kurang lebih 11 kali, kalau tidak salah. Dari pulau ke pulau, kota ke kota, hingga kecamatan ke kecamatan. Setelah semua rumah dan kamar-kamar yang berganti itu, jam meja Saya masih saja si kucing biru berkepala besar ini. Hampir tidak masuk di akal, rasanya.
Lagi Saya pikir, tidak ada yang benar-benar masuk di akal tentang bagaimana Saya terikat dengan benda-benda mati. Saya masih menyimpan liontin yang Mama belikan dulu sekali di Citra Niaga. Umur Saya kira-kira masih 10 tahun waktu itu. Saya masih menyimpan boneka beruang berbaju merah oleh-oleh Papa sepulang perjalanannya dengan kereta api. Saya masih TK, mungkin usia 4 atau 5.
Liontin dan boneka--yang lalu Saya namai Bolo--itu hanya sebagian contoh dari sekian banyak benda non esensial yang tidak bisa Saya tinggalkan begitu saja. Entah kenapa. Semua akan jauh lebih berterima jika setidaknya Saya terus hidup di satu rumah yang sama selama dua dekade ke belakang.
Tapi, tidak. Tidak ada rumah abadi untuk semua memorabilia ini.
Pun, tidak pernah ada rumah untuk benar-benar Saya tinggali.
Lucu bagaimana kata "tinggal" jauh sekali berubah makna barang hanya diganti imbuhannya saja. Lucu juga bagaimana kata itu mungkin saja berkaitan dengan motif di balik keterikatan Saya dengan benda-benda mati ini.
Barangkali, kalau saja Saya punya rumah untuk benar-benar saya tinggali, Saya bisa meninggalkan semua memorabilia ini di sana. Menyimpannya di satu tempat kemana Saya selalu kembali, kemana Saya selalu pulang.
Tapi, tidak. Tidak ada rumah abadi untuk semua memorabilia ini.
Apalagi, rumah untuk benar-benar Saya tinggali.
memorabilia /me·mo·ra·bi·lia/
n. sesuatu atau peristiwa yang patut dikenang
Kalau benda-benda mati ini menawarkan ilusi tentang rumah yang sekian lama Saya cari pada benda-benda hidup,
punya kuasa apa, Saya,
untuk menelantarkannya?
Setitik rasa familier,
An